Padi huma dipetik secara manual oleh petani yang kebanyakan kaum perempuan, menggunakan ketam dan dikumpulkan gabah itu satu per satu.
Gabah yang sudah terkumpul itu kemudian diikat atau gegeus dengan berat antara 10-13 kilogram/ikat dan dijemur agar cepat mengering.
Petani perempuan itu tak kenal lelah bekerja di ladang di Blok Cicuraheum seluas 20 hektare.
"Panen padi huma itu mampu menyumbangkan ketersediaan pangan keluarga," kata Santa, seorang petani Badui kepada ANTARA.
Petani Badui yang menggarap lahan seluas 20 hektare merasa lega karena sekitar 60 persen bisa dipanen dan 40 persen terserang hama.
Panen tahun lalu petani Badui merugi karena banyak tanaman padi terserang hama, sehingga hanya 10 persen yang bisa dipanen.
Petani Badui saat ini memasuki musim panen padi huma, ada yang di hutan tanah hak ulayat adat, juga kawasan luar adat, tersebar di Leuwidamar, Sobang, Cirinten, Cileles, Muncang, Gunungkencana dan Bojongmanik.
Para petani Badui panen padi huma di luar tanah hak ulayat adat dengan sistem menyewa lahan milik Perum Perhutani maupun lahan orang lain.
Mereka panen hari ini dari tanam Januari 2023 karena menggunakan benih lokal, dengan masa panen selama enam bulan.
Panen raya padi huma di Kecamatan Gunungkencana di lahan milik Perum Perhutani, dengan anggota petani Badui mencapai 30 orang.
Masyarakat Badui menempati lahan milik negara itu untuk dijadikan areal pertanian tanaman padi huma dengan sistem tumpang sari bersama tanaman sayuran, palawija, dan tanaman keras.
Para petani bersyukur hasil panen padi huma cukup baik, karena curah hujan 2023 cukup tinggi hingga menyuburkan lahan pertanian.
Tarwinah (50), petani Badui, bercocok tanam setahun dilakukan satu kali tanam untuk dijadikan ketahanan pangan keluarga dan pendapatan ekonomi.
Saat ini, dirinya bercocok tanam ladang seluas satu hektare di perbatasan dengan masyarakat luar Badui di Kecamatan Cirinten.
Masyarakat Badui mengembangkan pertanian ladang kebanyakan di lahan luar kawasan adat, sebab tanah adat relatif kecil dengan bertambahnya penduduk.
Mereka turun temurun menanam padi huma dan tanaman lainnya di lahan darat karena keputusan adat juga tidak menggunakan pupuk kimia.
Kemungkinan panen padi huma bisa menghasilkan sebanyak 30 karung dari lahan 5.000 meter dan bisa memenuhi kebutuhan pangan selama setahun.
Selain menanam padi huma, mereka juga menanam budi daya umbi-umbian, pisang dan jagung.
Tanpa kelaparan
Kepala adat yang juga Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Jaro Saija, mengingat selama ini, dalam sejarah masyarakat Badui hingga kini belum pernah mengalami kelaparan maupun krisis pangan.
Persediaan pangan di pemukiman masyarakat Badui melimpah dari hasil panen itu tidak banyak dikonsumsi, terlebih adanya program bantuan beras yang diluncurkan pemerintah.
Masyarakat Badui mendapatkan sebanyak 10 kg beras dari Kemensos, karena masuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga 10 kilogram dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang didistribusikan PT Pos Indonesia.
Stok pangan gabah huma hanya digunakan untuk acara pernikahan, sunatan, maupun pesta adat.
Selama ini, gabah-gabah huma yang disimpan di rumah pangan tidak digunakan untuk konsumsi, namun sebagai cadangan jika benar-benar paceklik, seperti pertanian ladang terserang hama atau penyakit yang mengakibatkan gagal panen.
Seluruh masyarakat Badui berprofesi sebagai petani ladang dengan bercocok tanam padi huma dan palawija serta hortikultura.
Penghasilan petani Badui dari menanam padi huma dengan masa panen selama enam bulan ke depan untuk persediaan pangan keluarga.
Sementara untuk panen cikur, jahe, dan pisang menjadi pendapatan ekonomi tiga bulanan hingga 12 bulanan.
Selain itu ada juga pendapatan lima tahunan, seperti tanaman keras albasia dan pulai.
Para petani Badui menjual hasil komoditas alam itu ke penampung maupun tengkulak setempat.
Masyarakat Badui bercocok tanam di ladang karena mempertahankan adat leluhur yang mengembangkan di lahan darat dan tidak boleh di areal persawahan.
Masyarakat Badui dilarang menanam padi di sawah juga dilarang menggunakan alat cangkul dan pupuk kimia.
Data di Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lebak menunjukkan masyarakat Suku Badui yang hidup di pedalaman daerah itu tidak pernah mengalami rawan pangan karena mereka selalu menyimpan hasil panen.
Stok pangan mereka malah melimpah dari hasil panen ladang huma.
Dari panen padi huma itu, puluhan sampai ratusan ikatan gabah disimpan melalui leuit-leuit. Leuit itu sebagai sumber rumah ketersediaan pangan.
Masyarakat Badui membangun leuit yang biasanya didirikan di belakang rumah guna memenuhi ketersediaan pangan.
Pembangunan leuit di belakang rumah karena lokasinya dekat dengan dapur dan mudah untuk mengambilnya.
Swasembada
Dinas Pertanian Kabupaten Lebak mencatat selama ini petani Badui sudah mampu swasembada sendiri untuk ketersediaan pangan konsumsi keluarga dan belum pernah mengalami krisis pangan.
Masyarakat Badui bercocok tanam padi huma atau padi gogo di lahan darat hingga melimpah, karena mereka sebagian gabah disimpan di lumbung pangan atau rumah leuit
Petani Badui bercocok tanam padi dengan cara berpindah- pindah lahan sesuai adat nenek moyangnya agar tanamannya tumbuh subur dan menghasilkan ketahanan pangan serta pendapatan keluarga.
Para petani Badui sangat terbantu dengan adanya kebijakan pemerintah yang memperbolehkan lahan milik BUMN itu dimanfaatkan oleh petani dengan cara menyewa.
Keunggulan masyarakat Badui itu, jika musim panen padi huma dari hasil bercocok tanam ladang tidak dijual, namun disimpan di rumah pangan untuk persediaan kebutuhan pangan keluarga.
Seluruh rumah pangan itu diisi penuh stok padi huma hingga menampung 5-7 ton gabah per lumbung.
Persediaan pangan di kawasan Badui belum mengalami kehabisan dari hasil panen padi huma itu.
Karena itu, masyarakat Badui hingga kini mempunyai ketahanan pangan yang kuat.
Saat ini petani Badui memiliki 4.000 rumah pangan dan jika rata-rata empat ton saja per rumah pangan, maka ada 160 ribu ton gabah kering sebagai persediaan.
Produksi gabah yang ada di rumah pangan itu merupakan cadangan pangan keluarga sehingga dapat melindungi dari ancaman kerawanan pangan.