Jakarta (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia didukung Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) melalui the Internews Network akan melangsungkan acara penutupan peringatan Hari Kebebasan Pers sedunia pada dengan diskusi publik bertajuk "Melindungi Jurnalis Independen Menjelang Pemilu".

"Kegiatan ini melibatkan jurnalis dan praktisi media, perwakilan pemerintah, perwakilan koalisi sipil, anggota legislatif, diplomat dan perwakilan organisasi/lembaga internasional. Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini digelar setelah rentetan perayaan di 25 kota menandai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day WPFD 2023) yang bertepatan dengan 25 Tahun Reformasi di Indonesia," kata Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim di Jakarta, Senin.

Dalam sambutannya, Sasmito mengatakan, tumbangnya pemerintahan otoriter Orde Baru yang dipimpin Soeharto pada 1998 silam menandai dimulainya demokrasi di Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Pers yang disahkan pada 1999, merupakan regulasi penting untuk menjamin pengakuan serta perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers.

"Sayangnya, demokrasi di Indonesia kini justru menunjukkan gejala-gejala kemunduran di mana sejumlah peraturan yang telah ditetapkan berpotensi mengganjal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dan satu di antaranya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memuat pasal-pasal bermasalah. Sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan mengguna pasal-pasal problematik," tuturnya.

Indikator lain, serangan terhadap jurnalis maupun organisasi media independen nyatanya berulang dan masih terus terjadi. Sepanjang 2022, AJI Indonesia mencatat 61 kasus dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi target serangan.

Sementara pada 2023 ini, dalam empat bulan pertama saja, AJI telah menerima 34 laporan kasus kekerasan. Jumlah yang meningkat dua kali lipat lebih dibanding periode yang sama pada 2022, sebanyak 15 kasus.

Sasmito Madrim mengatakan, Reporters Without Borders (RSF) memang mencatat peringkat Indeks Kebebasan Pers Indonesia pada 2023 tampaknya membaik sembilan tingkat. Yakni yang semula 117 menjadi peringkat 108, dari total 180 negara.

"Tapi skornya tidak banyak mengalami perubahan dari skor 49,27 menjadi 54,83. Ini artinya Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat kebebasan pers yang sulit," katanya.

Menurutnya, kenaikan tingkat ini tidak dapat diartikan iklim kebebasan pers Indonesia semakin baik. Dan perjuangan untuk kemerdekaan pers harus terus dilanjutkan oleh semua pemangku kepentingan.

"Amerika Serikat dan Indonesia bersatu dalam keyakinan bahwa pers yang bebas dan independen sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat," tegas Erin Nicholson, USAID Indonesia Deputy Mission Director. "Kami berharap dapat terus bekerja sama untuk melindungi dan mendorong kebebasan pers, sehingga jurnalis dapat terus memainkan peran penting mereka dalam membangun masyarakat yang terbuka, mendorong kekuasaan untuk akuntabel, dan mempromosikan tata kelola pemerintahan demokratis yang melayani semua warga negara."

Di tempat yang sama, Sekretaris Jendral AJI, Ika Ningtyas menambahkan, pada perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang bertepatan dengan peringatan 25 tahun reformasi di Indonesia bisa dijadikan momentum berefleksi sekaligus menyusun strategi untuk menjawab beragam tantangan di atas.

Ikhtiar merawat dan memperjuangkan kemerdekaan pers penting dipikul bersama-sama. Sebab kebebasan pers merupakan aspek penting kebebasan berekspresi--sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Kebebasan pers berperan penting dalam memastikan penegakan hak asasi manusia secara menyeluruh di Indonesia. Pers yang merdeka dan independen akan memungkinkan publik leluasa mencari ataupun mendapatkan informasi secara akurat, menyebarluaskan gagasan melalui medium apapun dan, mendiskusikan secara kritis.

"Pers yang merdeka dan independen akan menuntun publik mendapatkan informasi yang faktual juga akurat, dengan begitu publik dapat membuat keputusan secara tepat. Terlebih dengan pelbagai tantangan mulai dari krisis iklim, ketimpangan ekonomi, korupsi, polarisasi politik, kekerasan berbasis gender, penindasan terhadap kelompok marginal, dan maraknya penyebaran disinformasi," tuturnya.

Keberadaan pers yang merdeka juga diyakini menjadi pondasi terciptanya masyarakat yang demokratis. Itu mengapa pula, penting untuk memastikan perlindungan dan keselamatan jurnalis demi tetap terwujudnya kemerdekaan pers.

"Mengingat kompleksitas situasi tersebut, Indonesia berkewajiban memperluas upaya dengan memberikan perlindungan holistik atau menyeluruh kepada jurnalis independen. Jaminan perlindungan meliputi langkah-langkah pencegahan, mekanisme respons cepat, dana keselamatan, bantuan hukum dan praktik penegakan hukum yang kuat," kata Ika.