Jakarta (ANTARA) - Kompleksitas isu anak buah kapal (ABK) perikanan migran bukan halangan untuk melindungi ABK migran dengan lebih baik lagi, kata para wakil ASEAN untuk HAM (AICHR) dalam forum konsultasi di Yogyakarta pada 26-28 Juni.

Melalui Deklarasi ASEAN terkait Penempatan dan Pelindungan ABK migran, mereka sepakat bahwa kolaborasi adalah keniscayaan untuk memberikan pelindungan yang lebih baik bagi ABK perikanan migran, demikian AICHR dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Pada Keketuaan Indonesia dalam ASEAN 2023, isu pelindungan ABK migran menjadi komitmen bersama ASEAN.

Ini adalah salah satu terobosan pada masa keketuaan Indonesia, mengingat kerja sama ASEAN telah cukup lama vakum dalam isu pelindungan ABK migran.

Forum Konsultasi AICHR menyoroti kerentanan ABK migran asal ASEAN dari praktik kekerasan di lingkungan pekerjaan dan TPPO.

Baca juga: AICHR tegaskan pentingnya perlindungan HAM dalam melawan ekstremisme

Faktor isolasi dan yurisdiksi membuat ABK migran menempati pekerjaan “3D” (Dirty, Dangerous and Difficult), demikian pernyataan tersebut.

AICHR menggarisbawahi sulitnya pengawasan pemenuhan hak-hak ABK saat berada di tengah laut dan sistem hukum internasional yang kadang tumpang tindih.

AICHR juga menjelaskan, meski risiko pekerjaan tinggi, jumlah ABK perikanan migran asal ASEAN cukup tinggi.

Berdasarkan data ILO pada 2022, ABK migran asal ASEAN yang bekerja di kapal berbendera Jepang, Korea Selatan dan Taiwan mencapai 125.000 orang.

Menurut AICHR, ASEAN perlu melakukan harmonisasi peraturan pelindungan, dan menyusun mekanisme pengaduan serta pelindungan korban kekerasan/TPPO ABK.

Langkah ini bisa menjadi awal nyata dalam mengimplementasikan deklarasi yang sudah menjadi komitmen pemimpin-pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, kata AIHCR.

Baca juga: Indonesia akan pimpin diskusi HAM dalam Pertemuan ke-37 AICHR