PSI minta pemberatan bagi oknum KPK yang korupsi
7 Juli 2023 17:30 WIB
Arsip foto - Petugas berjaga di depan Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat peresmian di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (6/10/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/aa.
Jakarta (ANTARA) - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pemberatan hukuman terhadap oknum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan suap, gratifikasi, dan pemerasan di rumah tahanan (rutan) KPK.
"Partai Solidaritas Indonesia meminta Pasal 52 KUHP diterapkan dan ditambahkan dalam UU Tipikor dengan menambah sanksi sepertiga bagi koruptor dari aparat penegak hukum," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI Francine Widjojo dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa KPK seharusnya menjadi garda depan memberantas korupsi hingga ke akarnya. Oleh karena itu, oknum pegawai KPK yang terbukti korupsi harus dikenai tambahan sanksi sepertiga sesuai Pasal 52 KUHP.
"Sanksi pemberat sepertiga ini juga diterapkan di UU TPKS dan UU Perlindungan Anak jika pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi dan mengayomi korban," kata Francine.
Pasal 52 KUHP mengatur bahwa pejabat yang melakukan tindak pidana dengan melanggar kewajiban khusus jabatannya maupun menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana dalam jabatannya dapat ditambah sanksi pidana sepertiga sebagai pemberat.
Suap, gratifikasi, dan pemerasan diancam 4—20 tahun penjara hingga seumur hidup berdasarkan Pasal 12 huruf (e) dan Pasal 12B UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001. Misalnya, ancaman pidana penjaranya 12 tahun penjara maka menjadi 16 tahun penjara karena tambah pemberatan sepertiga.
"Korupsi adalah pengkhianatan tertinggi bagi profesi penegak hukum, apalagi KPK, dan harus dihukum seberat-beratnya," ujarnya.
Sebelumnya, kasus dugaan korupsi di internal KPK mencuat setelah 15 pegawai KPK diduga terlibat pungli di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK dengan nilai mencapai Rp4 miliar. Penyelidikan terhadap 15 pegawai di Rutan KPK itu masih berjalan hingga saat ini.
Setelah terkuaknya kasus itu, KPK melakukan evaluasi sistem tata kelola di rutan dan sudah bersurat dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk asistensi pengelolaan rutan.
Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa KPK tidak akan memberikan toleransi terhadap pegawainya yang terlibat dalam segala bentuk tindak pidana.
"KPK menerapkan zero tolerance, artinya tidak pernah ada toleransi terhadap pelaku-pelaku kriminal tindak pidana korupsi, khususnya yang terjadi di KPK ini," kata Asep, Rabu (28/6).
Baca juga: KPK tegaskan "zero tolerance" tangani pelanggaran internal
Baca juga: Wapres minta KPK berantas pungli di rutan
"Partai Solidaritas Indonesia meminta Pasal 52 KUHP diterapkan dan ditambahkan dalam UU Tipikor dengan menambah sanksi sepertiga bagi koruptor dari aparat penegak hukum," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI Francine Widjojo dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa KPK seharusnya menjadi garda depan memberantas korupsi hingga ke akarnya. Oleh karena itu, oknum pegawai KPK yang terbukti korupsi harus dikenai tambahan sanksi sepertiga sesuai Pasal 52 KUHP.
"Sanksi pemberat sepertiga ini juga diterapkan di UU TPKS dan UU Perlindungan Anak jika pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi dan mengayomi korban," kata Francine.
Pasal 52 KUHP mengatur bahwa pejabat yang melakukan tindak pidana dengan melanggar kewajiban khusus jabatannya maupun menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana dalam jabatannya dapat ditambah sanksi pidana sepertiga sebagai pemberat.
Suap, gratifikasi, dan pemerasan diancam 4—20 tahun penjara hingga seumur hidup berdasarkan Pasal 12 huruf (e) dan Pasal 12B UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001. Misalnya, ancaman pidana penjaranya 12 tahun penjara maka menjadi 16 tahun penjara karena tambah pemberatan sepertiga.
"Korupsi adalah pengkhianatan tertinggi bagi profesi penegak hukum, apalagi KPK, dan harus dihukum seberat-beratnya," ujarnya.
Sebelumnya, kasus dugaan korupsi di internal KPK mencuat setelah 15 pegawai KPK diduga terlibat pungli di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK dengan nilai mencapai Rp4 miliar. Penyelidikan terhadap 15 pegawai di Rutan KPK itu masih berjalan hingga saat ini.
Setelah terkuaknya kasus itu, KPK melakukan evaluasi sistem tata kelola di rutan dan sudah bersurat dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk asistensi pengelolaan rutan.
Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa KPK tidak akan memberikan toleransi terhadap pegawainya yang terlibat dalam segala bentuk tindak pidana.
"KPK menerapkan zero tolerance, artinya tidak pernah ada toleransi terhadap pelaku-pelaku kriminal tindak pidana korupsi, khususnya yang terjadi di KPK ini," kata Asep, Rabu (28/6).
Baca juga: KPK tegaskan "zero tolerance" tangani pelanggaran internal
Baca juga: Wapres minta KPK berantas pungli di rutan
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: