Jakarta (ANTARA News) - Simaklah "Bilangan Fu", jika anda suka menghamburkan waktu untuk bacaan rekaan, dan bersiaplah mendapati satu kalimat pengundang bersilat kata: "Suka nonton TV adalah ciri-ciri orang bodoh".


Hmm, para penggemar acara tv, para pekerja industri layar kaca dan turunannya pasti meradang.

Ucapan salah satu tokoh fiksi itu jelas tak lahir dari hasil pengamatan atau riset yang bisa dipertanggungjawabkan. Itu cuma celetukan yang sambil lalu.



Meski pernyataan itu lemah, ada sisi-sisi kebenarannya.

Yang tak suka dengan kalimat itu pastilah berargumen demikian: banyak manfaat nonton TV.



"Aku suka nonton CNN, NBC News, National Geographic, Discovery Channel. Aku berlangganan TV kabel memirsa acara-acara ekslusif," tutur seorang yang tak setuju dengan pernyataan dalam novel Ayu Utami itu.

"Aku tak suka nonton TV tapi suka melototi adiknya, monitor," ucap yang lain.

Maksudnya, monitor komputer, yang tentu saja bisa dipakai menghadirkan acara TV lewat saluran bermoda audio visual streaming.

"Sebelum ada TV sudah banyak orang bodoh," celetuk seorang penggemar acara Dahsyat.

Seorang penulis berkomentar dengan bahasa khas pembela kaum populis: "Suka nonton TV bukannya bodoh tapi tak kritis memilih tema. Mereka belum melek media."

"TV hanya medium. Tak bisa dipakai mengukur kebodohan seseorang," ujar seorang pemikir. Pemikir ini lalu berkata: TV bisa dipakai sebagai wahana pendidikan jaraj jauh. Universitas Terbuka menggunakan jasa TV untuk menyampaikan mata ajar.



TV juga bisa menghibur milayaran manusia menyaksikan olahraga akbar, pertandingan sepak bola Piala Dunia, Liga Champion.

Dengan reportase wartawan dan juru kamera, orang di udik bisa bersedih menyaksikan anak-anak terbunuh dalam perang, korban banjir yang mengungsi.



Pada saat yang sama, orang desa bisa belajar menyukai mode baju dan rambut yang sedang disohorkan para biduan pujaan.

Jadi, kesimpulan mereka yang tak setuju dengan kalimat di "Bilangan Fu" itu, tak ada hubungannya antara TV dan ciri-ciri kebodohan. Apalagi banyak anak cerdas juga suka nonton TV.

Seorang majikan yang kesal karena pembantunya suka menghabiskan waktu di depan TV jika sang majikan lagi tak di rumah pasti setuju dengan pendapat "Bilangan Fu".



"Dasar orang bodoh, doyan nonton tv!" kira-kira begitulah gerutu kesal sang majikan.

Sisi kebenaran kalimat di "Bilangan Fu" itu bisa dijabarkan begini: Ambil sampel di perkampungan mana pun. Di sana pasti ada seorang ibu yang menganggur atau remaja yang lulusan SMA tapi tak punya biaya melanjutkan kuliah.



Orang-orang ini menghabiskan waktu luangnya yang memang sangat melimpah dengan menghabiskan nonton TV dari pagi sampai ngantuk dan tertidur di depan TV sehingga TV lah yang menonton mereka sedang ngorok.

Orang-orang yang suka nonton TV ini, di era sekarang (beda dengan era ketika siara TV jadi monopoli negara) begitu dimanjakan. Mereka bisa nonton berita selebritas dari pagi sampai malam, dari stasiun TV yang berbeda, di tajuk acara yang berbeda tapi berisi substansi yang mirip-mirip.

Orang-orang ini lebih menikmati nonton TV dari pada mengolah tubuh dan pikiran mereka untuk sesuatu yang lebih bermakna. Misalnya terjun ke Posyandu untuk membantu memasak kacang ijo, ikut kursus keterampilan yang bisa memberikan makna bagi hidup mereka.

Orang-orang inilah yang oleh Neil Postman disebut mendapatkan hiburan sampai mati oleh kultur TV. Ya, TV memang menghadirkan hiburan, hiburan, hiburan hingga mati!



Bayangkan: debat perkara serius juga perlu ada pembicara yang berperan sebagai badut.




Penemuan solusi bukan urusan pembuat acara debat di TV. Urusan mereka adalah membuat acara debat serius jadi tontonan.




Yang disasar adalah pemirsa TV yang gemar lelucon lewat wacana yang dikemas seolah-olah serius.

"Televisi menghacurkan kebudayaan," ini teriak Postman jauh sebelum "Bilangan Fu" muncul.



Postman mungkin berlebihan. Yang dilupakan Postman: TV melahirkan kultur! Dan mengubah banyak hal.

Sampai di sini, jangan terlalu serius menanggapi apa yang terlontar di "Bilangan Fu". Yang penting: cukuplah Anda resah jika seharian anak-anak Anda hanya menghabiskan waktunya di depan TV.



Bukankah manusia yang sehat perlu sering gerak, melihat dunia riil dan berinteraksi dengan banyak teman.




Ada yang percaya pada seorang yang mengatakan: pada dasarnya menonton sinetron sama dengan membaca novel. Bedanya di sini: menonton bukan cara yang memudahkan untuk belajar menulis.

Membacalah cara yang bisa memudahkan untuk menulis. Tapi kenapa mesti belajar menulis? Kenapa tidak belajar membuat sinetron?

Ya, pertanyaan-pertanyaan itu merupakan bukti bahwa hubungan TV dan kebodohan penaka hubungan langit dan bumi. Jauh sekali keterkaitannya.

(M020)