ELSAM soroti Kemendikbud untuk penulisan narasi baru sejarah Indonesia
30 Juni 2023 22:05 WIB
Tangkapan layar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar dalam diskusi publik bertajuk “Catatan Akhir Tahun 2022: Demokrasi, Hukum, HAM dan Pertahanan-Keamanan”, disiarkan di kanal YouTube Imparsial, dipantau dari Jakarta, Selasa (27/12/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menyoroti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) untuk penulisan narasi baru sejarah Indonesia terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
“Mestinya, ini (penulisan narasi baru sejarah Indonesia) bisa diserahkan ke Kemendikbud atau pun kemudian kepada Sekretariat Negara untuk menyusun buku putih sejarah baru Indonesia,” ujar Wahyudi ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.
Wahyudi menjelaskan bahwa penulisan narasi baru dapat menyentuh aspek kurikulum pembelajaran di instansi pendidikan. Oleh karena itu, salah satu instansi yang dapat menjadi koordinator terkait dengan penyusunan narasi baru sejarah Indonesia adalah Kemendikbud.
“Dari situ lalu kemudian bisa menjadi acuan dalam melakukan proses-proses perubahan kurikulum,” ujarnya.
Penulisan narasi baru sejarah Indonesia merupakan langkah minimal yang harus ditempuh oleh pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu secara non-yudisial.
Langkah tersebut merupakan jawaban untuk permasalahan distorsi sejarah. Distorsi sejarah merupakan salah satu dampak dari terjadinya pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Korban sambut baik penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat
Baca juga: Jokowi: Luka pelanggaran HAM berat masa lalu harus segera dipulihkan
“Mekanisme yang lain adalah dengan menggunakan mekanisme pengungkapan kebenaran. Nah, ini yang ideal,” kata Wahyudi.
Misalnya, tutur Wahyudi melanjutkan, dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Akan tetapi, menimbang situasi politik yang saat ini berlangsung, terlebih menjelang pemilihan umum, Wahyudi memandang hal tersebut sulit untuk diwujudkan.
“Yang paling minimal itu tadi, bagaimana kemudian ada proses penulisan sejarah baru Indonesia,” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia yang dimulai dari Aceh, Selasa (27/6), dalam upaya pemulihan hak para korban.
Program tersebut sepenuhnya mengacu pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM).
Wahyudi memaparkan bahwa kickoff implementasi dari penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh menekankan pada aspek-aspek terkait pemulihan dan reparasi korban.
“Yang masih kosong itu adalah bagaimana kelanjutan dari rekomendasi untuk menyusun narasi secara baru itu,” ujarnya.
Padahal, bagi Wahyudi, untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat, kelanjutan dari rekomendasi untuk menyusun narasi secara baru penting untuk ditindaklanjuti.
“Itu bisa menjadi rujukan di dalam mengubah distorsi sejarah,” tuturnya.
Baca juga: ELSAM usul pembentukan gugus tugas pemulihan hak korban HAM
Baca juga: Mahfud sebut tiga alasan Aceh lokasi peluncuran penyelesaian HAM berat
“Mestinya, ini (penulisan narasi baru sejarah Indonesia) bisa diserahkan ke Kemendikbud atau pun kemudian kepada Sekretariat Negara untuk menyusun buku putih sejarah baru Indonesia,” ujar Wahyudi ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.
Wahyudi menjelaskan bahwa penulisan narasi baru dapat menyentuh aspek kurikulum pembelajaran di instansi pendidikan. Oleh karena itu, salah satu instansi yang dapat menjadi koordinator terkait dengan penyusunan narasi baru sejarah Indonesia adalah Kemendikbud.
“Dari situ lalu kemudian bisa menjadi acuan dalam melakukan proses-proses perubahan kurikulum,” ujarnya.
Penulisan narasi baru sejarah Indonesia merupakan langkah minimal yang harus ditempuh oleh pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu secara non-yudisial.
Langkah tersebut merupakan jawaban untuk permasalahan distorsi sejarah. Distorsi sejarah merupakan salah satu dampak dari terjadinya pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Korban sambut baik penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat
Baca juga: Jokowi: Luka pelanggaran HAM berat masa lalu harus segera dipulihkan
“Mekanisme yang lain adalah dengan menggunakan mekanisme pengungkapan kebenaran. Nah, ini yang ideal,” kata Wahyudi.
Misalnya, tutur Wahyudi melanjutkan, dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Akan tetapi, menimbang situasi politik yang saat ini berlangsung, terlebih menjelang pemilihan umum, Wahyudi memandang hal tersebut sulit untuk diwujudkan.
“Yang paling minimal itu tadi, bagaimana kemudian ada proses penulisan sejarah baru Indonesia,” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia yang dimulai dari Aceh, Selasa (27/6), dalam upaya pemulihan hak para korban.
Program tersebut sepenuhnya mengacu pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM).
Wahyudi memaparkan bahwa kickoff implementasi dari penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh menekankan pada aspek-aspek terkait pemulihan dan reparasi korban.
“Yang masih kosong itu adalah bagaimana kelanjutan dari rekomendasi untuk menyusun narasi secara baru itu,” ujarnya.
Padahal, bagi Wahyudi, untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat, kelanjutan dari rekomendasi untuk menyusun narasi secara baru penting untuk ditindaklanjuti.
“Itu bisa menjadi rujukan di dalam mengubah distorsi sejarah,” tuturnya.
Baca juga: ELSAM usul pembentukan gugus tugas pemulihan hak korban HAM
Baca juga: Mahfud sebut tiga alasan Aceh lokasi peluncuran penyelesaian HAM berat
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023
Tags: