Jakarta (ANTARA News) - Presiden Venezuela Hugo Chavez telah dimakamkan, Jumat (8/3). Dia meninggal dunia setelah mengidap kanker yang misterius.

Ironisnya, pada Desember 2011, Chavez malah memperingatkan para pemimpin Amerika Latin untuk mewaspadai "kanker dadakan" itu.

"Evo awaslah. Correa, hati-hatilah. Kita tak tahu (yang bakal terjadi)," kata Chavez kepada Presiden Bolivia Evo Morales dan Presiden Ekuador Rafael Correa.

Chavez yang didiagnosis menderita kanker pada Juni 2011 itu menuduh Amerika Serikat, khususnya CIA, "menanamkan" kanker kepada para pemimpin Amerika Latin anti-AS.

"Aneh saja melihat (Presiden Paraguay Fernando) Lugo terkena kanker, lalu (Presiden Brazil) Dilma (Rousseff) saat mencalonkan presiden, saya sendiri, yang setahun lagi akan pemilu, kemudian beberapa waktu lalu (mantan Presiden Brazil) Lula (da Silva) dan kini (Presiden Argentina) Cristina (Kirchner)," kata Chavez kepada Radio Nacional de Venezuela seperti dilaporkan Guardian, 29 Desember 2011.

Chavez sendiri berulangkali diingatkan mantan pemimpin Kuba Fidel Castro yang menurut pengawal pribadinya Fabian Escalante sudah 638 kali hendak dibunuh CIA.

"Fidel selalu bilang padaku, `Chavez hati-hatilah. Orang-orang itu punya teknologi maju. Kamu itu sangat ceroboh. Awasi apa yang kamu makan...satu jarum kecil dan mereka menyuntikmu dengan tak tahulah saya apa namanya,`" kata Chavez menirukan Castro seperti dikutip Guardian.

Pada 2009, Chavez mengaku pernah diserang roket oleh agen CIA bernama Luis Posada Carriles saat akan menghadiri pelantikan Presiden kiri El-Salvador Carlos Mauricio Funes.

Menurut the Telegraph, Carriles pernah dipenjara di Panama karena berencana membunuh Castro pada 2000, namun dibebaskan pemerintah Panama yang kemungkinan ditekan pemerintah AS dan CIA.

Pada April 2002, Chavez juga pernah diturunkan oleh kudeta rancangan CIA. 48 jam kemudian pemerintahan hasil kudeta ini balik digulingkan rakyat.

Untuk urusan mengkudeta Amerika Latin, AS memang kerap mengotakinya, seperti dalam penggulingan Presiden Chile Salvador Allende pada 1973 dan Presiden Guatemala Jacobo Arbenz pada 1954.

WikiLeaks

Spekulasi "kanker Chavez" terus bergulir. Pada 28 Februari 2013 atau lima hari sebelum Chavez dinyatakan meninggal, blog Miami News Times menulis kematian Chavez sudah diperkirakan jauh-jauh hari.

Menyitir dokumen rahasia yang dibocorkan WikiLeaks, blog ini mewartakan rangkaian surel dari perusahaan konsultan intelijen Stratfor mengenai kanker Chavez bahwa pada Desember 2012 dokter-dokter Kuba dan Rusia yang merawatnya berdebat mengenai cara menangani kanker Chavez yang menyebar ke kelenjar getah bening dan tulang belakang.

Kuba menyimpulkan Chavez bertahan dua tahun, tapi Rusia memperkirakan Chavez cuma bisa bertahan kurang dari setahun.

Selain memuat Venezuela pasca-Chavez, dokumen yang ditulis analis Stratfor bernama Reva Bhalla yang acap tampil di CNN ini menyebut dokter-dokter Venezuela tak tahu cara mengatasi jenis kanker yang diderita Chavez yang mulai tumbuh dekat prostat lalu menjadi tumor seukuran bola baseball dalam usus besar.

Presiden ad interim Venezuela Nicolas Maduro menuduh seseorang telah sengaja menyebarkan kanker kepada Chavez. Madoru tak ragu menyebut Chavez korban pembunuhan.

Klaim itu diamini sejumlah pihak, diantaranya tokoh komunis Rusia Gennady Zyuganov yang menuduh AS merancang kematian Chavez.

"Bagaimana bisa enam pemimpin Amerika Latin yang kritis terhadap kebijakan AS dan berusaha menciptakan aliansi berpengaruh untuk membangun negara-negara independen dan berdaulat, secara beruntun diserang penyakit yang sama?" tanya Zyuganov seperti dikutip RIA Novosti.

Sulit terbuktikan

Tapi tetap saja tak ada yang bisa menerangkan bagaimana kanker itu menulari Chavez.

Namun yang pasti, sejak Doktrin Monroe tahun 1823, AS kerap "bermain" di Amerika Latin karena didorong kepentingan bisnis para pengendali perusahaan-perusahaan multinasional yang umumnya juga bankir-bankir penyetir pemerintah AS.

John Perkins, dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, menyebut bankir-bankir inilah yang mengendalikan pemerintah AS.

Menurut Perkins, para bankir ini rutin merancang pembunuhan kepala negara, baik oleh pembunuh bayaran maupun pembunuh dari CIA.

Selama berkarir sebagai "tukang pukul ekonomi," Perkins tahu persis sepak terjang bankir-bankir ini di Amerika Latin dan dunia.

Perkins kerap menemui para pemimpin dunia agar mau berutang sampai negara itu tak bisa melunasinya sehingga bankir-bankir itu leluasa memperbudak negara itu.

"Ketika satu negara bangkrut, para bankir ini menguasai sumber daya negara itu dan praktis mencengkeram pemerintah serta ekonomi negara itu," kata Kevin Barrett, islamolog dari AS.

Saat menemui pemimpin satu negara, Perkins membujuk dan mengancamnya untuk berutang. Jika setuju berutang maka negara itu meretas jalan untuk diperbudak, namun jika Perkins diusir, maka para bankir akan mengirim asteroid (pembunuh) kepada pemimpin yang tak kooperatif itu.

Perkins pernah bersaksi di Kongres AS mengenai pembunuhan para pemimpin Amerika Latin.

Confessions of an Economic Hit Man sendiri dia dedikasikan untuk dua kawannya yang dibunuh CIA, yaitu (mantan) Presiden Panama Omar Torrijos dan (mantan) Presiden Ekuador Jaime Roldos.

Naif

Kevin Barrett yakin Chavez dibunuh lewat "metode kanker" yang disebutnya pernah menimpa Jack Ruby, anggota mafia dan pembunuh bayaran yang merancang pembunuhan Presiden John F Kennedy pada 1963.

Ruby pernah memohon dibawa ke Washington untuk membeberkan cerita sesungguhnya dari pembunuhan Kennedy, namun keburu mati di penjara oleh kanker misterius.

Mengutip Edward Haslam dalam bukunya Dr. Mary's Monkey, Barret menyebut jaksa kasus pembunuhan Kennedy pernah mendakwa agen CIA David Ferrie yang ikut merancang pembunuhan Kennedy, telah mengembangkan virus penyebab kanker untuk CIA.

Tujuan virus ini: menyebarkan kanker kepada Fidel Castro dan para pemimpin Amerika Latin.

Ferrie mati sebelum bersaksi dalam kasus pembunuhan Kennedy.

"Jadi, jika Anda berpikir Hugo Chavez meninggal karena kematian alami, Anda benar-benar naif," kata Barrett dalam laman Press TV, Iran.

AS sendiri membantah. "Tuduhan bahwa Amerika Serikat terlibat dalam penyebab sakitnya Presiden Chavez adalah absurd," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Patrick Ventrell seperti dikutip Wall Street Journal.

Ironisnya sekelompok warga AS tak menepis negaranya mungkin terlibat dalam kematian Chavez.

Belum lama ini, tiga kelompok aktivis HAM --Partnership for Civil Justice Fund, ANSWER Coalition, dan Liberation Newspaper-- meminta CIA, Badan Intelijen Pertahanan (DIA), dan Departemen Luar Negeri untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kemungkinan keterkaitan AS dalam pembunuhan kepala negara asing.

Tak heran jika Gennady Zyuganov dan seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Iran mengimbau diadakannya penyelidikan untuk mengetahui kemungkinan "permainan" di balik kematian Chavez.

Di atas spekulasi itu, dunia memuji Chavez. Sekjen PBB Ban Ki-moon menyebutnya pembawa perdamaian di Amerika Latin, sedangkan aktor Sean Pean mendaulatnya sebagai pembela rakyat miskin.

"Hari ini Amerika Serikat kehilangan teman yang tak pernah dikenal sebelumnya. Dan kaum miskin sejagat kehilangan pembelanya," kata Pean dalam CNN.com. (*)