Jakarta (ANTARA) - Membicarakan Indonesia sebagai negara agraris yang subur, agaknya sulit terhindar dari polemik. Tanah Indonesia yang subur dan ijo royo-royo acap didengung-dengungkan, dari generasi ke generasi melalui berbagai cerita hingga syair lagu.

Demikian pula pengalaman perseorangan menancapkan batang singkong atau menyebar biji cabai di pekarangan lalu tumbuh begitu saja hingga dapat dipanen melimpah meskipun tak dirawat.

Bertani lantas dianggap persoalan yang mudah dan kurang dihargai, seperti tercermin dari harga-harga produk pertanian yang murah.

Jika tak percaya uraian tersebut, tengok saja para politikus yang dalam pidato-pidato politiknya sering memandang persoalan pertanian adalah hal yang mudah diselesaikan.

Padahal, ketika dicoba sebuah program menanam, maka selalu kegagalan yang dijumpai. Andaikan berhasil panen melimpah, paling bertahan 2—3 musim tanam, lalu ditinggalkan tak lagi berlanjut.

Penyebabnya mulai dari hasil panen yang semakin berkurang dari musim ke musim hingga harga pasar yang rendah sehingga dianggap tak menguntungkan.

Sudah banyak politikus, pebisnis, kaum kolonial, hingga kaum milineal menganggap gampang menyelesaikan persoalan pertanian, namun malah menyerah.

Pada 2010, penulis mengecek puluhan hingga ratusan pelaku bisnis pertanian termasuk tanaman hortikultura, tanaman hias, dan tanaman pangan, yang sukses pada era 2000—2005, di basis data sebuah majalah pertanian, lalu mencoba menghubunginya kembali.

Mereka ada yang sukses bergerak di sektor hulu, menengah, serta hilir atau mengelaborasi bisnis pertanian dari hulu hingga hilir.

Hasilnya, pelaku bisnis pertanian yang bertahan melampaui periode waktu 5—10 tahun dapat dihitung dengan jari tangan. Sisanya tumbang karena berbagai alasan.

Tentu dengan fakta sejarah itu penulis tak heran ketika mendengar sebuah perusahaan startup, yang berkembang menjadi marketplace, lalu meraksasa menjadi e-commerce bernama Tani Hub akhirnya bangkrut.

Tani Hub didirikan sekelompok anak muda pada 2016 lalu sukses dengan nama besar pada 2020, tetapi tak mampu bertahan pada 2023.

Hasil penelusuran penulis, mereka yang tetap bertahan di bisnis pertanian umumnya telah memiliki segmen pasar yang jelas dan tetap, tetapi juga sulit memperlebar segmen pasarnya.

Beberapa yang bertahan akhirnya juga berhenti karena sang pemilik bertambah sepuh tanpa ada generasi kedua dan ketiga yang berminat melanjutkan.

Tentu penelusuran tersebut perlu diverifikasi lebih mendalam oleh ahlinya dengan riset lebih lanjut mengingat penulis bukanlah peneliti di bidang sosial ekonomi pertanian. Siapa tahu hasil penelusuran penulis keliru.

Tulisan ini sekadar hendak menyampaikan bahwa pertanian sesungguhnya sektor yang memiliki hidden complexity alias kompleksitas tersembunyi yang tak terlihat oleh kebanyakan orang yang bergelut di luar sektor pertanian.

Sayangnya, kompleksitas tersembunyi tersebut baru dapat tersingkap ketika orang-orang nonpertanian telah membenamkan modalnya pada sektor pertanian.

Bagi orang yang telah lama bergelut di bidang pertanian seperti petani, pedagang, pengolah produk pertanian yang diwarisi aktivitas pertanian oleh orang tuanya, maka kompleksitas itu telah disadari sehingga umumnya mereka memilih dan membatasi pada segmen tertentu pada rantai tata niaga tani.

Demikian pula para akademisi dan peneliti pertanian yang memang belajar pertanian memahami hal tersebut. Mereka akan sangat berhati-hati menjawab ketika masyarakat awam bertanya komoditas apa yang menguntungkan untuk ditanam di sebuah tempat.


