Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR RI Kamaruddin Sjam berpendapat penerapan asas resiprokal (kesetaraan perlakuan) di dalam negeri terhadap bank-bank asing belum tentu memajukan industri perbankan nasional.

"Penerapan asas resiprokal maupun pembatasan kepemilikan asing bukan tujuan prioritas untuk memajukan industri perbankan nasional. Langkah yang paling penting adalah menciptakan sebuah bank terbesar di kawasan Asia Tenggara," kata Kamaruddin Sjam saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, jika Indonesia memiliki bank terbesar di Asia Tenggara maka secara otomatis industri perbankan nasional akan lebih maju di kawasan tersebut.

"Saya sepakat dengan Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional) yang menilai bahwa Indonesia perlu mempunyai satu bank terbesar di Asia Tenggara. Dengan mempunyai satu bank terbesar tersebut kita bisa bersaing dengan negara lain, seperti Singapura, Malaysia, ataupun China," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa penerapan asas resiprokal itu sangat sulit karena masing-masing negara memiliki aturan yang berbeda pada industri perbankannya.

"Dan, tidak bisa dielakkan, kita juga membutuhkan investasi asing," ujarnya.

Menurut dia, adanya wacana soal pemberlakuan asas resiprokal dan pembatasan modal asing karena keresahan yang terjadi di sektor perbankan maupun industri perasuransian Indonesia.

Sebenarnya, kata dia, dengan adanya asas resiprokal dan pembatasan kepemilikan saham belum bisa melindungi bank lokal karena bank asing dapat memberikan bunga yang lebih murah, dan bisa memberikan akses ke tengah masyarakat ke bawah," ujarnya.

"Jadi, yang dibutuhkan apakah peningkatan usaha atau meningkatkan layanan masyarakat. Jangan terlalu alergi dengan asing, lalu kita menutup diri. Coba kita melihat China, yang dulunya negara tertutup, kini membuka diri sehingga menjadi negara maju," ujarnya.

(A063/D007)