CIPS: Kebijakan EUDR berpotensi diskriminasi petani sawit kecil
7 Juni 2023 22:43 WIB
Dokumentasi - Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Senin (27/3/2023). (ANTARA/Muhammad Izfaldi)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir mengatakan kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation-Free Regulation/EUDR) berpotensi mendiskriminasi petani sawit kecil.
Kebijakan ini pun dapat merugikan negara penghasil utama minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang memiliki banyak petani swadaya kecil seperti Indonesia dan Malaysia.
“Kebijakan tersebut menuntut tercapainya keterlacakan utuh, sesuatu yang masih sulit dilakukan, terutama oleh petani sawit kecil, dan membutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapai persyaratan tersebut,” ungkap Faisol dalam keterangan resmi, Rabu.
EUDR merupakan aturan baru yang melarang berbagai komoditas seperti minyak sawit, ternak, kedelai, kopi, coklat, kayu, dan karet, serta turunannya, untuk diperdagangkan dari dan ke Uni Eropa jika komoditas tersebut berasal dari lahan deforestasi.
Sebagai bukti suatu komoditas tidak berasal dari lahan deforestasi, setiap penghasil komoditas dituntut untuk menyajikan keterlacakan atau traceability dari produk pertanian dan kehutanannya dari perkebunan hingga produk akhir konsumen.
"Namin kebijakan ini berpotensi memperparah fragmentasi pasar sawit berkelanjutan, terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen minyak sawit terbesar. Minyak sawit yang dihasilkan kedua negara ini belum memenuhi syarat keterlacakan penuh, seperti yang disyaratkan oleh kebijakan ini," katanya.
Sebagaimana diketahui, sertifikasi berkelanjutan bagi komoditas sawit Indonesia terbagi dua, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digagas oleh pemerintah dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang didorong oleh pasar global.
RSPO melalui platform PalmTrace menelusuri keterlacakan produk kelapa sawit mulai dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) hingga konsumen akhir, sementara ISPO menelusuri keterlacakan dimulai dari perkebunan hingga PKS.
“Di Indonesia, keterlacakan produk kelapa sawit masih sulit dicapai, terutama untuk produsen yang tidak memiliki cukup modal, misalnya saja petani kecil dan swadaya,” imbuh Faisol.
Faisol menambahkan EUDR dapat mendorong pembeli dari Uni Eropa hanya membeli produk kelapa sawit dari perkebunan besar dan petani plasma yang memenuhi syarat keterlacakan penuh, serta menghindari petani swadaya.
“Petani swadaya yang saat ini memproduksi 34,62 persen produk kelapa sawit di Indonesia seharusnya lebih banyak didukung dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, bukan sebaliknya. Kebijakan ini justru berpeluang menghambat ekspor minyak sawit yang mereka hasilkan," katanya.
Baca juga: Menko Airlangga tegas tolak diskriminasi kebijakan EUDR dan CBAM
Baca juga: Menko Airlangga temui pejabat kunci Uni Eropa bahas kelanjutan EUDR
Kebijakan ini pun dapat merugikan negara penghasil utama minyak sawit atau crude palm oil (CPO) yang memiliki banyak petani swadaya kecil seperti Indonesia dan Malaysia.
“Kebijakan tersebut menuntut tercapainya keterlacakan utuh, sesuatu yang masih sulit dilakukan, terutama oleh petani sawit kecil, dan membutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapai persyaratan tersebut,” ungkap Faisol dalam keterangan resmi, Rabu.
EUDR merupakan aturan baru yang melarang berbagai komoditas seperti minyak sawit, ternak, kedelai, kopi, coklat, kayu, dan karet, serta turunannya, untuk diperdagangkan dari dan ke Uni Eropa jika komoditas tersebut berasal dari lahan deforestasi.
Sebagai bukti suatu komoditas tidak berasal dari lahan deforestasi, setiap penghasil komoditas dituntut untuk menyajikan keterlacakan atau traceability dari produk pertanian dan kehutanannya dari perkebunan hingga produk akhir konsumen.
"Namin kebijakan ini berpotensi memperparah fragmentasi pasar sawit berkelanjutan, terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen minyak sawit terbesar. Minyak sawit yang dihasilkan kedua negara ini belum memenuhi syarat keterlacakan penuh, seperti yang disyaratkan oleh kebijakan ini," katanya.
Sebagaimana diketahui, sertifikasi berkelanjutan bagi komoditas sawit Indonesia terbagi dua, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digagas oleh pemerintah dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang didorong oleh pasar global.
RSPO melalui platform PalmTrace menelusuri keterlacakan produk kelapa sawit mulai dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) hingga konsumen akhir, sementara ISPO menelusuri keterlacakan dimulai dari perkebunan hingga PKS.
“Di Indonesia, keterlacakan produk kelapa sawit masih sulit dicapai, terutama untuk produsen yang tidak memiliki cukup modal, misalnya saja petani kecil dan swadaya,” imbuh Faisol.
Faisol menambahkan EUDR dapat mendorong pembeli dari Uni Eropa hanya membeli produk kelapa sawit dari perkebunan besar dan petani plasma yang memenuhi syarat keterlacakan penuh, serta menghindari petani swadaya.
“Petani swadaya yang saat ini memproduksi 34,62 persen produk kelapa sawit di Indonesia seharusnya lebih banyak didukung dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, bukan sebaliknya. Kebijakan ini justru berpeluang menghambat ekspor minyak sawit yang mereka hasilkan," katanya.
Baca juga: Menko Airlangga tegas tolak diskriminasi kebijakan EUDR dan CBAM
Baca juga: Menko Airlangga temui pejabat kunci Uni Eropa bahas kelanjutan EUDR
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023
Tags: