Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan terbuka kemungkinan pengembangan kasus yang menjerat Anas Urbaningrum mengarah pada dikenakannya pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Sampai hari ini belum ada sangkaan TPPU. Tapi terbuka kemungkinan itu pada tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi termasuk Anas," kata juru bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan pengenaan TPPU bisa dilakukan apabila KPK menemukan bukti awal yang bisa disimpulkan mengenakan pasal tersebut. Karena itu, menurut dia, Anas kemungkinan bisa dikenakan TPPU jika penyidik menemukan indikasi pencucian uang oleh yang bersangkutan.

Menurut Johan, saat ini KPK juga sedang mendalami dan mengembangkan proses penyidikan kasus tersebut. Hal itu termasuk penelusuran aset yang dimiliki Anas.

"Penelusuran aset sedang dilakukan, dan rekening AU belum diblokir," ujarnya.

Johan mengatakan KPK juga sudah mengirimkan surat kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri apakah ada aliran dana yang mencurigakan di rekening Anas.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menjadi tersangka dalam kasus proyek sport center Hambalang.

Menurut Johan, Anas telah melanggar tindak pidana korupsi dalam kaitannya sebagai anggota DPR RI sebelum menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Selain itu, ujarnya, penetapan Anas ini telah melalui gelar perkara (ekspose) yang dilakukan lima pimpinan KPK, dan disetujui semua pimpinan serta ditandatangani Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

KPK menjerat Anas dengan Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam audit BPK terkait proyek Hambalang menyimpulkan ada indikasi penyimpangan peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan berbagai pihak dalam proyek Hambalang. Indikasi kerugian negara sampai pemeriksaan per 30 Oktober 2012 mencapai Rp243,66 miliar.

Salah satu temuan penyimpangan BPK yaitu terkait kontrak tahun jamak bahwa Menteri Keuangan menyetujui kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan proses persetujuan kontrak tahun jamak setelah melalui proses penelaah secara berjenjang secara bersama-sama.

Padahal, menurut BPK, kontrak tahun jamak itu diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010.

Pelanggaran itu, antara lain tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangun secara teknis harus dilaksanakan dalam waktu lebih dari satu tahun anggaran.

Selain itu, permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tidak diajukan oleh menteri. Terakhir, revisi Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) Kemenpora 2010 yang menunjukkan kegiatan lebih dari satu tahun anggaran belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran.

Lalu terkait persetujuan RKA-KL 2011, Dirjen Anggaran menetapkan RKA-KL Kemenpora tahun 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan proyek tahun jamak disetujui. Dirjen Anggaran diduga melanggar PMK 104 /PMK.02/2010.

(I028/I007)