Denpasar (ANTARA) - Diskusi hangat mengenai HIV dan AIDS yang diselenggarakan di Kota Denpasar, Bali, baru-baru ini mengingatkan kembali mengenai pentingnya memberikan perhatian terus menerus terhadap masalah itu.

Satu persatu perwakilan komunitas, yakni transpuan (perempuan transgender), pekerja seks perempuan (PSP) dan lelaki seks lelaki (LSL), serta komunitas ODHIV, dengan bersemangat menyampaikan ceritanya dalam upaya turut menekan penyebaran dan kasus baru HIV.

Komunitas yang mungkin oleh kebanyakan orang diberi label negatif ini, juga menjadi bagian dari mereka yang turut aktif memberikan penyadaran kepada anggota komunitasnya agar rutin memeriksakan kondisi kesehatannya.

Selain itu, bagi mereka yang sudah berstatus orang dengan HIV (ODHIV) agar tidak sampai putus mengonsumsi Antiretroviral (ARV) untuk mengurangi risiko penularan HIV dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup ODHIV.

Meskipun puskesmas-puskesmas di Bali telah membuka layanan VCT (voluntary counselling and testing) untuk tes HIV, keterlibatan komunitas berisiko tersebut tetap diperlukan untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang terlindungi dari penyakit tersebut.

Seperti halnya disampaikan Kimora, perwakilan komunitas transpuan yang mengatakan susahnya bangun pagi menjadi salah satu alasan keengganan anggota komunitas transpuan untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.

Komunitas transpuan kebanyakan bekerja di malam hari, sehingga sulit untuk bangun pagi. Tetapi kini untungnya sudah ada puskesmas yang buka tes HIV hingga pukul 19.00 Wita. Selain itu mereka juga harus ada yang mengantar dan menjemput untuk melakukan tes.

Di Denpasar terdata sebanyak 103 orang transpuan dan 63 orang sudah melakukan tes HIV dari periode Januari hingga Juni 2023.

Selain edukasi pentingnya tes HIV, pihaknya juga aktif mengedukasi pentingnya penggunaan kondom bagi para transpuan dengan profesi yang berisiko, termasuk pendampingan terkait dengan akses bantuan hukum bagi kelompok transpuan yang mengalami dugaan kekerasan.

Lain lagi penuturan dari seorang pekerja seks perempuan (PSP) dengan nama panggilan Imey yang juga aktivis di sebuah yayasan di Bali untuk program penanggulangan HIV/AIDS.

Untuk menekan penularan HIV, ia aktif memberikan sosialisasi kepada rekan-rekan di komunitasnya agar rutin memeriksakan diri atau melakukan tes ke sejumlah fasilitas kesehatan. Mereka digugah untuk memanfaatkan betul fasilitas dari puskesmas yang menunjukkan bahwa negara telah betul-betul hadir untuk rakyatnya.

Bagi pekerja seks perempuan langsung (PSPL) harus rutin melakukan tes HIV karena setiap hari pekerjaannya seperti itu. PSPL ini mereka yang bekerja di lokalisasi.

Sementara pekerja seks perempuan tidak langsung (PSPTL), biasanya mereka menjalani tes HIV enam bulan sekali. Yang termasuk PSPTL adalah mereka yang bekerja di karaoke, SPA, kafe, maupun menggunakan aplikasi.

Untuk PSPL maupun PSPTL yang telah dijangkau dengan edukasi dan sosialisasi, mereka akan rutin melakukan tes HIV. Namun ada juga yang PSPTL yang "nakal" yang tidak mengakui dirinya sebagai bagian dari pekerja seks perempuan, sehingga susah untuk dijangkau.

Hambatan beberapa komunitas itu adalah ketika menghadapi mereka yang mengingkari profesinya sebagai berisiko. Karena itu, menghadapinya harus dengan penuh kesabaran dan ketalatenan tinggi

Tantangan berikutnya juga datang dari PSP yang sudah positif HIV, tetapi masih dalam kondisi sehat. Kelompok ini terus didorong dan diingatkan supaya rutin mengonsumsi Antiretroviral (ARV).

Dari yang terkumpul menunjukkan bahwa di Denpasar tercatat ada 1.159 orang pekerja seks perempuan. Dari jumlah itu, yang sudah melakukan tes HIV sebanyak 1.049 orang dari periode bulan Januari hingga Mei 2023. Artinya, sudah semakin sedikit jumlah mereka yang tidak melakukan pemeriksaan HIV.

Selanjutnya dari komunitas Lelaki Seks Lelaki (LSL) terungkap juga bahwa mereka gencar melakukan upaya untuk mengajak komunitasnya melakukan tes HIV.

