Jakarta (ANTARA) - "Remembering Moruroa" adalah salah satu segmen yang dapat ditelaah bila seseorang mengunjungi situs resmi dari Museum Auckland, Selandia Baru, melalui jaringan dunia maya.

Dalam bagian pembukaan "Remembering Moruroa", disebutkan bahwa pada abad ke-20, Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis menggunakan Pasifik sebagai tempat pengujian untuk persenjataan nuklir mereka.

Moruroa itu sendiri adalah salah satu atol atau pulau karang di Polinesia Prancis di kawasan Samudra Pasifik, yang bersama atol lainnya Fangataufa, menjadi tempat percobaan senjata nuklir oleh Prancis pada periode 1966-1996.

Uji nuklir terakhir oleh Prancis di Moruroa berlangsung pada 27 Desember 1995, dan di Fangataufa pada 27 Januari 1996. Sehari kemudian, Presiden Prancis ketika itu, Jacques Chirac, mengumumkan bahwa negaranya tidak akan lagi menjalankan uji coba senjata nuklir.

Desakan dan protes kepada Prancis atas uji coba senjata nuklir itu sangatlah besar ketika itu, termasuk dari Selandia Baru.

Diperkirakan pada periode 1960-1996, Prancis meledakkan sekitar 210 senjata nuklir di lokasi pengujian, baik di Pasifik selatan maupun di Aljazair.

Menurut situs theworld.org pada artikel 6 Agustus 2021, atau 25 tahun setelah pengujian terakhir senjata nuklir Prancis di Pasifik, para ilmuwan memperkirakan sekitar 110.000 orang terdampak dari curahan radioaktif, kebanyakan adalah warga Polinesia Prancis yang bekerja di lokasi pengujian.

Keitapu Maamaatuaiahutapu, ilmuwan fisika dan iklim di Universitas Polinesia Prancis, menyatakan bahwa bom-bom yang diuji tersebut memiliki daya ledak 100 hingga 1.000 kali lipat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945, katanya dikutip dari theworld.org.

Berdasarkan catatan sejarah, bom atom di Hiroshima menewaskan hingga sekitar 140.000 jiwa.

Kegigihan yang dilakukan pihak Selandia Baru dan masyarakat Polinesia Prancis dalam mengenang terus dampak jahat dari senjata nuklir juga serupa dengan yang dilakukan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

ASEAN, yang juga berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, sejak 1971 telah menghasilkan Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral, yang mengamanatkan agar kawasan tersebut dapat terbebas dari senjata nuklir.

Kemudian, pada 15 September 1995, diumumkanlah Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ) yang menegaskan bahwa ASEAN adalah sebuah kawasan bebas senjata nuklir.

Sejumlah poin yang terdapat dalam traktat tersebut mewajibkan negara-negara anggotanya antara lain untuk tidak mengembangkan, memproduksi, atau membeli, mempunyai atau menguasai senjata nuklir, pangkalan senjata nuklir, atau melakukan uji coba atau menggunakan senjata nuklir di mana pun, baik di dalam maupun di luar kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, negara-negara tersebut tidak boleh menempatkan atau mengangkut senjata nuklir dengan cara apa pun, serta tidak boleh menguji atau menggunakan senjata nuklir.

Protokol dalam Traktat SEANFWZ juga dibuat untuk mengajak lima negara pemilik senjata nuklir di dunia, yaitu Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis, dan Rusia, untuk mewujudkan kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara.

Namun, sangat disesalkan bahwa hingga saat ini, masih belum ada satu pun negara pemilik senjata nuklir yang menandatangani traktat tersebut.

Untuk itu, dalam Pertemuan Ke-56 Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Jakarta, Indonesia yang memegang Keketuaan ASEAN pada tahun ini juga berupaya, agar negara-negara pemilik senjata nuklir itu dapat ikut menandatangani Traktat SEANFWZ.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R. Suryodipuro, menjelang AMM di Jakarta pada awal pekan ini mengemukakan bahwa Komisi SEANFWZ berfokus pada upaya ASEAN mengajak lima pemilik senjata nuklir untuk menandatangani protokol perjanjian kawasan bebas nuklir.

Arto menyatakan keputusan ASEAN untuk kembali memulai proses perundingan penandatanganan protokol tersebut telah disampaikan kepada kelima negara itu melalui misi diplomatiknya di Jakarta. Namun, hingga saat ini belum ada satu pun negara pemilik senjata nuklir yang secara resmi menyampaikan kesiapannya untuk menandatangani protokol Traktat SEANWFZ.


Risiko tinggi

Saat memimpin pertemuan untuk membahas SEANWFZ pada Selasa (11/7), Menlu RI Retno Marsudi memperingatkan bahwa risiko penggunaan senjata nuklir saat ini lebih tinggi sepanjang sejarah. Untuk itu, ASEAN diharapkan agar terus bersatu guna melapangkan jalan menuju wilayah yang betul-betul bebas senjata nuklir.

Apalagi, melalui penyelenggaraan AMM Ke-56 kali ini, Indonesia ingin menegaskan kembali peran ASEAN sebagai kontributor perdamaian dan stabilitas.

Retno mengingatkan bahwa dengan perdamaian dan stabilitas terbukti telah berhasil membawa peningkatan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.

Kepada para perwakilan negara pemilik nuklir yang hadir di AMM, Indonesia meminta mereka agar dapat menyetujui protokol Traktat SEANFWZ.

Misalnya, dalam sesi tertutup pertemuan yang dihadiri Menlu Rusia Sergey Lavrov di Jakarta, Kamis (13/11), Menlu RI Retno Marsudi menegaskan perlunya memastikan Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir untuk menjaga perdamaian jangka panjang dan kemakmuran inklusif.

Retno mengemukakan kepada Lavrov bahwa semua negara dengan senjata nuklir harus memajukan nonproliferasi dan perlucutan senjata nuklir, berdasarkan transkrip pernyataan yang diterima wartawan.

Untuk tujuan ini, pihaknya mengandalkan Rusia untuk segera menyetujui protokol SEANWFZ.

Dalam rekaman yang diterima dari Kedutaan Rusia di Jakarta, Lavrov mengatakan bahwa Moskow siap menandatangani protokol SEANWFZ dengan satu syarat.

Syarat tersebut adalah semua negara yang menandatangani perjanjian itu harus memenuhi kewajiban mereka untuk tidak mengembangkan dan menempatkan senjata nuklir apa pun.

Dia mencontohkan Australia, yang sudah terikat dengan perjanjian pengendalian senjata nuklir atau Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapon, tetapi melanggar kewajibannya dengan membentuk pakta pertahanan trilateral AUKUS dengan Inggris dan AS untuk menciptakan kapal selam bertenaga nuklir.

Lavrov meyakini Australia melanggar kewajibannya karena telah menempatkan infrastruktur terkait dengan senjata nuklir di wilayahnya.

Selain dengan Lavrov, ASEAN melalui Menlu RI dalam pertemuan bersama Menlu Inggris James Cleverly pada Kamis (11/7) juga mendorong Inggris memastikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas senjata nuklir dengan secepatnya menyepakati protokol SEANWFZ.

Langkah ASEAN menerima Inggris sebagai mitra wicara terbaru organisasi kawasan itu dua tahun lalu menunjukkan komitmen ASEAN dalam bermitra dengan semua negara, kata Retno, sehingga mitra-mitra tersebut harus menganut nilai-nilai yang sama dengan ASEAN dan berkontribusi pada perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan.

Adapun Menteri Luar Negeri Malaysia Zambry Abdul Kadir mengatakan bahwa China telah berkomitmen untuk menandatangani Protokol SEANWFZ.

Namun, hingga kini masih belum ada pernyataan resmi dari pemerintahan China terkait dengan kepastian untuk menandatangani Protokol SEANWFZ tersebut.

Sementara itu, Menlu AS Antony Blinken dalam jumpa pers pada Jumat (14/11), ketika ditanyakan mengenai kemungkinan AS menandatangani protokol SEANWFZ, menjawab bahwa pihaknya sangat menghargai kepemimpinan ASEAN dalam isu tersebut, dan berharap dapat terus mengintensifkan perundingan dengan ASEAN.

Blinken juga menyatakan komitmen AS terhadap rezim nonproliferasi berbasis aturan dalam menyikapi upaya ASEAN untuk menciptakan kawasan bebas nuklir.

Meski tampaknya hingga penyelenggaraan AMM tahun ini, masih belum ada satu pun negara pemilik senjata nuklir yang menandatangani SEANWFZ, ASEAN diyakini akan tetap memiliki tekad politik yang kuat untuk terus benar-benar menjadikan Asia Tenggara sebagai zona bebas nuklir.

Tampaknya para pembuat kebijakan di negara-negara pemilik senjata nuklir perlu merenungkan ucapan yang dikemukakan Menlu RI Retno Marsudi bahwa "dengan senjata nuklir, kita hanya berjarak satu kesalahan perhitungan dari kiamat dan bencana global”.