Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 80.000 penduduk Indonesia menjalani hemodialisis atau terapi cuci darah akibat gangguan ginjal yang dideritanya.

Dan, setiap tahunnya sekitar 2.700 warga Indonesia menggalami gangguan fungsi ginjal, kata Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) dr Dharmeizar, Sp. PD-KGH di Jakarta Rabu, merujuk pada data dari PT Askes.

Terapi penganti fungsi ginjal seperti hemodialisis, harus dilakukan bila pasien sudah menderita penyakit ginjal kronis stadium lanjut.

Dharmeizar mengemukakan bahwa pada saat kemampuan ginjal untuk membersihkan darah hanya mencapai 15 ml per menit, maka penyakit ginjal kronik sudah memasuki stadium lanjut, sehingga pasien harus menjalani terapi pengganti ginjal.

"Penyakit ginjal kronik tidak bisa disembuhkan, dalam hal ini kondisi ginjal tidak bisa kembali normal. Sebaliknya penurunan fungsi ginjal akan terjadi perlahan-lahan," jelas Dharmeizar.

Lebih lanjut Dharmeizar mengemukakan bahwa penyakit ini harus mendapatkan perhatian lebih karena penyakit ginjal kronis seringkali tidak disertai gejala.

Pada umumnya gejala baru muncul saat penyakit sudah memasuki stadium lanjut.

"Beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, infeksi-obstruksi, glomerylonefritis kronik, penyakit ginjal polukistik, merupakan jenis-jenis penyakit yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronis," kata Dhameizar.

Dharmeizar lalu mengimbau agar masyarakat dengan faktor risiko tersebut lebih waspada dan bisa memeriksakan kondisi ginjal, sebelum gangguan fungsi ginjal semakin parah.

Bila sejak awal sudah dilakukan pemeriksaan, Dharmeizar menyatakan bahwa penyakit ginjal kronis masih bisa dihambat melalui beberapa jenis terapi ginjal yang akan dilakukan untuk memperlambat laju perkembangan penyakit ginjal kronik.

"Pemeriksaan bisa berupa tes urin, tes darah untuk memeriksa kreatinin, serta USG untuk menguji fungsi ginjal. Biopsi ginjal dilakukan bila pasien diduga dan memiliki indikasi kuat mengalami penyakit ginjal kronik," imbuh Dharmeizar.

(M048)