UNCTAD: FDI global turun 12 persen di tahun 2022 karena krisis
6 Juli 2023 07:49 WIB
Arsip foto - Turbin angin digambarkan di Brandenburg, Jerman, 15 September 2022. ANTARA/Xinhua/Ren Pengfei.
Jenewa (ANTARA) - Setelah rebound kuat pada 2021, investasi asing langsung (FDI-foreign direct investment) global turun 12 persen pada tahun 2022 menjadi 1,3 triliun dolar AS, kata Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) pada Rabu (5/7).
Krisis global yang tumpang tindih, seperti konflik militer antara Rusia dan Ukraina, harga pangan dan energi yang tinggi, dan utang publik yang melonjak, menjadi penyebab utama penurunan, kata UNCTAD dalam Laporan Investasi Dunia 2023.
Penurunan paling terasa di negara-negara maju, dimana FDI turun 37 persen menjadi 378 miliar dolar AS. Sebagai catatan positif, pengumuman proyek investasi greenfield (investasi dalam bentuk pendirian unit-unit produksi baru) naik 15 persen pada tahun 2022, tumbuh di sebagian besar wilayah dan sektor, kata laporan itu.
Industri yang berjuang dengan tantangan rantai pasokan, termasuk elektronik, semikonduktor, otomotif dan permesinan, mengalami lonjakan proyek, sementara investasi di sektor ekonomi digital melambat, katanya lagi.
Laporan itu mengungkapkan defisit investasi tahunan yang melebar yang dihadapi negara-negara berkembang saat mereka bekerja untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2030. Kesenjangan sekarang sekitar 4 triliun dolar AS per tahun - naik dari 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2015, ketika SDGs diadopsi.
Investasi internasional dalam pembangkit energi terbarukan, termasuk matahari dan angin, tumbuh sebesar 8,0 persen, lebih lambat dari pertumbuhan 50 persen yang tercatat pada tahun 2021. Khususnya, proyek yang diumumkan dalam pembuatan baterai meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 100 miliar dolar AS pada tahun 2022, tambah laporan tersebut.
Meskipun investasi energi terbarukan meningkat hampir tiga kali lipat sejak diadopsinya Perjanjian Paris pada tahun 2015, sebagian besar uang mengalir ke negara-negara maju.
Sementara negara-negara berkembang membutuhkan sekitar 1,7 triliun dolar AS setiap tahun dalam investasi energi terbarukan -- termasuk jaringan listrik, jalur transmisi, dan penyimpanan -- mereka hanya menarik sekitar 544 miliar dolar AS pada 2022, kata laporan itu.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional besar dalam energi terbarukan. Meskipun sebagian besar negara berkembang telah menetapkan target untuk beralih ke sumber energi berkelanjutan, hanya sepertiga dari mereka yang mengubah target tersebut menjadi informasi persyaratan investasi.
Laporan tersebut menyerukan dukungan mendesak kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka menarik lebih banyak investasi secara signifikan buat transisi mereka ke energi bersih.
UNCTAD mengusulkan tindakan prioritas yang kompak, mulai dari mekanisme pembiayaan hingga kebijakan investasi, untuk memastikan energi berkelanjutan untuk semua.
Baca juga: Merengkuh manfaat arus modal lewat Keketuaan ASEAN 2023
Baca juga: Ekonomi pulih, China buka peluang bagi dunia
Krisis global yang tumpang tindih, seperti konflik militer antara Rusia dan Ukraina, harga pangan dan energi yang tinggi, dan utang publik yang melonjak, menjadi penyebab utama penurunan, kata UNCTAD dalam Laporan Investasi Dunia 2023.
Penurunan paling terasa di negara-negara maju, dimana FDI turun 37 persen menjadi 378 miliar dolar AS. Sebagai catatan positif, pengumuman proyek investasi greenfield (investasi dalam bentuk pendirian unit-unit produksi baru) naik 15 persen pada tahun 2022, tumbuh di sebagian besar wilayah dan sektor, kata laporan itu.
Industri yang berjuang dengan tantangan rantai pasokan, termasuk elektronik, semikonduktor, otomotif dan permesinan, mengalami lonjakan proyek, sementara investasi di sektor ekonomi digital melambat, katanya lagi.
Laporan itu mengungkapkan defisit investasi tahunan yang melebar yang dihadapi negara-negara berkembang saat mereka bekerja untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2030. Kesenjangan sekarang sekitar 4 triliun dolar AS per tahun - naik dari 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2015, ketika SDGs diadopsi.
Investasi internasional dalam pembangkit energi terbarukan, termasuk matahari dan angin, tumbuh sebesar 8,0 persen, lebih lambat dari pertumbuhan 50 persen yang tercatat pada tahun 2021. Khususnya, proyek yang diumumkan dalam pembuatan baterai meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 100 miliar dolar AS pada tahun 2022, tambah laporan tersebut.
Meskipun investasi energi terbarukan meningkat hampir tiga kali lipat sejak diadopsinya Perjanjian Paris pada tahun 2015, sebagian besar uang mengalir ke negara-negara maju.
Sementara negara-negara berkembang membutuhkan sekitar 1,7 triliun dolar AS setiap tahun dalam investasi energi terbarukan -- termasuk jaringan listrik, jalur transmisi, dan penyimpanan -- mereka hanya menarik sekitar 544 miliar dolar AS pada 2022, kata laporan itu.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional besar dalam energi terbarukan. Meskipun sebagian besar negara berkembang telah menetapkan target untuk beralih ke sumber energi berkelanjutan, hanya sepertiga dari mereka yang mengubah target tersebut menjadi informasi persyaratan investasi.
Laporan tersebut menyerukan dukungan mendesak kepada negara-negara berkembang untuk memungkinkan mereka menarik lebih banyak investasi secara signifikan buat transisi mereka ke energi bersih.
UNCTAD mengusulkan tindakan prioritas yang kompak, mulai dari mekanisme pembiayaan hingga kebijakan investasi, untuk memastikan energi berkelanjutan untuk semua.
Baca juga: Merengkuh manfaat arus modal lewat Keketuaan ASEAN 2023
Baca juga: Ekonomi pulih, China buka peluang bagi dunia
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023
Tags: