Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova menyatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS pada penutupan perdagangan pada Senin sore karena penguatan index dolar AS dan yeild obligasi pemerintah Amerika Serikat dalam tenor dua tahun.

"Index dolar AS dan yeild obligasi menguat seiring dengan ekspektasi kebijakan The Fed ke depan yang diperkirakan masih akan hawkish (suku bunga tinggi)," kata dia ketika ditanya Antara, Jakarta, Senin.

Kendati demikian, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang lebih tinggi telah memberikan sentimen positif bagi rupiah, sehingga pelemahan rupiah tidak terlalu dalam.

"Ekspektasi pertumbuhan dari OECD menempatkan Indonesia jadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi," ucapnya

Menurut dia, perhatian pada berita ekspektasi pertumbuhan OECD disebutkan tidak ada data-data ekonomi AS yang dirilis. "Ke depan, pelaku pasar kembali fokus pada data inflasi AS pada 13 Juni dan hasil meeting The Fed per 14 Juni 2023," ungkap Rully.

Pada penutupan perdagangan Senin, rupiah mengalami pelemahan 0,15 persen atau 22 poin menjadi Rp14.862 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.840 per dolar AS.

Sepanjang hari, rupiah bergerak dari Rp14.855 per dolar AS hingga Rp14.902 per dolar AS.

Baca juga: Pengamat: Pergerakan rupiah berpotensi masih dalam fase konsolidasi
Baca juga: Dolar turun di Asia jelang pertemuan Fed dan bank sentral utama lain
Baca juga: Yuan tergelincir 97 basis poin menjadi 7,1212 terhadap dolar AS