Memahami kompleksitas

Sesungguhnya bertani memang mudah ketika aktivitas bertani bersifat hobi, subsisten, dan sekadar sampingan.

Berbeda ketika bertani untuk skala komersial dengan harapan penghasilan pemiliknya setara take home pay pegawai negeri golongan III dan golongan IV atau setara pada jabatan supervisor dan manajer di sebuah perusahaan swasta.

Pada konteks ini, bertani telah menjadi sebuah aktivitas yang kompleks serta berisiko tinggi.

Sekadar contoh dari hasil obrolan penulis dengan seorang juragan padi di Subang 18 tahun silam. Skala ekonomis bertani padi untuk mendapatkan pendapatan bersih layaknya seorang lulusan sarjana yang mapan adalah pada luas 12 hektare!

Ada juga beberapa praktisi di seminar-seminar yang menyebut skala ekonomis di luasan 9 ha, tergantung produktivitas lahan masing-masing per satuan luas dan waktu.

Silakan dihitung betapa padat modal yang harus dibenamkan di sektor pertanian untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Pada komoditas lain seperti cabai atau tomat, luas skala ekonomis mungkin lebih sempit, tetapi tetap padat modal karena biaya perawatan pupuk dan pestisida yang juga tinggi.

Tulisan ini bukan berarti untuk menakut-nakuti orang di luar pertanian untuk terjun di sektor pertanian, tetapi sebagai warning yang harus diketahui sebelum orang luar terjun berinvestasi di sektor pertanian.

Adanya peringatan itu membuat calon pelaku bisnis di sektor pertanian dapat mempersiapkan strategi untuk mengunci risiko-risiko yang bakal dihadapi.

Calon pelaku bisnis juga dapat memilih segmen tata niaga yang paling tepat dimasuki sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Jangan pernah tergoda langsung bertani komoditas tertentu tanpa tahu pasarnya ke mana, kecuali siap untuk memasarkan door to door.

Demikianlah juga jangan langsung tergoda menanam komoditas tertentu dalam skala besar karena pasarnya sudah terbuka luas di ritel modern atau mancanegara.

Permintaan pasar umumnya memiliki syarat dan ketentuan tertentu, seperti standar ukuran, standar penampilan, dan standar rasa. Kualitas tertentu tersebut umumnya hanya tersedia 10—30 persen dari total hasil panen.

Dampaknya, calon pelaku bisnis harus siap 70—90 persen hasil panen diterima pasar dengan harga ala kadarnya untuk pasar tradisional.

Pada konteks ini hanya pelaku bisnis pertanian yang mampu melakukan usahanya secara efisien dan efektif saja yang dapat bertahan.

Jika tidak, maka usaha pertanian komersial akan kalah oleh hasil dari petani subsisten yang terserak di berbagai wilayah yang harganya lebih murah dengan kualitas seadanya.

Demikian pula pada level pemerintah. Sektor pertanian tidak dapat diserahkan pada yang bukan ahlinya. Menyerahkan sektor pertanian pada yang bukan ahlinya dapat menyebabkan penyederhanaan-penyederhanaan berlebihan yang dapat berakibat fatal.

Sekadar gerakan tanam singkong, tanam jagung, atau tanam cabai skala komersial yang terlihat mudah pun dapat saja gagal jika tanpa perencanaan yang mendalam dan tanpa didampingi ahlinya.

Terakhir, kompleksitas di dunia pertanian itu terjadi karena usaha di sektor pertanian merupakan sebuah siklus atau daur yang terus menerus sehingga membutuhkan keberlanjutan usaha untuk memutar daur tersebut tetap berjalan.

Pada daur tersebut selalu ada biomassa yang keluar dari daur yaitu hasil panen. Demikian pula di setiap fase daur tersebut terdapat hambatan dan kendala masing-masing yang spesifik.

Dampaknya aktivitas pertanian selalu penuh ketidakpastian (high uncertainty) dan sangat kompleks (high complexity) sehingga sebetulnya berisiko tinggi (high risk).

Hanya mereka yang memahami ketidakpastian dan mampu mengurai kompleksitas yang dihadapi serta berani mengambil risiko yang dapat sukses di dunia pertanian.


*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc. adalah peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).