Jakarta (ANTARA) - Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro mengatakan pemerintah tidak akan mencampuri proses pembuatan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materi sistem pemilu legislatif.

"Terkait dengan beredarnya banyak berita mengenai putusan MK, dari sisi pemerintah sudah jelas ya itu domain Mahkamah Konstitusi. Jadi sepanjang belum ada putusan yang dikeluarkan oleh MK, semuanya harus berpegang pada apa yang sekarang berlaku bahwa Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih belum ada perubahan apa-apa. Jadi kita tunggu saja MK seperti apa," kata Juri di Kantor KSP Jakarta, Senin.

Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengklaim mendapat informasi soal MK terkait sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.

"Mereka (MK) akan membuat putusan dan pertimbangan-pertimbangan atas putusan-putusan itu dan tentu saja dikaitkan dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Jadi kita serahkan saja proses penyelenggaraan pemilunya, tahapan penyelenggaraan pemilunya yang sudah ditetapkan oleh KPU dan seperti apa jika nanti ada perubahan menyangkut sistem pemilu atau lainnya tapi pada dasarnya pemerintah tidak akan masuk campur tangan dalam pengaturan pelaksanaan pemilu, termasuk di dalam mengatur sistem pemilu," ungkap Juri Ardiantoro.

Mantan Ketua KPU tersebut mengatakan dugaan kebocoran putusan yang disampaikan oleh Denny Indrayana itu juga membutuhkan investigasi tertentu.

"Dua hal ya, satu mengenai dugaan bocor putusan MK dan putusan itu sendiri. Mengenai kebocoran tentu MK punya standar bagaimana menyikapi beredarnya informasi putusan yang belum putus, apakah akan melakukan investigasi kemudian memberi treatment tertentu kepada pihak-pihak yang membocorkan, termasuk pihak-pihak yang mengamplifikasi mengenai isu bocornya putusan MK itu," ujar Juri.

Sedangkan terkait putusan itu sendiri, Juri kembali mengatakan untuk menunggu putusan resmi MK.

"Pemerintah akan konsisten untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah MK atau perintah undang-undang. Pemerintah tidak bisa mengandai-andai, Pasti seluruh putusan MK sudah dipertimbangkan seperti apa konsekuensi dan dampaknya," ungkap Juri.

Pada Minggu (28/5), Denny Indrayana melalui akut twitternya @dennyindranaya mengatakan "Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja."

Dalam cuitannya Denny Indrayana juga sempat menyinggung soal sumbernya di Mahkamah Konstitusi, namun dia memastikan sumbernya bukan hakim konstitusi.

Dari informasi yang ia terima, Denny Indrayana menyebut komposisi hakim MK yang akan memutus gugatan tersebut adalah 6:3. Artinya, enam hakim MK menyatakan akan memutus Pemilu kembali ke proporsional tertutup. Sementara tiga hakim lainnya tetap terbuka, sehingga Denny menyebut Indonesia akan kembali ke sistem pemilu orde baru (Orba), yang otoritarian dan koruptif.

MK menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup yakni PDI Perjuangan.