Jakarta (ANTARA) - Pada masa lampau, sebuah negara yang berbatasan dengan Laut Hitam diserang oleh negeri tetangganya. Pihak penyerang menaklukkan satu demi satu kota, bahkan hingga hampir mendekati ibu kota dari negara yang diserang tersebut.

Negara yang diserang berupaya melakukan beberapa kali serangan balik, tetapi langkah itu kerap digagalkan oleh pasukan penyerang. Peperangan berlangsung hingga jangka bertahun-tahun lamanya, atau hampir mencapai satu dekade.

Namun, sebuah aliansi dari negara-negara Barat menolong negara yang diserang tersebut, sehingga berhasil membuat perjanjian dengan pihak penyerang serta selamatlah nasib dari negara yang diserang tersebut dari penaklukan total dari pasukan penyerang.

Kisah di atas bukanlah menceritakan tentang Rusia yang menginvasi Ukraina sejak tahun 2022, sehingga membuat negara-negara Barat membela Ukraina.

Cerita yang dituturkan pada awal tulisan adalah mengenai Kesultanan Turki Utsmaniyah (yang memiliki wilayah yang berbatasan dengan Laut Hitam, sama halnya dengan negara Ukraina saat ini), yang ketika pada abad ke-19 menguasai banyak wilayah, salah satunya adalah Suriah.

Suriah pada 1831 diserang oleh pasukan dari negeri Mesir yang memberontak terhadap Kesultanan Turki Utsmaniyah.

Setelah dengan mudah menaklukkan Suriah, pasukan Mesir terus melaju dan setahun kemudian ternyata mendekati ibu kota dari Turki Utsmaniyah di Konstantinopel.

Konflik tersebut disudahi dengan ditandatanganinya perjanjian damai yang disebut Konvensi Kutahya pada 1833. Isi perjanjian itu adalah menyerahkan Suriah kepada pengelolaan kepemimpinan dari Mesir, meski secara nominal wilayah-wilayah tersebut masih diakui sebagai bagian dari Utsmaniyah.

Konvensi Kutahya tidak memuaskan kedua belah pihak, sehingga enam tahun kemudian pecahlah kembali peperangan antara Mesir dan Turki.

Negara-negara kolonial Eropa yang mengetahui Kesultanan Turki Utsmaniyah hampir mengalami kekalahan total dari Mesir, memutuskan untuk melakukan intervensi setelah berembuk di dalam Konvensi London pada 1840.

Intervensi itu berhasil mengebom sejumlah kota yang dikuasai Mesir, sehingga akhirnya Suriah dan sejumlah wilayah lainnya dikembalikan penguasaannya dari kendali Mesir, kembali ke tangan Kesultanan Turki Utsmaniyah.

Kabar tersebut memang sekilas bagaikan "deja vu" dengan kondisi konflik antara Rusia dan Ukraina (yang didukung pihak Barat, khususnya NATO) pada masa kontemporer ini.

Namun, tentu saja harus diakui ada berbagai macam perbedaannya, seperti Ukraina dan Rusia pada saat ini adalah dua negara yang berdaulat satu sama lain, sedangkan Turki Utsmaniyah meski diserang oleh pasukan Mesir pada peperangan abad ke-19, tetapi Mesir kala itu secara administrasi adalah bagian dari Turki Utsmaniyah.


Melebur dengan Barat

Satu hal yang mirip adalah kecenderungan dalam Kesultanan Turki Utsmaniyah yang ketika itu mulai menerapkan berbagai pola hidup Barat di dalam kondisi pola sosial kemasyarakatan dan perpolitikannya.

Hal ini mirip dengan Ukraina yang pada abad ke-21 ini juga memiliki keinginan untuk melebur dengan Barat, antara lain dengan bergabung ke NATO, yang merupakan blok militer utama dari negara-negara Barat.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sudah lama menyatakan keinginan agar negaranya dapat bergabung dengan NATO.

Bergabung atau menjadi anggota penuh NATO merupakan salah satu pilihan yang dinilai paling baik, terutama sebagai jaminan keamanan bagi Ukraina, yang saat ini sejumlah wilayahnya sedang diduduki oleh Rusia.

Namun, Zelenskyy pada Jumat (2/6), juga menyatakan bahwa pihaknya sadar bahwa untuk saat ini, adalah tidak mungkin bagi Ukraina untuk bergabung dengan NATO, saat negaranya sedang berperang dengan Rusia.

Menurut pernyataan Zelenskyy dalam konferensi pers di ibu kota Kiev, seperti dikutip Reuters, bila Ukraina bergabung sepenuhnya dengan NATO saat ini, maka hal itu dapat menarik blok militer Barat itu untuk berhadapan secara langsung dengan Rusia.

Di lain pihak, Rusia juga mengingatkan bahwa bila Ukraina menjadi anggota penuh NATO, maka berpotensi menjadi permasalahan dalam tahun-tahun ke depan.

Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, pada Jumat berpendapat bahwa sebenarnya banyak negara-negara Uni Eropa (EU) yang menyadari potensi permasalahan ini.

"Namun, sayangnya, Washington memegang kendali irama di NATO. EU hanyalah menjadi instrumen patuh dalam orkestra tersebut," kata Peskov, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Peskov menegaskan kembali bahwa Federasi Rusia akan mengedepankan kepentingan dan keselamatannya, termasuk dalam menghadapi perluasan NATO yang berbatasan langsung dengan perbatasan mereka.

NATO sendiri, yang saat ini beranggotakan 31 negara dengan masuknya Finlandia baru-baru ini, sudah sejak lama menyatakan bahwa organisasi tersebut hanyalah murni sebuah aliansi pertahanan yang tidak memberikan ancaman kepada Rusia.


Keanggotaan Swedia

Sekjen NATO Jens Stoltenberg juga mengungkapkan pada Kamis (1/6) bahwa dirinya saat ini akan melawat ke Turki untuk membahas mengenai keanggotaan penuh NATO bagi Swedia. Lawatan itu dilakukan karena hingga kini, Turki masih keberatan Swedia bergabung sebagai negara anggota ke-32 di NATO.

Keanggotaan penuh bagi Swedia juga diungkapkan oleh berbagai menteri luar negeri negara-negara NATO lainnya, seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken yang menyatakan pihaknya terus bekerja menyelesaikan proses masuknya Swedia pada saat pertemuan di Vilnius, Lithuania.

Seperti diketahui, NATO akan menggelar komite tingkat tinggi (KTT) yang dijadwalkan bakal diselenggarakan di Vilnius, Lithuania, Juli mendatang.

Menteri Luar Negeri Lithuania Gabrielus Landsbergis, sebagai tuan rumah memiliki harapan tinggi bahwa bendera Swedia akan dikibarkan dengan negara-negara anggota NATO lainnya saat KTT di Vilnius, yang berarti menandakan masuknya Swedia menjadi anggota penuh NATO.

Bila masuknya Swedia menjadi bagian dari keluarga NATO pada Juli mendatang dipenuhi dengan rasa optimisme, tetapi untuk keanggotaan penuh bagi Ukraina sepertinya masih harus menunggu jangka yang lebih lama lagi.

Menteri Pertahanan Inggris Raya Ben Wallace di sela-sela mengikuti acara Dialog Shangri-La di Singapura, Jumat, menyatakan bahwa jalan bagi Ukraina bergabung dengan NATO terbuka, meski realitas politik kemungkinan akan memperlambat proses tersebut.

Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Kamis menyatakan Ukraina harus diberikan jaminan keamanan yang jelas dan kuat saat KTT di Lithuania.

Namun demikian, Macron tidak memberikan perincian mengenai jaminan keamanan yang jelas dan kuat seperti apa yang harus diberikan ke Ukraina.

Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Kamis mengungkapkan bahwa jaminan keamanan yang diberikan Barat kepada Ukraina perlu berbeda dengan status sebagai anggota penuh NATO.

Scholz, seperti dilaporkan Reuters, menyatakan bahwa jaminan itu perlu dirancang sehingga memberikan Ukraina rasa aman yang diperlukan terhadap bahaya diserang.

Membaca berbagai pernyataan tersebut, terlihat sebenarnya Ukraina sudah berada di jalan untuk bergabung ke NATO, tetapi untuk mendapatkan status sebagai anggota penuh, hal itu tampaknya masih harus melewati jalan yang panjang dan berliku, terutama dengan masih adanya invasi yang dilakukan Rusia.