"Fenomena putus sekolah tidak bisa dianggap remeh sehingga dibutuhkan penanganan dan solusi yang serius jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM, dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional," kata Lestari dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.
Lestari mengatakan angka putus sekolah yang meningkat selama pandemi perlu diperhatikan. Dia mendorong agar ruang pembelajaran dibuka seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa.
"Peningkatan angka putus sekolah selama pandemi maupun disrupsi saat ini menunjukkan kita belum mampu melalui situasi krisis dan ketidakpastian global secara smooth di sektor pendidikan," kata dia dalam diskusi daring "Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.
Ia menyoroti laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan angka putus sekolah meningkat pada 2022 setelah mengalami tren penurunan sejak 2016. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh banyak faktor.
"Putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor, yakni ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan siswa/i memutuskan tidak melanjutkan sekolah," ujarnya.
Baca juga: Wakil Ketua MPR mendorong pengembangan pariwisata berbasis NEWA
Baca juga: Wakil Ketua MPR dorong perbaikan data untuk pengentasan kemiskinan
Sementara itu, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Komisi X Fraksi NasDem DPR RI Ratih Megasari Singkarru mengatakan rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan delapan tahun pada periode 2012-2023.
Menurutnya, sejumlah kendala menjadi penyebab terjadinya kondisi tersebut, seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografis, pandemi, dan pemahaman keluarga tentang pendidikan.
"Karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja. Selain itu, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP. Demikian juga faktor geografis, dengan kepadatan penduduk yang rendah, ada biaya tambahan untuk menuju ke sekolah," sebutnya.
Mengenai hal itu, Ratih berpendapat integrasi data antarkementerian akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.
Di sisi lain, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI Anindito Aditomo menyebut angka putus sekolah harus dilihat secara historis.
Apabila dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, kata Anindito, sejatinya angka partisipasi sekolah mengalami peningkatan, bahkan mendekati 100 persen. Namun, dia mengakui masih terjadi kesenjangan akses pendidikan di Tanah Air.
Dia menambahkan pendidikan harus dibuat bermakna dan relevan, agar anak yang disekolahkan mampu memenuhi harapan keluarga. Pemerintah telah mengupayakan hal tersebut, salah satunya melalui program Merdeka Belajar.
"Program Merdeka Belajar merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila, sehingga setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif, dan menantang," ujarnya.