Artikel
Memperkokoh "tulang punggung" ekonomi RI redam resesi Eropa
Oleh Kuntum Khaira Riswan
8 Juli 2023 13:33 WIB
Penumpang berjalan keluar setibanya di Terminal Kedatangan Internasional di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Kamis (6/7/2023). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/Spt/aa.
Jakarta (ANTARA) - Eropa resmi memasuki ambang resesi lantaran produk domestik bruto (PDB) di benua biru terkontraksi 0,1 persen pada kuartal pertama 2023 dan secara resmi melanjutkan kontraksi pada kuartal empat 2022 yang turun 0,1 persen.
Ekonom ING Bank Charlotte de Montpellier memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa pada 2023 hanya mencapai 0,5 persen akibat fase stagnasi yang telah dimulai sejak musim semi tahun lalu.
Mimpi buruk tersebut telah diprediksi oleh Komisi Eksekutif Uni Eropa dan para ekonom dunia sebagai akibat dari perpaduan ketegangan politik Rusia-Ukraina dan krisis energi yang menyebabkan peningkatan pada harga di berbagai sektor dan berujung pada tingginya inflasi.
Kendati negara-negara di Uni Eropa bukanlah satu dari 10 negara tujuan ekspor utama Indonesia, bukan berarti badai ekonomi di benua dengan negara-negara yang menempati urutan atas pendapatan perkapita tertinggi di dunia itu tidak berdampak pada Indonesia.
Presiden Joko Widodo secara blak-blakan menyebut bahwa kondisi ekonomi dunia sekarang mengerikan dan senantiasa mengingatkan bahwa ketidakpastian global masih mengintai pertumbuhan ekonomi.
“Supaya Bapak Ibu bisa bayangkan, dunia ini, sekarang ini mengerikan. Yang namanya Eropa, 20 negara Eropa sudah masuk secara teknikal, masuk ke jurang resesi,” kata Presiden.
Tulang punggung
Menyikapi guncangan dunia, tentu Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, mengingat ekonomi Tanah Air baru saja terbebas dari kekangan pandemi COVID-19. Mitigasi dan penguatan terus dilakukan dari berbagai sisi oleh kementerian/lembaga sesuai mandat yang telah diamanatkan Presiden Jokowi.
Termasuk memperkokoh tulang punggung ekonomi nasional yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang terbukti tahan banting menghadapi berbagai krisis ekonomi, yakni pada krisis moneter 1997-1998, krisis 2008, hingga yang terakhir krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Pada krisis ekonomi 1997-1998, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di sektor skala besar. Namun, UMKM membuka lebar tangannya untuk menampung pekerja sektor formal yang baru saja menjadi pengangguran tersebut.
Begitu juga saat COVID-19 yang memaksa banyak perusahaan formal menonaktifkan banyak karyawannya karena harus menghemat pengeluaran sebagai akibat dari pemasukan yang sangat amat terbatas.
Jalan terjal yang ditempuh pemerintah Indonesia bergotong bersama rakyat itu bahkan dituangkan dalam buku yang Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Diprakarsai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang saat itu menjabat sebagai ketua Komite PC-PEN, Bab 2 pada buku tersebut turut mengulas peran khusus UMKM yang sekali lagi menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Ada krisis yang kita bandingkan. Pada 1997-1998 di mana shock-nya dari eksternal, 2000-an shock-nya di internal, dan pada akhir ini COVID-19, shock-nya di internal. Dari tiga periode krisis ini, dari sumber mana pun, UMKM itu cukup kuat,” kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kemenko Perekonomian Rudy Salahuddin.
Menjawab krisis di Eropa yang guncangannya terasa dari luar, Deputi Rudy kembali meyakini bahwa UMKM masih akan terus menggeliat dan menjadi tulang punggung nasional asal Pemerintah bisa memastikan mobilitas masyarakat tetap terjaga.
Ia menekankan bahwa pengalaman Indonesia menghadapi pandemi yang kini status pandeminya telah resmi dicabut itu, cukup untuk membekali diri menghadapi aneka guncangan dunia.
Tambahan "kalsium" yang secara khusus telah disiapkan Pemerintah untuk memperkokoh tulang punggung nasional salah satunya diwujudkan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah senantiasa disalurkan, bahkan tahun ini ditargetkan mencapai Rp14,5 triliun.
Tentu program lain seperti pendampingan, peningkatan akses UMKM ke platform digital juga menjadi tambahan "vitamin" bagi UMKM agar bisa terus bertahan sebagai penggerak ekonomi masyarakat maupun dari mitigasi kondisi global yang tidak terlalu bagus.
Kinerja gemilang UMKM turut ditegaskan oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang mengatakan bahwa menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen sangat amat dimungkinkan dengan mengandalkan belanja dalam negeri oleh pemerintah dan masyarakat.
Secara khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mencatat potensi belanja produk UMKM di tahun ini bisa mencapai hingga Rp2.000 triliun dengan rincian belanja dari BUMN sekitar Rp500 triliun, belanja pemerintah Rp500 triliun, belanja untuk kebutuhan di Ibu Kota Nusantara Rp400 triliun dan belanja dari perusahaan besar Rp400 triliun.
Penguatan ekonomi yang mengandalkan belanja pemerintah, belanja BUMN, belanja usaha besar termasuk konsumsi masyarakat yang besarnya mencapai 53 persen dan membelinya dari dalam negeri, ditakar akan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi bisa bertahan di atas 5 persen.
Selain mengakselerasi persentase belanja produk UMKM, Menteri Teten juga tengah berupaya agar UMKM bisa menjadi ekosistem dari rantai pasok industri. Selain untuk meningkatkan kualitas produk dan kapasitas produksi, masuknya UMKM ke rantai pasok industri yang juga diiringi dengan pemberian KUR khusus, dampak lain yang bisa dimanfaatkan adalah kemudahan dalam mendapatkan akses pembiayaan.
Jika UMKM masuk ke rantai pasok, tentu target pasarnya sudah pasti dan tentu tidak akan sulit membayar pembiayaan, otomatis perbankan tidak akan ragu untuk memberikan kredit. Begitu rantainya.
Sayangnya, UMKM yang telah berhasil masuk ke rantai pasok baru 7 persen saja dari jumlahnya yang mencapai 64 juta. Jauh tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 24,7 persen atau Korea Selatan, Jepang dan China yang telah melebihi 60 persen.
Upaya lain untuk mengakselerasi pertumbuhan dan penguatan UMKM juga dilakukan dengan mencari UMKM potensial yang mampu melantai di bursa saham. Jika UMKM yang terhubung rantai pasok baru 7 persen, UMKM yang sudah go public baru berjumlah 33 usaha.
KemenKopUKM pun pada awal Juni lalu telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bursa Efek Indonesia untuk mempercepat listing UMKM dan menawarkan sahamnya kepada masyarakat.
Upaya mendorong UMKM listing tersebut tentu menjadi alternatif baru di bidang pendanaan yakni skema investasi melalui pasar modal dan tentu membuat UMKM naik kelas dan go global.
Alternatif ekspor
Porsi UMKM terhadap total ekspor sekitar 14 persen. Ini artinya UMKM mempunyai kontribusi terhadap ekspor dan ketika terjadi tekanan pada ekspor yang ada di Eropa maka UMKM yang berorientasi ekspor harus melakukan shifting atau perubahan pasar.
Produk unggulan ekspor ke Eropa seperti furnitur, kerajinan, dan alas kaki, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, bisa digeser ke pasar Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Peralihan pasar juga bisa dilakukan dengan menyasar negara-negara di Afrika Utara dengan menyediakan produk UMKM berbasis komoditas seperti komoditas rempah, komoditas perikanan hingga produk olahan makanan dan minuman.
Negara-negara yang menawarkan perjanjian dagang juga bisa menjadi sasaran peralihan agar para UMKM yang selama ini telah menjadi eksportir tidak mendadak kehilangan pasar. Contohnya, Amerika Serikat yang memiliki Generalized System of Preferences (GSP), sebuah program perdagangan yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dengan menyediakan entri bebas bea masuk preferensi untuk hingga 4.800 produk dari 129 negara termasuk Indonesia.
“Yang perlu disiapkan adalah masing-masing negara kalau melakukan pengalihan dari Eropa, produk UMKM tadi harus disesuaikan dengan standar dan sertifikasi dan ini harus dibantu oleh Pemerintah karena biaya sertifikasi juga tidak murah,” tutur Bhima.
Ekonom ING Bank Charlotte de Montpellier memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa pada 2023 hanya mencapai 0,5 persen akibat fase stagnasi yang telah dimulai sejak musim semi tahun lalu.
Mimpi buruk tersebut telah diprediksi oleh Komisi Eksekutif Uni Eropa dan para ekonom dunia sebagai akibat dari perpaduan ketegangan politik Rusia-Ukraina dan krisis energi yang menyebabkan peningkatan pada harga di berbagai sektor dan berujung pada tingginya inflasi.
Kendati negara-negara di Uni Eropa bukanlah satu dari 10 negara tujuan ekspor utama Indonesia, bukan berarti badai ekonomi di benua dengan negara-negara yang menempati urutan atas pendapatan perkapita tertinggi di dunia itu tidak berdampak pada Indonesia.
Presiden Joko Widodo secara blak-blakan menyebut bahwa kondisi ekonomi dunia sekarang mengerikan dan senantiasa mengingatkan bahwa ketidakpastian global masih mengintai pertumbuhan ekonomi.
“Supaya Bapak Ibu bisa bayangkan, dunia ini, sekarang ini mengerikan. Yang namanya Eropa, 20 negara Eropa sudah masuk secara teknikal, masuk ke jurang resesi,” kata Presiden.
Tulang punggung
Menyikapi guncangan dunia, tentu Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, mengingat ekonomi Tanah Air baru saja terbebas dari kekangan pandemi COVID-19. Mitigasi dan penguatan terus dilakukan dari berbagai sisi oleh kementerian/lembaga sesuai mandat yang telah diamanatkan Presiden Jokowi.
Termasuk memperkokoh tulang punggung ekonomi nasional yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang terbukti tahan banting menghadapi berbagai krisis ekonomi, yakni pada krisis moneter 1997-1998, krisis 2008, hingga yang terakhir krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Pada krisis ekonomi 1997-1998, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran di sektor skala besar. Namun, UMKM membuka lebar tangannya untuk menampung pekerja sektor formal yang baru saja menjadi pengangguran tersebut.
Begitu juga saat COVID-19 yang memaksa banyak perusahaan formal menonaktifkan banyak karyawannya karena harus menghemat pengeluaran sebagai akibat dari pemasukan yang sangat amat terbatas.
Jalan terjal yang ditempuh pemerintah Indonesia bergotong bersama rakyat itu bahkan dituangkan dalam buku yang Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Diprakarsai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang saat itu menjabat sebagai ketua Komite PC-PEN, Bab 2 pada buku tersebut turut mengulas peran khusus UMKM yang sekali lagi menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Ada krisis yang kita bandingkan. Pada 1997-1998 di mana shock-nya dari eksternal, 2000-an shock-nya di internal, dan pada akhir ini COVID-19, shock-nya di internal. Dari tiga periode krisis ini, dari sumber mana pun, UMKM itu cukup kuat,” kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kemenko Perekonomian Rudy Salahuddin.
Menjawab krisis di Eropa yang guncangannya terasa dari luar, Deputi Rudy kembali meyakini bahwa UMKM masih akan terus menggeliat dan menjadi tulang punggung nasional asal Pemerintah bisa memastikan mobilitas masyarakat tetap terjaga.
Ia menekankan bahwa pengalaman Indonesia menghadapi pandemi yang kini status pandeminya telah resmi dicabut itu, cukup untuk membekali diri menghadapi aneka guncangan dunia.
Tambahan "kalsium" yang secara khusus telah disiapkan Pemerintah untuk memperkokoh tulang punggung nasional salah satunya diwujudkan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah senantiasa disalurkan, bahkan tahun ini ditargetkan mencapai Rp14,5 triliun.
Tentu program lain seperti pendampingan, peningkatan akses UMKM ke platform digital juga menjadi tambahan "vitamin" bagi UMKM agar bisa terus bertahan sebagai penggerak ekonomi masyarakat maupun dari mitigasi kondisi global yang tidak terlalu bagus.
Kinerja gemilang UMKM turut ditegaskan oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang mengatakan bahwa menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen sangat amat dimungkinkan dengan mengandalkan belanja dalam negeri oleh pemerintah dan masyarakat.
Secara khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mencatat potensi belanja produk UMKM di tahun ini bisa mencapai hingga Rp2.000 triliun dengan rincian belanja dari BUMN sekitar Rp500 triliun, belanja pemerintah Rp500 triliun, belanja untuk kebutuhan di Ibu Kota Nusantara Rp400 triliun dan belanja dari perusahaan besar Rp400 triliun.
Penguatan ekonomi yang mengandalkan belanja pemerintah, belanja BUMN, belanja usaha besar termasuk konsumsi masyarakat yang besarnya mencapai 53 persen dan membelinya dari dalam negeri, ditakar akan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi bisa bertahan di atas 5 persen.
Selain mengakselerasi persentase belanja produk UMKM, Menteri Teten juga tengah berupaya agar UMKM bisa menjadi ekosistem dari rantai pasok industri. Selain untuk meningkatkan kualitas produk dan kapasitas produksi, masuknya UMKM ke rantai pasok industri yang juga diiringi dengan pemberian KUR khusus, dampak lain yang bisa dimanfaatkan adalah kemudahan dalam mendapatkan akses pembiayaan.
Jika UMKM masuk ke rantai pasok, tentu target pasarnya sudah pasti dan tentu tidak akan sulit membayar pembiayaan, otomatis perbankan tidak akan ragu untuk memberikan kredit. Begitu rantainya.
Sayangnya, UMKM yang telah berhasil masuk ke rantai pasok baru 7 persen saja dari jumlahnya yang mencapai 64 juta. Jauh tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 24,7 persen atau Korea Selatan, Jepang dan China yang telah melebihi 60 persen.
Upaya lain untuk mengakselerasi pertumbuhan dan penguatan UMKM juga dilakukan dengan mencari UMKM potensial yang mampu melantai di bursa saham. Jika UMKM yang terhubung rantai pasok baru 7 persen, UMKM yang sudah go public baru berjumlah 33 usaha.
KemenKopUKM pun pada awal Juni lalu telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bursa Efek Indonesia untuk mempercepat listing UMKM dan menawarkan sahamnya kepada masyarakat.
Upaya mendorong UMKM listing tersebut tentu menjadi alternatif baru di bidang pendanaan yakni skema investasi melalui pasar modal dan tentu membuat UMKM naik kelas dan go global.
Alternatif ekspor
Porsi UMKM terhadap total ekspor sekitar 14 persen. Ini artinya UMKM mempunyai kontribusi terhadap ekspor dan ketika terjadi tekanan pada ekspor yang ada di Eropa maka UMKM yang berorientasi ekspor harus melakukan shifting atau perubahan pasar.
Produk unggulan ekspor ke Eropa seperti furnitur, kerajinan, dan alas kaki, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, bisa digeser ke pasar Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand.
Peralihan pasar juga bisa dilakukan dengan menyasar negara-negara di Afrika Utara dengan menyediakan produk UMKM berbasis komoditas seperti komoditas rempah, komoditas perikanan hingga produk olahan makanan dan minuman.
Negara-negara yang menawarkan perjanjian dagang juga bisa menjadi sasaran peralihan agar para UMKM yang selama ini telah menjadi eksportir tidak mendadak kehilangan pasar. Contohnya, Amerika Serikat yang memiliki Generalized System of Preferences (GSP), sebuah program perdagangan yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dengan menyediakan entri bebas bea masuk preferensi untuk hingga 4.800 produk dari 129 negara termasuk Indonesia.
“Yang perlu disiapkan adalah masing-masing negara kalau melakukan pengalihan dari Eropa, produk UMKM tadi harus disesuaikan dengan standar dan sertifikasi dan ini harus dibantu oleh Pemerintah karena biaya sertifikasi juga tidak murah,” tutur Bhima.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023
Tags: