Gao, Mali (ANTARA News) - Lima orang tewas dalam dua serangan bom mobil oleh militan garis keras terhadap kelompok pro-otonomi Tuareg MNLA di sebuah kota terpencil Mali yang berbatasan dengan Aljazair, kata seorang juru bicara gerilyawan, Jumat.

Serangan-serangan itu dilakukan di In Khalil, sekitar 1.700 kilometer sebelah timurlaut ibu kota Mali, Bamako, sehari setelah bom mobil menewaskan dua orang di Kidal dan pasukan Prancis serta Mali membunuh 15 militan di jalan-jalan di kota wilayah utara, Gao.

Moussa Ag Assarid, seorang wakil MNLA yang berkantor di Paris dikutip Reuters mengatakan, tersangka militan garis keras semula berusaha menabrakkan kendaraannya ke sebuah bangunan, namun mobil tersebut dihancurkan oleh gerilyawan sebelum tabrakan itu.

Sebuah mobil kedua kemudian menabrak pusat operasi lokal kelompok itu dan meledak.

Menurut Assarid, kedua penyerang bom itu dan tiga gerilyawan MNLA tewas dan tiga orang lain cedera.

Gerilyawan MNLA menguasai lagi Kidal dan sejumlah kota kecil di sekitar pegunungan Adrar des Ifoghas, dimana banyak muslim garis keras diyakini bersembunyi di dekat perbatasan dengan Alazair.

Prancis, yang memiliki hubungan dekat dengan gerilyawan Tuareg di lapangan, membentuk sebuah pangkalan di bandara Kidal.

Sehari sebelumnya, Kamis, pasukan Mali bentrok dengan gerilyawan di Gao, kota yang berpenduduk paling padat di Mali utara.

Pasukan yang dipimpin Prancis merebut kembali Gao pada 26 Januari dari militan terkait Al Qaida yang menguasai wilayah Mali utara selama 10 bulan setelah kudeta militer.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

(M014)