Jakarta (ANTARA) - United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) menyebutkan Laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWP) yang diluncurkan secara global pada 19 April 2023 lalu telah membuka berbagai ketimpangan yang terjadi pada penduduk dunia.

“Kita semua berhak mendapatkan jawaban yang jelas, dan jalan yang kuat ke depan sehingga kita dapat mengukir jalan menuju masa depan yang lebih cerah dan lebih sehat bagi seluruh umat manusia,” kata Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia Anjali Sen dalam acara "8 Miliar Kehidupan: Kesempatan Tanpa Batas: Pentingnya Hak dan Pilihan", di Jakarta, Rabu.

Anjali menyebutkan dalam laporan itu ditemukan banyak masalah yang menyangkut isu di bidang kesehatan, hak seksual dan reproduksi berputar di dalam kehidupan penduduk dunia.

UNFPA menemukan sebanyak 24 persen perempuan dan anak perempuan, tidak bisa berkata tidak pada seks. Sementara 11 persen tidak bisa membuat keputusan terutama tentang pemakaian alat kontrasepsi.

Baca juga: UNFPA-BKKBN luncurkan Laporan SWP respons perubahan demografi dunia

Kemudian sekitar 257 juta perempuan di seluruh dunia memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk kontrasepsi yang aman dan terpercaya. Anjali menilai pada era yang sudah lebih maju ini seharusnya penggunaan kontrasepsi bisa direncanakan bersama oleh pasangan, sehingga dapat mencegah kehamilan yang tidak direncanakan serta kematian ibu dan bayi.

“Kami membutuhkan jalan ke depan yang memungkinkan setiap orang untuk membuat keputusan tentang kesehatan seksual dan reproduksi mereka sendiri, tentang kehidupan mereka sendiri, tentang masa depan mereka sendiri. Kami membutuhkan kebijakan yang membantu warga kami mencapai keinginan dan tujuan reproduksi mereka,” ujarnya.

Anjali menjelaskan melalui sebuah survei yang disebarkan di delapan negara, orang-orang yang sudah terekspos dengan media atau percakapan tentang penduduk dunia mengaku bahwa jumlah penduduk dunia yang per November 2022 jumlahnya sudah mencapai delapan miliar jiwa itu terlalu besar.

"Masyarakat berpikir bahwa dunia sudah mengalami kelebihan populasi. Beberapa menyalahkan populasi besar dan tingkat kesuburan yang tinggi untuk masalah global seperti perubahan iklim, sedangkan yang lainnya memiliki kekhawatiran banyak orang akan bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas," katanya.

Baca juga: BKKBN bersama UNFPA dan Yayasan Cipta resmikan "Family Planning" 2030

SWP mendapati beberapa pihak ikut menyalahkan fertilitas atas perubahan iklim tidak akan membuat penyumbang emisi karbon terbesar bertanggung jawab. Dari delapan miliar orang, sekitar 5,5 miliar di antaranya tidak menghasilkan cukup uang untuk bisa berkontribusi pada emisi karbon secara signifikan.

Fakta lainnya adalah demografi global berubah dengan cepat di mana dua per tiga orang hidup di konteks fertilitas rendah.

Sementara delapan negara seperti Republik Demokrat Kongo, Mesir, Ethiopia, India, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Republik Persatuan Tanzania akan menyumbangkan setengah dari proyeksi perkembangan populasi dunia pada 2050, yang akan secara dramatis merestrukturisasi peringkat negara-negara berpenduduk paling banyak di dunia.

Menanggapi temuan itu, Anjali mengatakan bahwa ketika kesempatan yang sama tersedia untuk semua orang, dan setiap orang dapat menggunakan haknya, maka penduduk dapat berkembang, hidup sehat, dan mencapai potensi penuh mereka.

Baca juga: UNFPA: Fokuskan perubahan demografi pada kualitas bukan sekadar angka

“Hanya dengan melindungi, menghormati, dan menjunjung tinggi hak, martabat, dan nilai yang setara bagi semua orang, kita dapat membuka masa depan dengan kemungkinan tak terbatas,” katanya.