Artikel
Cawe-cawe demi keberlanjutan kebijakan
Oleh Achmad Zaenal M
31 Mei 2023 12:10 WIB
Tangkapan layar - Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dalam Sidang Pleno Khusus Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi (MK) yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Rabu (24/5/2023). ANTARA/Fath Putra Mulya/am.
Semarang (ANTARA) - Kata cawe-cawe kembali ramai diperbincangkan khalayak setelah Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan para pemimpin media, di Jakarta, Senin (29/5), menggunakan ungkapan bahasa Jawa itu dalam konteks politik.
Presiden pada saat itu menyatakan, "Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif."
Dia juga menegaskan bahwa cawe-cawe yang dimaksudnya tak akan melanggar undang-undang.
KBBI mengartikan cawe-cawe: ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan). Menilik arti di KBBI tersebut, maka kata cawe-cawe bersifat netral.
Makna kata itu akan menjadi atau bernuansa negatif, positif, atau tetap netral tergantung konteksnya.
Menurut pemerhati bahasa Jawa, Widiyartono, dalam konteks bahasa percakapan Jawa, kata cawe-cawe sebenarnya positif karena menunjukkan seseorang--dalam kapasitas tertentu--turut memecahkan masalah.
Sepanjang cawe-cawe itu tidak melanggar kepantasan dan hukum, menurut wartawan senior tersebut, itu tidak masalah.
Kata atau istilah tersebut bisa menjadi bias manakala berurusan dengan kepentingan politik, sehingga tafsirnya pun tergantung pada kepentingan pula. Ketika sisa-sisa perseteruan akibat perkubuan yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya lenyap, kata cawe-cawe yang disampaikan Presiden Jokowi dengan mudah menyulut polemik. Apalagi saat ini memang sudah memasuki tahun politik.
Lantas bagaimana membaca atau menafsirkan cawe-cawe seperti yang disampaikan Kepala Negara tersebut dalam konteks kepemimpinan politik pada masa mendatang?
Seperti halnya hidup, pembangunan yang dijalankan untuk membagi kesejahteraan kepada warga negara pun tidak boleh terhenti di tengah jalan.
Di negara demokrasi, politik beserta sistem yang bekerja di dalamnya, terutama partai-partai politik, menjadi keniscayaan sebagai alat untuk mencapai tujuan, terutama dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada warga negara.
Melalui berbagai kebijakannya, Presiden Jokowi yang memimpin negeri berpenduduk 276 juta ini, menginginkan Indonesia merangkak naik ke negeri berpendapatan tinggi.
Pembangunan beragam infrastruktur di berbagai wilayah, terutama di luar Jawa, diyakini akan membentuk titik-titik pertumbuhan baru perekonomian negeri. Konsistensi membangun sarana prasarana di luar Jawa selama ini sudah disusul dengan munculnya sentra-sentra pertumbuhan baru tersebut.
Keterhubungan antarwilayah, baik darat, laut, maupun udara, menjadi keniscayaan ketika sebuah negara kepulauan ini menginginkan tidak saja meraih pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi juga menyentuh aspek pemerataannya.
Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa capaian investasi di luar Jawa sudah menyentuh 53 persen pada tahun 2022. Padahal, sebelumnya investasi di Jawa selalu lebih besar dibanding luar Jawa. Potensi ekonomi di luar Jawa yang bisa dieksplorasi masih terbuka lebar dan menjadi modal untuk melajukan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Mengacu klasifikasi negara berdasarkan PDB perkapita Bank Dunia, Indonesia masuk kategori berpendapatan menengah-tinggi. Bank Dunia membagi empat kategori, yakni berpendapatan rendah (1.035 Dolar AS), rendah-menengah (1.036-4.045 Dolar AS), berpendapatan menengah-tinggi (4.046-12.535 Dolar AS), dan berpendapatan tinggi (di atas 12.535 Dolar AS)
Di negara dengan persebaran penduduk di berbagai pulau, dibutuhkan kebijakan yang mampu menyentuh semua lapisan warga negara dengan menciptakan titik-titik pertumbuhan baru, terutama di luar Jawa.
Tanpa ada titik-titik pertumbuhan baru hampir bisa dipastikan bakal memicu kesenjangan. Bukan hanya kesenjangan pendapatan antarpenduduk yang melebarkan rasio Gini, juga bakal menciptakan gap pembangunan antarwilayah.
Pembangunan pesat infrastruktur di luar Jawa selama ini mampu memberi pijakan bagi pemimpin mendatang untuk memperluas titik-titik baru yang mampu menggerakkan perekonomian antarwilayah.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya membangun keterhubungan antarwilayah agar perekonomian di daerah bergerak makin lebih kencang.
Keterhubungan antardaerah tersebut pada akhirnya akan menghasilkan multiplier effects atau tetesan kesejahteraan yang menyebar bagi warga masyarakat.
Kerja-kerja pembangunan yang sudah dicapai para pemimpin sebelumnya harus dilanjutkan karena kemajuan dan tingkat kesejahteraan nyaris tidak ada ujungnya.
Karena bangsa Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya alam dan manusia, maka realistis saja bila mematok target waktu untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi.
Keluar dari jebakan
Sudah terlalu lama pendapatan bangsa Indonesia berada di lapisan tengah. Dengan capaian yang ada sekarang, Presiden Jokowi berharap pemimpin mendatang bisa menjejakkan Indonesia sebagai negara yang berada di level pendapatan tinggi.
Indonesia pada 13 tahun ke depan memasuki masa krusial sekaligus menentukan. Dengan menikmati bonus demografi, 10-20 mendatang merupakan momentum emas mewujudkan cita-cita tersebut.
Jadi, sudah sewajarnya saja negara ini keluar dari jebakan berpenghasilan menengah (middle income trap) karena sudah terlalu lama berada di level ini.
Pendapatan domestik bruto atau PDB per kapita penduduk Indonesia pada 2022 tercatat 4.784 dolar AS (menengah-tinggi). Agar Indonesia segera "hijrah" menjadi negara berpendapatan tinggi, 12.000 Dolar AS, maka kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan tinggi dan pemerataan tidak boleh mandeg.
Dalam konteks itulah Presiden menyatakan bahwa apa yang sudah diraih selama ini dan menjadi pijakan menyongsong masa depan bangsa ini, harus dilanjutkan oleh pemimpin mendatang. Meskipun tidak eksplisit menyebut nama, pesan yang disampaikan Presiden Jokowi, oleh khalayak dianggap ditujukan kepada sosok yang namanya menjadi langganan menempati tiga besar dalam berbagai survei elektabilitas.
Pesan adanya "pemimpin baru" dan "keberlanjutan kebijakan" itu menjadi frasa yang patut diserap sebagai latar belakang mengapa Presiden Jokowi menggunakan kata cawe-cawe dalam perbincangan politik dengan pemimpin media.
Seseorang bisa (melakukan) cawe-cawe dan efektif hasilnya manakala yang bersangkutan punya salah satu atau beberapa kedekatan: personal, ideologi, maupun kepentingan dengan mitranya.
Siapakah sosok itu? Itulah yang kini ramai diperbincangkan khalayak, terutama warganet.
Presiden pada saat itu menyatakan, "Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu saja dalam arti yang positif."
Dia juga menegaskan bahwa cawe-cawe yang dimaksudnya tak akan melanggar undang-undang.
KBBI mengartikan cawe-cawe: ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan). Menilik arti di KBBI tersebut, maka kata cawe-cawe bersifat netral.
Makna kata itu akan menjadi atau bernuansa negatif, positif, atau tetap netral tergantung konteksnya.
Menurut pemerhati bahasa Jawa, Widiyartono, dalam konteks bahasa percakapan Jawa, kata cawe-cawe sebenarnya positif karena menunjukkan seseorang--dalam kapasitas tertentu--turut memecahkan masalah.
Sepanjang cawe-cawe itu tidak melanggar kepantasan dan hukum, menurut wartawan senior tersebut, itu tidak masalah.
Kata atau istilah tersebut bisa menjadi bias manakala berurusan dengan kepentingan politik, sehingga tafsirnya pun tergantung pada kepentingan pula. Ketika sisa-sisa perseteruan akibat perkubuan yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya lenyap, kata cawe-cawe yang disampaikan Presiden Jokowi dengan mudah menyulut polemik. Apalagi saat ini memang sudah memasuki tahun politik.
Lantas bagaimana membaca atau menafsirkan cawe-cawe seperti yang disampaikan Kepala Negara tersebut dalam konteks kepemimpinan politik pada masa mendatang?
Seperti halnya hidup, pembangunan yang dijalankan untuk membagi kesejahteraan kepada warga negara pun tidak boleh terhenti di tengah jalan.
Di negara demokrasi, politik beserta sistem yang bekerja di dalamnya, terutama partai-partai politik, menjadi keniscayaan sebagai alat untuk mencapai tujuan, terutama dalam mendistribusikan kesejahteraan kepada warga negara.
Melalui berbagai kebijakannya, Presiden Jokowi yang memimpin negeri berpenduduk 276 juta ini, menginginkan Indonesia merangkak naik ke negeri berpendapatan tinggi.
Pembangunan beragam infrastruktur di berbagai wilayah, terutama di luar Jawa, diyakini akan membentuk titik-titik pertumbuhan baru perekonomian negeri. Konsistensi membangun sarana prasarana di luar Jawa selama ini sudah disusul dengan munculnya sentra-sentra pertumbuhan baru tersebut.
Keterhubungan antarwilayah, baik darat, laut, maupun udara, menjadi keniscayaan ketika sebuah negara kepulauan ini menginginkan tidak saja meraih pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi juga menyentuh aspek pemerataannya.
Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa capaian investasi di luar Jawa sudah menyentuh 53 persen pada tahun 2022. Padahal, sebelumnya investasi di Jawa selalu lebih besar dibanding luar Jawa. Potensi ekonomi di luar Jawa yang bisa dieksplorasi masih terbuka lebar dan menjadi modal untuk melajukan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Mengacu klasifikasi negara berdasarkan PDB perkapita Bank Dunia, Indonesia masuk kategori berpendapatan menengah-tinggi. Bank Dunia membagi empat kategori, yakni berpendapatan rendah (1.035 Dolar AS), rendah-menengah (1.036-4.045 Dolar AS), berpendapatan menengah-tinggi (4.046-12.535 Dolar AS), dan berpendapatan tinggi (di atas 12.535 Dolar AS)
Di negara dengan persebaran penduduk di berbagai pulau, dibutuhkan kebijakan yang mampu menyentuh semua lapisan warga negara dengan menciptakan titik-titik pertumbuhan baru, terutama di luar Jawa.
Tanpa ada titik-titik pertumbuhan baru hampir bisa dipastikan bakal memicu kesenjangan. Bukan hanya kesenjangan pendapatan antarpenduduk yang melebarkan rasio Gini, juga bakal menciptakan gap pembangunan antarwilayah.
Pembangunan pesat infrastruktur di luar Jawa selama ini mampu memberi pijakan bagi pemimpin mendatang untuk memperluas titik-titik baru yang mampu menggerakkan perekonomian antarwilayah.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya membangun keterhubungan antarwilayah agar perekonomian di daerah bergerak makin lebih kencang.
Keterhubungan antardaerah tersebut pada akhirnya akan menghasilkan multiplier effects atau tetesan kesejahteraan yang menyebar bagi warga masyarakat.
Kerja-kerja pembangunan yang sudah dicapai para pemimpin sebelumnya harus dilanjutkan karena kemajuan dan tingkat kesejahteraan nyaris tidak ada ujungnya.
Karena bangsa Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya alam dan manusia, maka realistis saja bila mematok target waktu untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi.
Keluar dari jebakan
Sudah terlalu lama pendapatan bangsa Indonesia berada di lapisan tengah. Dengan capaian yang ada sekarang, Presiden Jokowi berharap pemimpin mendatang bisa menjejakkan Indonesia sebagai negara yang berada di level pendapatan tinggi.
Indonesia pada 13 tahun ke depan memasuki masa krusial sekaligus menentukan. Dengan menikmati bonus demografi, 10-20 mendatang merupakan momentum emas mewujudkan cita-cita tersebut.
Jadi, sudah sewajarnya saja negara ini keluar dari jebakan berpenghasilan menengah (middle income trap) karena sudah terlalu lama berada di level ini.
Pendapatan domestik bruto atau PDB per kapita penduduk Indonesia pada 2022 tercatat 4.784 dolar AS (menengah-tinggi). Agar Indonesia segera "hijrah" menjadi negara berpendapatan tinggi, 12.000 Dolar AS, maka kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan tinggi dan pemerataan tidak boleh mandeg.
Dalam konteks itulah Presiden menyatakan bahwa apa yang sudah diraih selama ini dan menjadi pijakan menyongsong masa depan bangsa ini, harus dilanjutkan oleh pemimpin mendatang. Meskipun tidak eksplisit menyebut nama, pesan yang disampaikan Presiden Jokowi, oleh khalayak dianggap ditujukan kepada sosok yang namanya menjadi langganan menempati tiga besar dalam berbagai survei elektabilitas.
Pesan adanya "pemimpin baru" dan "keberlanjutan kebijakan" itu menjadi frasa yang patut diserap sebagai latar belakang mengapa Presiden Jokowi menggunakan kata cawe-cawe dalam perbincangan politik dengan pemimpin media.
Seseorang bisa (melakukan) cawe-cawe dan efektif hasilnya manakala yang bersangkutan punya salah satu atau beberapa kedekatan: personal, ideologi, maupun kepentingan dengan mitranya.
Siapakah sosok itu? Itulah yang kini ramai diperbincangkan khalayak, terutama warganet.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: