Jakarta (ANTARA) - Tiga tahun lalu Pemerintah Indonesia dan Iran memulai proyek kerja sama bilateral robotic telesurgery sebagai teknologi mutakhir di bidang kedokteran yang merevolusi layanan operasi bedah di Tanah Air.

Telesurgery adalah metode pembedahan jarak jauh, di mana dokter bedah berada di tempat yang berbeda dengan pasien yang dioperasi, baik secara ruangan atau berbeda rumah sakit, bahkan melintasi batas geografi beda negara.

Selama didukung dengan jaringan telekomunikasi yang kuat dan mendukung, maka telesurgery dapat dilakukan.

Pada tahun ini diperlihatkan uji coba telesurgery. Dua lengan instrumen robot berlokasi di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta dan dikendalikan secara remote dari Bandung, Jawa Barat. Wilayah uji coba itu terpaut jarak 500 kilometer.

Tim bedah di Yogyakarta didampingi oleh dokter spesialis urologi dari rumah sakit setempat, Dr Indrawarman, sedangkan operasional di Bandung, dipimpin oleh dokter spesialis bedah pencernaan RSUP Hasan Sadikin, yakni dr Reno Budiman.

Uji coba itu memperlihatkan gerakan robot yang sangat halus dan presisi pada objek bedah berupa liver, sehingga mampu melakukan operasi yang kompleks secara remote.

Mesin menerjemahkan setiap gerakan tangan pembedah ke lengan robot di tubuh pasien. Lengan kiri digi Maryland Forceps melakukan traksi atau gaya gesek terhadap jaringan objek, sedangkan lengan kanan melakukan kauterisasi jaringan.

Jaringan liver dapat dilakukan kauterisasi yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan yang biasanya dapat merembes menutupi lapangan operasi, sehingga pendarahan yang berisiko pada pasien dapat ditekan.

Fitur kemampuan kauterisasi menjadi sangat penting dalam melakukan koagulasi atau proses bedah di dalam sistem koloid darah, sehingga operasi dapat berlangsung dengan pendarahan seminimal mungkin agar pasien dapat segera pulih seusai pembedahan.

Sistem bedah telescopic robotic yang dilengkapi dengan konektivitas kecepatan bandwidth 5G dapat mengaktifkan teknologi pencitraan dan penginderaan canggih.

Sistem tersebut memberi ahli bedah tampilan definisi tinggi dari lokasi bedah dan memungkinkan visualisasi dari layar monitor yang lebih baik dan akurasi yang lebih presisi.

Dengan konsol kontrol yang intuitif, ahli bedah dapat memanipulasi lengan robotik dengan presisi secara halus, serta mereplikasi gerakannya secara real-time.

Umpan balik heptic sistem memastikan ahli bedah dapat merasakan resistensi jaringan dan mengerahkan kekuatan yang tepat.

Indrawarman berharap telesurgery dapat segera disempurnakan dan diimplementasikan di Indonesia yang memiliki geografis sangat luas, terdiri atas wilayah kepulauan dan masih kekurangan dokter ahli bedah yang mampu melakukan prosedur bedah yang kompleks.

Dengan adanya robotic telesurgery, diharapkan pelayanan tersebut dapat lebih banyak menjangkau masyarakat yang memerlukan.


Tantangan

Robotic surgery mulai populer di dunia medis pada layanan Bariatrik untuk menurunkan berat badan pada pasien obesitas melalui metode bedah.

Selain itu, robot juga mampu melakukan bedah digestif di saluran pencernaan, pengangkatan kantung empedu dan usus buntu, potongan usus besar pada kasus tumor, reseksi, pankreas, dan limpa.

Pada bedah thoraks atau rongga dada, meliputi pemulihan sakit jantung dan paru. Selain itu, robotic surgery juga bisa menangani bedah urologi, seperti pada ginjal, kantung kencing, dan prostat.
Tangkapan layar - Ahli bedah melakukan uji coba robotic telesurgery pada objek liver dari RS Sardjito Yogyakarta yang dikendalikan dari RSUP Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Kemenkes)

Pada bidang bedah kandungan ginekologi, robot tersebut mampu menangani pasien dengan kasus myoma, kista indung telur, hingga permasalahan varium.

Namun belum semua penyakit mampu dijangkau robot. Misalnya, pasien dengan kondisi jaringan yang dioperasi terlalu besar ukurannya, banyak perlengketan bekas operasi sebelumnya, terdapat komorbid penyakit paru atau jantung.

Salah satu kondisi luka besar yang dimaksud, seperti operasi sesar pada ibu hamil. Bedah menggunakan robot pada ibu hamil berisiko memicu trauma di tubuh pasien, sebab perlu rongga untuk memasukkan gas ke dalam perut atau dada untuk melihat ruang di mana bayi berada.

Pengembangan robotic surgery di Indonesia juga masih dihadapkan pada tantangan pendanaan hingga kepercayaan publik untuk mengakses layanan.

Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro menyebut payung hukum untuk pengembangan robotic surgery diatur dalam ketentuan telemedisin di Indonesia.

Salah satunya berkaitan dengan risiko malapraktik akibat kegagalan peralatan maupun gangguan transmisi teknologi informasi. Hal itu masih dalam pembahasan intensif para pakar dari sejumlah negara pengguna, seperti Amerika Serikat, Swedia, serta Iran.

Sebagai contoh, kemampuan robotic surgery sangat bergantung pada frekuensi jaringan teknologi informasi atau bandwidth yang disediakan operator telekomunikasi. Saat frekuensi itu terputus sekian detik saja, bukan tidak mungkin bisa berakibat fatal pada pasien yang menjalani bedah.

Payung hukum tersebut memuat pihak penanggung jawab atas kelalaian, baik itu dari pihak produsen robot maupun dokter yang mengoperasikan alat. Selain itu, juga dibahas tentang izin praktik dari operator robot.

Karena itu, diharapkan payung hukum yang kuat dapat meningkatkan kepercayaan publik pada perangkat robot bedah.

Biaya robotic surgery yang relatif mahal juga memberi tantangan bagi negara pengguna. Sebagai gambaran, satu unit perangkat robot bedah impor dibanderol Rp10 miliar per unit, sedangkan tarif layanan ditaksir berkisar 200 persen lebih mahal dari penanganan konvensional.

Kemenkes sedang mempersiapkan skema pembiayaan robotic surgery melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan saat seluruh uji coba proyek telah rampung.

Proyek pengembangan robotic surgery yang ditargetkan rampung di Indonesia paling lambat 2025 masih memerlukan kerja sama serius dengan perusahaan penyedia perangkat telekomunikasi hingga pelatihan bagi tenaga medis.