Telaah
Penas XVI dan komoditas lokal untuk kedaulatan pangan
Oleh Prof Dr Ir A. Muhammad Syakir, MS & Dr Destika Cahyana, SP M
10 Juni 2023 15:06 WIB
Penari membawakan tarian penyambutan saat pembukaan Pekan Nasional (Penas) Tani Nelayan XVI di Lanud Sutan Sjahrir Padang, Sumatera Barat, Sabtu (10/6/2023). Penas Tani yang dihadiri 23.780 peserta dari berbagai daerah di Indonesia itu digelar hingga lima hari mendatang menampilkan pameran teknologi pertanian dan perikanan. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/rwa/pri.
Jakarta (ANTARA) - Pertengahan tahun ini, tepatnya 10 hingga 15 Juni 2023, para perwakilan petani Indonesia mengadakan gelaran akbar Pekan Nasional (Penas) XVI Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Padang, Sumatera Barat.
Tidak dapat dipungkiri, acara rutin sejak 1971 itu menjadi ajang berkumpul dan bersilaturahmi bagi para petani, nelayan, dan petani hutan untuk saling unjuk hasil pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan di kelompok masing-masing.
Perjumpaan lintas daerah dan generasi memungkinkan transfer pengetahuan, teknologi, bahkan inspirasi dari kelompok yang lebih maju kepada kelompok yang belum maju.
Penas juga dapat digunakan untuk saling mengisi dan memperkuat kepemimpinan agribisnis di tingkat petani, nelayan, dan petani hutan.
Tentu, penekanan pengetahuan dan teknologi pada Penas kali ini sesuai dengan tema, yaitu “Memantapkan penguatan potensi dan posisi tawar komoditi lokal untuk mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan, menuju Indonesia lumbung pangan dunia 2045”.
Lumbung pangan dunia memang istilah yang mudah disebut, tetapi membutuhkan kerja keras untuk diwujudkan. Indonesia telah memilih istilah tersebut, sama seperti Thailand, misalnya, yang memilih Thailand sebagai dapur dunia.
Dibanding negara lain di Asia Tenggara, upaya Indonesia menjadi lumbung pangan dunia memerlukan usaha yang ekstra keras.
Musababnya, populasi Indonesia paling besar dibanding negara Asia Tenggara lain, yaitu Vietnam maupun Thailand, yang populasinya masing-masing tak sampai 1/2 dan 1/3 dari jumlah penduduk Indonesia.
Dengan demikian, jumlah mulut yang harus diberi makan di Indonesia lebih banyak, yaitu 25,7 juta ton beras per tahun. Angka itu berdasarkan perhitungan pada 2022, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275 juta jiwa.
Menurut Badan Pangan Nasional, konsumsi beras Indonesia pada 2022 sebesar 93,5 kg per kapita per tahun.
Pada tahun tersebut penduduk Indonesia juga mengonsumsi terigu 16,3 kg per kapita per tahun; dan jagung 1,4 kg per kapita per tahun. Angka itu sebetulnya cukup menggembirakan karena mengalami penurunan dari lima tahun sebelumnya.
Pada 2018 konsumsi beras Indonesia masih 97,1 kg per kapita per tahun, terigu 18,2 kg per kapita per tahun; dan jagung 1,6 kg per kapita per tahun.
Penurunan konsumsi beras dan terigu menunjukkan konsumsi masyarakat sudah mengarah pada konsumi pangan yang beragam, yaitu konsumsi pangan sumber protein serta vitamin dan mineral.
Badan Pangan Nasional juga mencatat pada 2022 konsumsi singkong 9,7 kg per kapita per tahun; ubi jalar 3,5 kg per kapita per tahun; kentang 3,2 kg per kapita per tahun; umbi lainnya 0,8 kg per kapita per tahun; dan sagu 0,3 kg per kapita per tahun.
Yang menarik adalah konsumsi ikan yang meningkat pada 2022, yaitu 23,0 kg per kapita per tahun dari sebelumnya hanya 20,7 kg per kapita per tahun pada 2018.
Demikian pula konsumsi daging unggas meningkat pada 2022, yaitu 8,9 per kg per kapita per tahun dari sebelumnya hanya 7,2 kg per kapita per tahun pada 2018. Pola tersebut menunjukkan pola pangan masyarakat mulai mengurangi karbohidrat dan menambah porsi protein.
Meskipun hitungan di atas kertas menggembirakan, Indonesia tetap harus waspada karena ada hal yang tak kentara, berupa laju pertumbuhan penduduk yaitu 1,25 persen per tahun sepanjang 2010 hingga 2020.
Sebaliknya, laju produktivitas padi sebagai pangan nomor satu di Indonesia cenderung stagnan di angka 5,1 hingga 5,2 ton gabah kering giling per hektare.
Jika tidak diantisipasi dengan tepat, maka laju pertumbuhan penduduk tidak akan terkejar oleh laju produktivitas padi yang menjadi pangan paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
Secara umum terdapat 3 strategi untuk mencapai posisi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pangan utama padi, dan terakhir adalah diversifikasi pangan.
Indonesia telah berupaya melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pangan melalui Food Estate, baik di lahan eksisting maupun di lahan baru, di Kalimantan dan Sumatera, meskipun hasilnya belum maksimal.
Pada konteks menuju lumbung pangan ini, penguatan komoditi lokal adalah bagian dari diversifikasi pangan.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan plasma nutfah atau sumber daya genetik (SDG) yang sangat beragam antarwilayah dan agro-ekologi.
Keanekaragaman Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Keragaman tersebut telah menghasilkan beragam pengetahuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang, obat-obatan, maupun bahan baku industri.
Keanekaragaman hayati dan plasma nutfahnya berperan penting dalam pembangunan nasional sebagai sumber daya hayati (biological resources) untuk sumber gen dalam program pemuliaan serta sistem penyangga kehidupan. Plasma nutfah merupakan sumber daya alam yang dapat dilestarikan (conservable), tetapi sekali musnah, maka plasma nutfah hilang tanpa dapat ditemukan kembali, karena tidak dapat dihidupkan kembali (non revivable).
Pada konteks inilah tema Penas kali ini relevan untuk mengingatkan bahwa komoditi lokal memang harus dikuatkan untuk menuju kedaulatan pangan.
Keragaman genetik spesies Indonesia jelas merupakan kekayaan sumber daya hayati nasional yang perlu dikelola sebaik-baiknya untuk menuju kedaulatan pangan guna menyokong keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia.
Sumber pangan di Indonesia berasal dari beberapa kelompok. Pertama, kelompok serealia, seperti padi, jagung, sorgum, jagung, hanjeli, dan juwawut sebagai sumber karbohidrat. Kedua, kelompok ubi-ubian, seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, dan dioscorea. Ketiga, kelompok palmae, seperti sagu, dan keempat adalah kelompok pisang.
Keragaman spesies yang ada dapat menjadi sumber indukan pada proses pemuliaan untuk menghasilkan berbagai varietas unggul pada keempat kelompok pangan tersebut.
Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan SDG penghasil gula terbesar di dunia, seperti tebu, aren, kelapa, dan lontar. Demikian pula sumber protein dan lemak yang berasal dari aneka kacang, seperti kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang tungak, dan kacang nasi. Sumber gizi lainnya adalah aneka buah dan sayuran yang banyak mengandung vitamin dan mineral.
Pusat asal
Saat ini ribuan koleksi kekayaan genetik Indonesia tersebut berada di Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BBPSI BIOGEN) yang berada di bawah Kementerian Pertanian. Di lembaga itu koleksi aneka serealia sebanyak 5.030 aksesi, aneka kacang 3.138 aksesi, dan aneka ubi 2.441 aksesi.
Warga dunia juga telah mengakui kekayaan Indonesia dengan memberi status Indonesia sebagai pusat asal (center of origin) banyak subspesies. Sebut saja subspesies padi tipe Javanica dan kerabatnya, ubi jalar dan beberapa jenis umbi, pisang, sagu, aren, dan tebu.
Kekayaan SDG tersebut idealnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan dikembangkan menjadi berbagai produk melalui kearifan lokal, perakitan varietas unggul baru, hingga pengembangan industri hilir.
Namun, gegap gempita penguatan komoditas lokal pada Penas jangan hanya berhenti sampai waktu berakhir pada 10 Juni 2023. Penas harus menjadi momentum memosisikan kedaulatan pangan sebagai batu pijakan awal perjalanan bangsa yang lebih jauh, yaitu menuju kemakmuran bangsa.
Penas juga harus mampu memberi strategi untuk mewujudkan hal tersebut dengan peta jalan (roadmap) yang jelas.
Paling tidak terdapat lima pijakan yang harus dilewati untuk menuju kemakmuran bangsa melalui komoditi lokal yang menjadi tema Penas kali ini. Pertama, peningkatan kedaulatan pangan, seperti yang menjadi tema besar Penas saat ini.
Kedua, peningkatan diversifikasi pangan berbasis lokal. Ketiga, peningkatan bioindustri sebagai upaya scale up pangan lokal agar dapat diterima oleh generasi masa depan. Keempat, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor sebagai perwujudan Indonesia lumbung pangan dunia, sekaligus dapur dunia. Kelima, peningkatan kemakmuran sebagai dampak dari 4 pijakan sebelumnya.
Kelima pijakan tersebut jika diringkas dapat disebut sebagai bioekonomi untuk memperkuat sistem pangan dan kemakmuran. Pada konteks ini bioekonomi adalah platform ekonomi untuk mengelola sumber daya hayati dan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan basis riset modern, inovasi, sains, bioteknologi, bioindustri, dan bioenergi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Pendekatan bioekonomi tersebut memungkinkan pangan asal sagu, ubi, dan pisang dalam berbagai produk dan rasa dengan kemasan modern yang menarik, seperti layaknya produk gandum. Sebut saja produk seperti beras artifisial, pasta, mi, roti, flakes, cookies, atau produk-produk fortifikasi maupun pangan fungsional.
Tantangannya adalah bagaimana membuat produk yang sehat, bergizi, enak, murah, praktis, mudah didapat, sesuai tren atau gaya hidup agar disukai berbagai kalangan, dari tua, muda, remaja, hingga anak-anak.
Pangan lokal bukan lagi pangan kelas dua, tetapi setara dengan produk padi dan gandum di kalangan masyarakat modern.
Dengan pendekatan itulah Penas XVI bukan sebatas gegap gempita diversifikasi pangan, tetapi menjadi momentum para petani dan nelayan untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 yang makmur.
*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Profesor Riset BRIN/Ketua Dewan Pakar Kontak Tani Nelayan Andalan Indonesia) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti di BRIN).
Tidak dapat dipungkiri, acara rutin sejak 1971 itu menjadi ajang berkumpul dan bersilaturahmi bagi para petani, nelayan, dan petani hutan untuk saling unjuk hasil pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan di kelompok masing-masing.
Perjumpaan lintas daerah dan generasi memungkinkan transfer pengetahuan, teknologi, bahkan inspirasi dari kelompok yang lebih maju kepada kelompok yang belum maju.
Penas juga dapat digunakan untuk saling mengisi dan memperkuat kepemimpinan agribisnis di tingkat petani, nelayan, dan petani hutan.
Tentu, penekanan pengetahuan dan teknologi pada Penas kali ini sesuai dengan tema, yaitu “Memantapkan penguatan potensi dan posisi tawar komoditi lokal untuk mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan, menuju Indonesia lumbung pangan dunia 2045”.
Lumbung pangan dunia memang istilah yang mudah disebut, tetapi membutuhkan kerja keras untuk diwujudkan. Indonesia telah memilih istilah tersebut, sama seperti Thailand, misalnya, yang memilih Thailand sebagai dapur dunia.
Dibanding negara lain di Asia Tenggara, upaya Indonesia menjadi lumbung pangan dunia memerlukan usaha yang ekstra keras.
Musababnya, populasi Indonesia paling besar dibanding negara Asia Tenggara lain, yaitu Vietnam maupun Thailand, yang populasinya masing-masing tak sampai 1/2 dan 1/3 dari jumlah penduduk Indonesia.
Dengan demikian, jumlah mulut yang harus diberi makan di Indonesia lebih banyak, yaitu 25,7 juta ton beras per tahun. Angka itu berdasarkan perhitungan pada 2022, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275 juta jiwa.
Menurut Badan Pangan Nasional, konsumsi beras Indonesia pada 2022 sebesar 93,5 kg per kapita per tahun.
Pada tahun tersebut penduduk Indonesia juga mengonsumsi terigu 16,3 kg per kapita per tahun; dan jagung 1,4 kg per kapita per tahun. Angka itu sebetulnya cukup menggembirakan karena mengalami penurunan dari lima tahun sebelumnya.
Pada 2018 konsumsi beras Indonesia masih 97,1 kg per kapita per tahun, terigu 18,2 kg per kapita per tahun; dan jagung 1,6 kg per kapita per tahun.
Penurunan konsumsi beras dan terigu menunjukkan konsumsi masyarakat sudah mengarah pada konsumi pangan yang beragam, yaitu konsumsi pangan sumber protein serta vitamin dan mineral.
Badan Pangan Nasional juga mencatat pada 2022 konsumsi singkong 9,7 kg per kapita per tahun; ubi jalar 3,5 kg per kapita per tahun; kentang 3,2 kg per kapita per tahun; umbi lainnya 0,8 kg per kapita per tahun; dan sagu 0,3 kg per kapita per tahun.
Yang menarik adalah konsumsi ikan yang meningkat pada 2022, yaitu 23,0 kg per kapita per tahun dari sebelumnya hanya 20,7 kg per kapita per tahun pada 2018.
Demikian pula konsumsi daging unggas meningkat pada 2022, yaitu 8,9 per kg per kapita per tahun dari sebelumnya hanya 7,2 kg per kapita per tahun pada 2018. Pola tersebut menunjukkan pola pangan masyarakat mulai mengurangi karbohidrat dan menambah porsi protein.
Meskipun hitungan di atas kertas menggembirakan, Indonesia tetap harus waspada karena ada hal yang tak kentara, berupa laju pertumbuhan penduduk yaitu 1,25 persen per tahun sepanjang 2010 hingga 2020.
Sebaliknya, laju produktivitas padi sebagai pangan nomor satu di Indonesia cenderung stagnan di angka 5,1 hingga 5,2 ton gabah kering giling per hektare.
Jika tidak diantisipasi dengan tepat, maka laju pertumbuhan penduduk tidak akan terkejar oleh laju produktivitas padi yang menjadi pangan paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
Secara umum terdapat 3 strategi untuk mencapai posisi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pangan utama padi, dan terakhir adalah diversifikasi pangan.
Indonesia telah berupaya melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pangan melalui Food Estate, baik di lahan eksisting maupun di lahan baru, di Kalimantan dan Sumatera, meskipun hasilnya belum maksimal.
Pada konteks menuju lumbung pangan ini, penguatan komoditi lokal adalah bagian dari diversifikasi pangan.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan plasma nutfah atau sumber daya genetik (SDG) yang sangat beragam antarwilayah dan agro-ekologi.
Keanekaragaman Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Keragaman tersebut telah menghasilkan beragam pengetahuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang, obat-obatan, maupun bahan baku industri.
Keanekaragaman hayati dan plasma nutfahnya berperan penting dalam pembangunan nasional sebagai sumber daya hayati (biological resources) untuk sumber gen dalam program pemuliaan serta sistem penyangga kehidupan. Plasma nutfah merupakan sumber daya alam yang dapat dilestarikan (conservable), tetapi sekali musnah, maka plasma nutfah hilang tanpa dapat ditemukan kembali, karena tidak dapat dihidupkan kembali (non revivable).
Pada konteks inilah tema Penas kali ini relevan untuk mengingatkan bahwa komoditi lokal memang harus dikuatkan untuk menuju kedaulatan pangan.
Keragaman genetik spesies Indonesia jelas merupakan kekayaan sumber daya hayati nasional yang perlu dikelola sebaik-baiknya untuk menuju kedaulatan pangan guna menyokong keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia.
Sumber pangan di Indonesia berasal dari beberapa kelompok. Pertama, kelompok serealia, seperti padi, jagung, sorgum, jagung, hanjeli, dan juwawut sebagai sumber karbohidrat. Kedua, kelompok ubi-ubian, seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, dan dioscorea. Ketiga, kelompok palmae, seperti sagu, dan keempat adalah kelompok pisang.
Keragaman spesies yang ada dapat menjadi sumber indukan pada proses pemuliaan untuk menghasilkan berbagai varietas unggul pada keempat kelompok pangan tersebut.
Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan SDG penghasil gula terbesar di dunia, seperti tebu, aren, kelapa, dan lontar. Demikian pula sumber protein dan lemak yang berasal dari aneka kacang, seperti kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang tungak, dan kacang nasi. Sumber gizi lainnya adalah aneka buah dan sayuran yang banyak mengandung vitamin dan mineral.
Pusat asal
Saat ini ribuan koleksi kekayaan genetik Indonesia tersebut berada di Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BBPSI BIOGEN) yang berada di bawah Kementerian Pertanian. Di lembaga itu koleksi aneka serealia sebanyak 5.030 aksesi, aneka kacang 3.138 aksesi, dan aneka ubi 2.441 aksesi.
Warga dunia juga telah mengakui kekayaan Indonesia dengan memberi status Indonesia sebagai pusat asal (center of origin) banyak subspesies. Sebut saja subspesies padi tipe Javanica dan kerabatnya, ubi jalar dan beberapa jenis umbi, pisang, sagu, aren, dan tebu.
Kekayaan SDG tersebut idealnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan dikembangkan menjadi berbagai produk melalui kearifan lokal, perakitan varietas unggul baru, hingga pengembangan industri hilir.
Namun, gegap gempita penguatan komoditas lokal pada Penas jangan hanya berhenti sampai waktu berakhir pada 10 Juni 2023. Penas harus menjadi momentum memosisikan kedaulatan pangan sebagai batu pijakan awal perjalanan bangsa yang lebih jauh, yaitu menuju kemakmuran bangsa.
Penas juga harus mampu memberi strategi untuk mewujudkan hal tersebut dengan peta jalan (roadmap) yang jelas.
Paling tidak terdapat lima pijakan yang harus dilewati untuk menuju kemakmuran bangsa melalui komoditi lokal yang menjadi tema Penas kali ini. Pertama, peningkatan kedaulatan pangan, seperti yang menjadi tema besar Penas saat ini.
Kedua, peningkatan diversifikasi pangan berbasis lokal. Ketiga, peningkatan bioindustri sebagai upaya scale up pangan lokal agar dapat diterima oleh generasi masa depan. Keempat, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor sebagai perwujudan Indonesia lumbung pangan dunia, sekaligus dapur dunia. Kelima, peningkatan kemakmuran sebagai dampak dari 4 pijakan sebelumnya.
Kelima pijakan tersebut jika diringkas dapat disebut sebagai bioekonomi untuk memperkuat sistem pangan dan kemakmuran. Pada konteks ini bioekonomi adalah platform ekonomi untuk mengelola sumber daya hayati dan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan basis riset modern, inovasi, sains, bioteknologi, bioindustri, dan bioenergi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Pendekatan bioekonomi tersebut memungkinkan pangan asal sagu, ubi, dan pisang dalam berbagai produk dan rasa dengan kemasan modern yang menarik, seperti layaknya produk gandum. Sebut saja produk seperti beras artifisial, pasta, mi, roti, flakes, cookies, atau produk-produk fortifikasi maupun pangan fungsional.
Tantangannya adalah bagaimana membuat produk yang sehat, bergizi, enak, murah, praktis, mudah didapat, sesuai tren atau gaya hidup agar disukai berbagai kalangan, dari tua, muda, remaja, hingga anak-anak.
Pangan lokal bukan lagi pangan kelas dua, tetapi setara dengan produk padi dan gandum di kalangan masyarakat modern.
Dengan pendekatan itulah Penas XVI bukan sebatas gegap gempita diversifikasi pangan, tetapi menjadi momentum para petani dan nelayan untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 yang makmur.
*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Profesor Riset BRIN/Ketua Dewan Pakar Kontak Tani Nelayan Andalan Indonesia) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti di BRIN).
Copyright © ANTARA 2023
Tags: