Gaza (ANTARA) - Para petani lokal di wilayah kantong pesisir Palestina mengalami kesulitan dalam memanen gandum yang sangat dibutuhkan sebagai makanan pokok bagi 2,3 juta warga Gaza, karena perubahan iklim telah berdampak parah pada hasil pertanian mereka.

Panen gandum tahunan mencatat penurunan sebesar 1.000 ton dari hasil panen tahun lalu yang tercatat di angka 5.000 ton akibat musim dingin yang tertunda dan curah hujan yang tidak teratur, demikian menurut Mohammed Odeh, seorang pejabat senior di Kementerian Pertanian di bawah Hamas di Gaza.

Mohammed Qudaih, pemilik ladang gandum seluas 20 dunam (20.000 meter persegi), mengatakan kepada Xinhua bahwa "dulu, kami biasa menanam sekitar 200 hingga 400 dunam gandum (200.000 hingga 400.000 meter persegi), tetapi sekarang, kami hanya dapat menanam 10 hingga 20 dunam gandum di ladang kami karena perubahan iklim."

Musim panas yang berdurasi lebih lama dengan panas yang ekstrem dan musim dingin yang tertunda menyebabkan lenyapnya musim semi, sehingga menyebabkan banyak tanaman mati di Jalur Gaza, termasuk gandum, jelas Qudaih.

"Jadi, kami hanya dapat memperoleh sekitar 25 persen dari panen gandum kami selama musim tahunannya," ujar sang petani, seraya menyebutkan bahwa dia hanya dapat memanen sekitar 1 ton gandum sejauh ini, yang membuatnya mengalami kerugian sekitar 20.000 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.888) tahun ini.

"Kondisi semacam ini memaksa sebagian besar petani untuk berhenti bekerja di sektor pertanian," tekannya. Dia menambahkan bahwa hanya 30 dari 180 pekerjanya yang tersisa untuk melakukan pemanenan tahun ini.
Dua petani gandum di Kota Khan Younis, Gaza selatan, memanen hasil gandum yang mereka budidayakan di lahan mereka. Panen gandum tahunan merosot tajam akibat musim dingin yang tertunda dan curah hujan yang tidak teratur. (Xinhua)


Hazem Sief, seorang petani dari Kota Khan Younis di Gaza selatan, mengungkapkan kepada Xinhua bahwa dia biasanya mengantongi sekitar 700 dolar AS pada setiap musim gandum, yang membuatnya dapat menghidupi enam anggota keluarganya

Kini, bekerja delapan jam di ladang hanya menghasilkan 15 dolar AS sehari karena tingginya tingkat pengangguran di Gaza, kata Sief.

"Saya tidak memiliki peluang lain untuk menghasilkan uang karena tingginya tingkat pengangguran di Gaza," tutur petani itu. "Ini lebih baik daripada tidak bekerja sama sekali," imbuhnya

Mohammed Fusaifis, seorang petani lain di Khan Younis, menyarankan agar Kementerian Pertanian mengadopsi rencana strategis, termasuk implementasi lokakarya pelatihan, dalam upaya membantu para petani mengatasi kondisi yang tidak lazim dan mempertahankan satu-satunya sumber mata pencaharian mereka.