Tim advokasi LSL dari sebuah yayasan sudah mendata sebanyak 1.652 orang LSL. Dari jumlah tersebut pihaknya sudah merujuk 1.160 orang untuk mengikuti tes HIV di puskesmas maupun klinik-klinik swasta.

Tim itu melakukan pendataan, baik secara langsung maupun daring. Bahkan, tim itu menyasar aplikasi-aplikasi yang digunakan oleh mereka karena tidak semua dari mereka mau terbuka dan kebanyakan tersembunyi.

Forum Peduli AIDS (FPA) Kota Denpasar menilai edukasi dan advokasi kepada publik dan mereka yang berisiko terkena HIV ini sangat penting. Hal itu juga perlu didukung oleh sinergi dan kolaborasi berbagai pihak untuk penanggulangan HIV-AIDS.

Penanganan masalah HIV/AIDS ini harus terus dinilai penting karena waktu menuju Pencanangan Indonesia Bebas AIDS tahun 2030 dengan Program "Three Zero" tinggal 6,5 tahun lagi.

Dengan semakin banyak kasus HIV yang terungkap, justru semakin bagus, sehingga bisa lebih cepat tertangani dan mendapatkan Antiretroviral (ARV)

Dengan rutin mengonsumsi Antiretroviral (ARV), maka virus dalam darah orang dengan HIV (ODHIV) itu bisa turun (tersupresi) dan bahkan tidak terdeteksi lagi, sehingga dianggap tidak akan bisa menularkan lagi.


Keterlibatan desa

Jumlah HIV dan AIDS yang terdata di Bali sejak tahun 1987 hingga Maret 2023 sebanyak 28.529 kasus, dan untuk di Kota Denpasar pada periode yang sama tercatat sebanyak 14.947 kasus.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar Tri Indarti menyampaikan untuk kelompok yang rentan dengan risiko HIV/AIDS didominasi oleh hubungan heteroseksual mencapai 10.731 kasus dan kemudian disusul aktivitas homoseksual sebanyak 2.942 kasus.

Dilihat dari segi usia, mereka yang terinfeksi HIV/AIDS ini didominasi oleh usia produktif dari umur 20 – 29 tahun sebanyak 5.604 kasus dan usia 30 – 39 tahun sebanyak 5.075 kasus.

Pencanangan Indonesia bebas AIDS tahun 2030 dengan Program Three Zero haruslah melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat.

Three Zero yakni Zero New HIV Infection (nol infeksi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Death (nol kematian karena AIDS) dan Zero Discrimination (nol stigmatisasi).

Pemerintah sudah membuat jalur cepat untuk mengakhiri epidemi HIV dengan membuat target indikator. Dalam indikator itu ditargetkan 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV diobati dan 95 persen ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.

Terkait strategi menuju Three Zero yang digunakan melalui STOP (suluh, temukan, obati, dan pertahankan). "Suluh" berarti mengajak masyarakat memahami HIV. Kemudian "temukan", yakni tahu status HIV pada dirinya, "obati" adalah dengan mendapatkan terapi ARV, dan "pertahankan" jangan sampai putus mengonsumsi ARV.

Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Denpasar tak saja menggandeng komunitas, tapi juga melalui peran serta dari pihak desa.

KPA Kota Denpasar menyebut 14 dari 27 desa di Kota Denpasar sudah mengalokasikan dana penanggulangan HIV/AIDS yang bersumber dari Dana Desa.

Total jumlah anggaran penanggulangan HIV/AIDS dari 14 desa di Denpasar tersebut sebesar Rp220,19 juta. Untuk besaran masing-masing desa bervariasi, dari yang tertinggi Rp43,8 juta dan yang terkecil Rp1,48 juta.

Dasar hukum penganggaran HIV/AIDS di Denpasar diatur melalui sejumlah regulasi, di antaranya mulai dari UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Kemudian di Kota Denpasar juga diatur dalam Peraturan Wali Kota Denpasar No 25 Tahun 2019 tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hal Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Dalam Pasal 5 Ayat 2, disebutkan Kewenangan Lokal Berskala Desa terkait Kesehatan meliputi pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif di desa, penyuluhan sederhana tentang penyakit menular dan tidak menular, penyelenggaraan dan penguatan kelompok warga peduli AIDS.

Sementara itu pada 2023 ini, untuk penanganan HIV di Kota Denpasar dianggarkan Rp1,2 miliar yang dikelola oleh KPA dan Rp1,8 miliar yang digunakan oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

Harus ada komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan untuk menjaga Bali agar upaya penanggulangan HIV dan AIDS dapat berjalan optimal dan mendukung percepatan Pencanangan Indonesia Bebas AIDS tahun 2030.