Ombudsman RI terima 352 laporan soal pemberhentian perangkat desa
11 Juli 2023 15:17 WIB
Tangkapan layar - Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman RI Dahlena dalam diskusi publik bertajuk "Implikasi Permasalahan Pemberhentian Perangkat Desa terhadap Pelayanan Publik", sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (11/7/2023). (ANTARA/Tri Meilani Ameliya)
Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI menerima 352 laporan masyarakat dari 195 desa di 61 kabupaten mengenai pemberhentian perangkat desa selama tahun 2020-2022.
"Data yang kami terima sampai dengan Juni 2023, terdapat 352 laporan terkait dengan pemberhentian perangkat desa. Ini spesifik mengenai pemberhentian, tidak termasuk pengangkatan dan seterusnya," kata Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman RI Dahlena dalam diskusi publik bertajuk "Implikasi Permasalahan Pemberhentian Perangkat Desa terhadap Pelayanan Publik", sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Ombudsman RI di Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, Dahlena menyampaikan jumlah laporan yang terdiri atas 65 laporan di tahun 2020, 93 laporan di tahun 2021, dan 194 laporan di tahun 2022 itu melibatkan 375 perangkat desa yang diberhentikan.
Baca juga: Ganjar ajak perangkat desa sejahterakan masyarakat lewat padat karya
Dia menambahkan berdasarkan 352 laporan itu, Ombudsman menemukan lima kabupaten dengan jumlah pemberhentian perangkat desa paling banyak, yakni 20 orang di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat; 21 orang di Kabupaten Lampung Utara, Lampung; dan 14 orang di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
"Keempat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, sebanyak 51 orang perangkat desa. Terakhir, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, 12 orang," lanjut Dahlena.
Dari semua laporan yang diterima oleh Ombudsman itu, dugaan malaadministrasi paling banyak disampaikan oleh pelapor adalah terkait dengan penyimpangan prosedur.
"Artinya, (pelapor menduga) adanya tahap-tahap pemberhentian yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh kades atau pejabat berwenang," katanya.
Baca juga: Panitia seleksi perangkat desa di Kudus tuntut Unpad gelar tes ulang
Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Dahlena menyebutkan tiga mekanisme pemberhentian perangkat desa.
Pertama, perangkat desa yang melanggar larangan telah dikenai sanksi administrasi berupa teguran lisan dan/atau tertulis. Kedua, dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, dilakukan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Ketiga, pemberhentian ditetapkan oleh kepala desa setelah berkonsultasi dengan camat atas nama bupati/wali kota.
Berdasarkan laporan tersebut, Dahlena menyampaikan saat ini Ombudsman RI sedang mengkaji persoalan pemberhentian perangkat desa oleh itu.
Selanjutnya, hasil kajian tersebut akan dimanfaatkan dalam perumusan masukan bagi pengambil kebijakan guna mengatasi persoalan pemberhentian perangkat desa.
Saat ini, Dahlena mengatakan Ombudsman memandang perlu tata kelola pemerintahan desa, khususnya tentang pemberhentian perangkat desa.
Baca juga: Tito Karnavian pelajari tiga poin aspirasi PPDI
"Data yang kami terima sampai dengan Juni 2023, terdapat 352 laporan terkait dengan pemberhentian perangkat desa. Ini spesifik mengenai pemberhentian, tidak termasuk pengangkatan dan seterusnya," kata Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman RI Dahlena dalam diskusi publik bertajuk "Implikasi Permasalahan Pemberhentian Perangkat Desa terhadap Pelayanan Publik", sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Ombudsman RI di Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, Dahlena menyampaikan jumlah laporan yang terdiri atas 65 laporan di tahun 2020, 93 laporan di tahun 2021, dan 194 laporan di tahun 2022 itu melibatkan 375 perangkat desa yang diberhentikan.
Baca juga: Ganjar ajak perangkat desa sejahterakan masyarakat lewat padat karya
Dia menambahkan berdasarkan 352 laporan itu, Ombudsman menemukan lima kabupaten dengan jumlah pemberhentian perangkat desa paling banyak, yakni 20 orang di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat; 21 orang di Kabupaten Lampung Utara, Lampung; dan 14 orang di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
"Keempat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, sebanyak 51 orang perangkat desa. Terakhir, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, 12 orang," lanjut Dahlena.
Dari semua laporan yang diterima oleh Ombudsman itu, dugaan malaadministrasi paling banyak disampaikan oleh pelapor adalah terkait dengan penyimpangan prosedur.
"Artinya, (pelapor menduga) adanya tahap-tahap pemberhentian yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh kades atau pejabat berwenang," katanya.
Baca juga: Panitia seleksi perangkat desa di Kudus tuntut Unpad gelar tes ulang
Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Dahlena menyebutkan tiga mekanisme pemberhentian perangkat desa.
Pertama, perangkat desa yang melanggar larangan telah dikenai sanksi administrasi berupa teguran lisan dan/atau tertulis. Kedua, dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, dilakukan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Ketiga, pemberhentian ditetapkan oleh kepala desa setelah berkonsultasi dengan camat atas nama bupati/wali kota.
Berdasarkan laporan tersebut, Dahlena menyampaikan saat ini Ombudsman RI sedang mengkaji persoalan pemberhentian perangkat desa oleh itu.
Selanjutnya, hasil kajian tersebut akan dimanfaatkan dalam perumusan masukan bagi pengambil kebijakan guna mengatasi persoalan pemberhentian perangkat desa.
Saat ini, Dahlena mengatakan Ombudsman memandang perlu tata kelola pemerintahan desa, khususnya tentang pemberhentian perangkat desa.
Baca juga: Tito Karnavian pelajari tiga poin aspirasi PPDI
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023
Tags: