“Kami tidak bisa bayar (pembebasan lahan) dua kali,” kata Michael di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Jumat.
Michael menjelaskan sebelumnya sudah membayar pembebasan lahan untuk "kupingan" Jalan Layang (Flyover) Pramuka, Jakarta Timur, dengan cara menitipkan melalui pengadilan (konsinyasi).
Lantas, Pemprov DKI pada 2020 juga sudah meminta pendapat terkait hal tersebut kepada penasihat hukum negara yaitu Kejaksaan Tinggi (Kejati).
"Kita tahun 2020 sudah meminta pendapat hukum dari penasihat hukum negara, Kejati. Ketika itu disampaikan tidak bisa membayar dua kali. Jadi, prinsipnya kami tidak boleh membayar dua kali,” ucap Michael.
Diketahui, permasalahan pembangunan "kupingan" itu terhambat sekitar enam tahun akibat sengketa antara dua pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan seluas 0,73 hektare di RT 12 RW 09 Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.
Keduanya adalah Tatang (warga Cijeruk, Bogor) dan Keronih beserta warga lain (warga Utan Kayu, Jakarta Timur).
Michael Rolandi menyebutkan ketika itu sudah ada putusan inkrah di pengadilan untuk melakukan pembayaran..
Keputusan pengadilan saat itu, kata Michael menyatakan bahwa Tatang sebagai pemilik lahan. Lalu, atas dasar putusan inkrah itu Pemprov DKI Jakarta melakukan konsinyasi uang pembayarannya.
“Oleh pengadilan dicairkan kepada yang namanya si Tatang itu, ternyata di kemudian hari ahli waris yang sekarang dimenangkan kembali oleh pengadilan menuntut Tatang, tuntutan pidana. Jadi dipidanakan, dia terbukti melakukan pemalsuan (dokumen),” jelas Michael.
Kasus salah bayar pembebasan lahan yang dimaksud berawal pada 2002 saat Pemprov DKI membangun jalan layang dengan tujuan mengurangi kemacetan di persimpangan Jalan Pramuka dan Jalan Ahmad Yani atau perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.
Proyek jalan layang tersebut bersamaan dengan pembangunan "kupingan" agar kendaraan dari Cawang bisa belok ke kiri atau ke Jalan Pramuka.
Tatang telah menerima pembayaran ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp35 miliar dari Pemprov DKI Jakarta pada 2011, sedangkan Keronih dan yang lainnya menempuh jalur hukum dan melaporkan Tatang atas sangkaan menggunakan dokumen palsu.Proyek jalan layang tersebut bersamaan dengan pembangunan "kupingan" agar kendaraan dari Cawang bisa belok ke kiri atau ke Jalan Pramuka.
Dokumen palsu digunakan Tatang untuk menerima pembayaran pembebasan lahan dari Pemprov DKI.
Vonis hakim pada pertengahan Desember 2013 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Tatang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.
Baca juga: DPRD DKI kawal pembayaran lahan jalan layang Pramuka Jaktim
Baca juga: Ganjil genap di Jalan Pramuka mampu turunkan kepadatan kendaraan
Baca juga: Ini langkah Dishub atasi problem jalur sepeda Jalan Pramuka
Baca juga: DPRD DKI kawal pembayaran lahan jalan layang Pramuka Jaktim
Baca juga: Ganjil genap di Jalan Pramuka mampu turunkan kepadatan kendaraan
Baca juga: Ini langkah Dishub atasi problem jalur sepeda Jalan Pramuka