Jakarta (ANTARA News) - Pengembangan industri berbasis warisan budaya masih rendah sehingga kontribusi terhadap produk domestik bruto maupun ekspor nonmigas masih kecil, kata Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang Rachmat Gobel.
Karena itu, katanya di Jakarta, Kamis, pengembangan industri berbasis warisan budaya perlu terus ditingkatkan guna melestarikan budaya itu sendiri.
"Industri berbasis warisan budaya, seperti kerajinan tangan, kain batik, dan songket, tenun ikat, serta jamu, perlu terus dibangun dan diperkuat," katanya disela seminar wirausaha dan monozukuri di Jakarta, Kamis.
Ia memperkirakan kontribusi ekspor dan PDB industri berbasis budaya masih sekitar satu persen. Sementara di Jepang, industri berbasis warisan budaya tetap bertahan dan berkembang hingga ratusan tahun, serta memberi kontribusi besar bagi kemajuan industri di Jepang.
"Kami ingin mengangkat kontribusi ekspor industri berbasis warisan budaya ini, setidaknya mencapai lima persen," kata mantan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi, yang pernah membuat peta jalan (roadmap) pengembangan industri berbasis warisan budaya.
Oleh karena itulah sebagai Ketua PPIJ, pihaknya mengundang salah satu industri kecil dan menengah (IKM) Jepang, Eirakuya sebagai produsen kain kimono dan kain pembungkus (furoshiki), yang berhasil mempertahankan usahanya hingga hampir 400 tahun.
"Kita punya batik dan kain tradisional lainnya yang hampir sama dengan mereka. Kami berharap IKM Indonesia yang bergerak di bidang warisan budaya bisa mempelajari pengalaman bagaimana mereka bisa mempertahankan industri berbasis tradisi itu," ujarnya.
Menurut dia, Rachmat Gobel yang juga pengusaha di bidang elektronik, IKM berbasis tradisi budaya bisa bertahan dengan memberi sentuhan teknologi, agar produk yang dihasilkan lebih efisien.
Sementara itu CEO Eirakuya, Mr Ihee Hosotsuji, mengatakan usaha keluarga yang didirikan sejak 1615, mampu bertahan hingga generasi ke-14 karena terus mempertahankan kualitas terbaik untuk konsumen.
Oleh karena itu, meskipun kain tradisi Jepang tersebut, diakuinya, mendapat saingan dari produk sejenis buatan China yang harganya 1/15 dari harga produk Eirakuya, pihaknya tidak mau menurunkan standar membuat produk berkualitas.
"Berikan nilai tambah kepada konsumen, baru kami dapat keuntungan. Bukan mengejar keuntungan dulu," katanya menjabarkan philosofi Monozukuri yang menjadi dasar pembuatan produk manufaktur Jepang.
Sementara itu, Wakil Presdir Bidang Layanan Perdagangan PT BNI Tbk Afien Yuni Yahya mengatakan pihaknya berkomitmen mendukung tidak hanya pembiayaan tapi juga pendampingan untuk membantu pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia.
"Saat ini ada 340 debitur dari usaha mikro yang menjadi mitra binaan BNI dengan penyaluran kredit mencapai Rp14 miliar," ujarnya. Ia menegaskan BNI akan mendukung upaya pemerintah menciptakan wirausaha baru sebesar dua persen dari jumlah penduduk pada 2014.
Pada seminar itu, Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Muhammad Taufik mengatakan pemerintah menargetkan pada tahun ini sekitar satu juta wirausaha dan tahun 2014 diharapkan sekitar dua persen dari jumlah penduduk Indonesia merupakan wirausaha. "Saat ini ada dua juta pemuda terdidik yang berminat menjadi wirausaha baru," katanya.
(*)
Pengembangan industri berbasis budaya masih rendah
7 Februari 2013 20:09 WIB
Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ) Rachmat Gobel (FOTO ANTARA)
Pewarta: Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013
Tags: