Artikel
Langkah BI perkuat intermediasi untuk mendongkrak perekonomian
Oleh Agatha Olivia Victoria
28 Mei 2023 18:55 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) memberikan selamat kepada Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) usai pelantikan di Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (24/5/2023). Perry Warjiyo menjabat kembali sebagai Gubernur Bank Indonesia periode 2023-2028. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak tahun 2020 membuat kegiatan masyarakat terhenti sehingga intermediasi perbankan pun merosot tajam sebagai akibat turunnya permintaan.
Penurunan intermediasi perbankan saat awal pandemi melanda terlihat dari pertumbuhan kredit yang terkontraksi sebesar 2,41 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Padahal, pada masa normal, pertumbuhan kredit perbankan bisa melesat hingga dua digit.
Intermediasi merupakan salah satu fungsi lembaga keuangan bank melalui cara penarikan atau penghimpunan dana dari para penabung, yang kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk kepentingan konsumtif maupun produktif.
Maka dari itu, fungsi ini memiliki dampak berganda terhadap perekonomian, yang tentunya bisa memulihkan kembali ekonomi domestik.
Akibat memiliki dampak yang signifikan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus berupaya mendorong fungsi intermediasi perbankan. Sebagai salah satu anggota KSSK, Bank Indonesia (BI) tak ketinggalan memperkuat fungsi intermediasi untuk mendongkrak perekonomian nasional.
Meski bekerja secara independen, BI tetap memiliki kewajiban untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Oleh karenanya, Bank Sentral mengerahkan kebijakan makroprudensial agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan makroprudensial merupakan langkah yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan, memitigasi dan mengelola risiko sistemik, serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan, juga keuangan berkelanjutan.
Saat pandemi melanda, kebijakan makroprudensial yang tetap akomodatif dilakukan BI melalui fokus tiga kebijakan utama. Pertama, mendorong pemulihan intermediasi dan ekonomi melalui terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penurunan loan to value (LTV) kredit properti, relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor (KKB), dan rasio intermediasi makroprudensial (RIM).
Kemudian, melalui penguatan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan untuk meningkatkan efektivitas transmisi suku bunga kebijakan.
Kebijakan kedua yakni menjaga kecukupan likuiditas perbankan dengan terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penyangga likuiditas makroprudensial (PLM), penurunan giro wajib minimum (GWM), dan counter cyclical buffer (CCB).
Ketiga, mendorong akses keuangan bagi UMKM dan sektor inklusif lainnya. Selain itu, BI juga memperkuat dukungan kebijakan makroprudensial dan koordinasi kebijakan antar otoritas untuk sektor prioritas serta mendorong tindak lanjut Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk pembiayaan dunia usaha.
Mendorong dunia usaha
Tak hanya mendorong kredit konsumtif yang cenderung diberikan kepada perseorangan, kredit produktif pun turut didorong oleh peran penguatan intermediasi BI.
Sejauh ini, ekonom Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai peran perbankan dalam menyalurkan kredit ke dunia usaha sudah cukup baik, terutama dengan adanya relaksasi kebijakan dari BI. Namun, terdapat beberapa kondisi lain yang menyebabkan kredit kepada dunia usaha relatif melambat dalam beberapa waktu belakangan.
Kondisi yang dimaksud yakni rezim tingkat suku bunga tinggi, baik di global maupun domestik, hingga Indonesia yang memasuki tahun politik.
"Dunia usaha masih wait and see sehingga cenderung menunda investasinya sampai kondisinya sudah lebih tetap dan jelas ke depannya," ucap Riefky saat dihubungi Antara.
Penantian dunia usaha tercermin dari permintaan pembiayaan korporasi pada April 2023 terindikasi tumbuh terbatas, yang terlihat dari dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 19,8 persen atau lebih rendah dari SBT 24 persen pada Maret 2023.
Perlambatan tersebut utamanya terjadi pada sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan jasa pendidikan.
Dengan demikian, secara keseluruhan kredit atau pembiayaan perbankan pun tumbuh melambat meski tetap positif sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi. Pertumbuhan kredit pada April 2023 tercatat 8,08 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 9,93 persen (yoy).
Pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 10,12 persen (yoy), diikuti oleh kredit konsumsi sebesar 8,68 persen (yoy) dan kredit modal kerja sebesar 6,55 persen (yoy).
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit yang tinggi terutama tercatat pada korporasi di sektor pertambangan, industri, dan jasa. Dari sisi penawaran, bank optimistis mampu mencapai target penyaluran kredit 2023 sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi serta tetap longgarnya likuiditas dan standar penyaluran.
Selain itu, pembiayaan syariah tumbuh sebesar 18,68 persen (yoy) pada April 2023. Di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertumbuhan kredit tercatat sebesar 6,83 persen (yoy) pada April 2023, yang didukung realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp53,93 triliun hingga 30 April 2023.
Salah satu penyebab melambatnya kredit pada bulan lalu yakni tren suku bunga yang tinggi. Suku bunga kredit pada bulan April 2023 tercatat sebesar 9,37 persen.
Dengan begitu, BI akan terus mendorong intermediasi perbankan guna menjaga momentum pemulihan ekonomi. Bank Sentral terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan.
"Kami akan melanjutkan kebijakan transparansi SBDK dengan pendalaman pada respons suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terhadap suku bunga kebijakan," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada awal pekan ini.
Berdasarkan catatan BI, SBDK menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. SBDK pada Maret 2023 tercatat 8,8 persen atau meningkat sebesar 2 basis poin (bps) dibandingkan Februari 2023.
Peningkatan SBDK terjadi pada mayoritas kelompok bank, terutama Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) yang tercatat masing-masing sebesar 6,63 persen dan 8,90 persen atau meningkat 2 bps dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, SBDK kelompok Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) masing-masing meningkat sebesar 1 bps menjadi sebesar 8,73 persen dan 9,11 persen.
Tujuan dari transparansi asesmen SBDK yaitu untuk memperkuat transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial BI. Melalui transparansi, masyarakat dan dunia usaha dapat memperoleh informasi terkait perkembangan suku bunga dasar kredit perbankan dan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan.
Transmisi suku bunga kebijakan yang lebih baik ke suku bunga kredit, dalam bentuk penetapan suku bunga kredit yang kompetitif dan efisien, diharapkan akan mampu menopang permintaan kredit sehingga membantu pemulihan ekonomi.
Penurunan intermediasi perbankan saat awal pandemi melanda terlihat dari pertumbuhan kredit yang terkontraksi sebesar 2,41 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Padahal, pada masa normal, pertumbuhan kredit perbankan bisa melesat hingga dua digit.
Intermediasi merupakan salah satu fungsi lembaga keuangan bank melalui cara penarikan atau penghimpunan dana dari para penabung, yang kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk kepentingan konsumtif maupun produktif.
Maka dari itu, fungsi ini memiliki dampak berganda terhadap perekonomian, yang tentunya bisa memulihkan kembali ekonomi domestik.
Akibat memiliki dampak yang signifikan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus berupaya mendorong fungsi intermediasi perbankan. Sebagai salah satu anggota KSSK, Bank Indonesia (BI) tak ketinggalan memperkuat fungsi intermediasi untuk mendongkrak perekonomian nasional.
Meski bekerja secara independen, BI tetap memiliki kewajiban untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Oleh karenanya, Bank Sentral mengerahkan kebijakan makroprudensial agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan makroprudensial merupakan langkah yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan, memitigasi dan mengelola risiko sistemik, serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan, juga keuangan berkelanjutan.
Saat pandemi melanda, kebijakan makroprudensial yang tetap akomodatif dilakukan BI melalui fokus tiga kebijakan utama. Pertama, mendorong pemulihan intermediasi dan ekonomi melalui terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penurunan loan to value (LTV) kredit properti, relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor (KKB), dan rasio intermediasi makroprudensial (RIM).
Kemudian, melalui penguatan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan untuk meningkatkan efektivitas transmisi suku bunga kebijakan.
Kebijakan kedua yakni menjaga kecukupan likuiditas perbankan dengan terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penyangga likuiditas makroprudensial (PLM), penurunan giro wajib minimum (GWM), dan counter cyclical buffer (CCB).
Ketiga, mendorong akses keuangan bagi UMKM dan sektor inklusif lainnya. Selain itu, BI juga memperkuat dukungan kebijakan makroprudensial dan koordinasi kebijakan antar otoritas untuk sektor prioritas serta mendorong tindak lanjut Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk pembiayaan dunia usaha.
Mendorong dunia usaha
Tak hanya mendorong kredit konsumtif yang cenderung diberikan kepada perseorangan, kredit produktif pun turut didorong oleh peran penguatan intermediasi BI.
Sejauh ini, ekonom Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai peran perbankan dalam menyalurkan kredit ke dunia usaha sudah cukup baik, terutama dengan adanya relaksasi kebijakan dari BI. Namun, terdapat beberapa kondisi lain yang menyebabkan kredit kepada dunia usaha relatif melambat dalam beberapa waktu belakangan.
Kondisi yang dimaksud yakni rezim tingkat suku bunga tinggi, baik di global maupun domestik, hingga Indonesia yang memasuki tahun politik.
"Dunia usaha masih wait and see sehingga cenderung menunda investasinya sampai kondisinya sudah lebih tetap dan jelas ke depannya," ucap Riefky saat dihubungi Antara.
Penantian dunia usaha tercermin dari permintaan pembiayaan korporasi pada April 2023 terindikasi tumbuh terbatas, yang terlihat dari dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 19,8 persen atau lebih rendah dari SBT 24 persen pada Maret 2023.
Perlambatan tersebut utamanya terjadi pada sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan jasa pendidikan.
Dengan demikian, secara keseluruhan kredit atau pembiayaan perbankan pun tumbuh melambat meski tetap positif sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi. Pertumbuhan kredit pada April 2023 tercatat 8,08 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 9,93 persen (yoy).
Pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 10,12 persen (yoy), diikuti oleh kredit konsumsi sebesar 8,68 persen (yoy) dan kredit modal kerja sebesar 6,55 persen (yoy).
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit yang tinggi terutama tercatat pada korporasi di sektor pertambangan, industri, dan jasa. Dari sisi penawaran, bank optimistis mampu mencapai target penyaluran kredit 2023 sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi serta tetap longgarnya likuiditas dan standar penyaluran.
Selain itu, pembiayaan syariah tumbuh sebesar 18,68 persen (yoy) pada April 2023. Di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertumbuhan kredit tercatat sebesar 6,83 persen (yoy) pada April 2023, yang didukung realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp53,93 triliun hingga 30 April 2023.
Salah satu penyebab melambatnya kredit pada bulan lalu yakni tren suku bunga yang tinggi. Suku bunga kredit pada bulan April 2023 tercatat sebesar 9,37 persen.
Dengan begitu, BI akan terus mendorong intermediasi perbankan guna menjaga momentum pemulihan ekonomi. Bank Sentral terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan.
"Kami akan melanjutkan kebijakan transparansi SBDK dengan pendalaman pada respons suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan terhadap suku bunga kebijakan," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada awal pekan ini.
Berdasarkan catatan BI, SBDK menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. SBDK pada Maret 2023 tercatat 8,8 persen atau meningkat sebesar 2 basis poin (bps) dibandingkan Februari 2023.
Peningkatan SBDK terjadi pada mayoritas kelompok bank, terutama Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dan Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) yang tercatat masing-masing sebesar 6,63 persen dan 8,90 persen atau meningkat 2 bps dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, SBDK kelompok Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) masing-masing meningkat sebesar 1 bps menjadi sebesar 8,73 persen dan 9,11 persen.
Tujuan dari transparansi asesmen SBDK yaitu untuk memperkuat transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial BI. Melalui transparansi, masyarakat dan dunia usaha dapat memperoleh informasi terkait perkembangan suku bunga dasar kredit perbankan dan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan.
Transmisi suku bunga kebijakan yang lebih baik ke suku bunga kredit, dalam bentuk penetapan suku bunga kredit yang kompetitif dan efisien, diharapkan akan mampu menopang permintaan kredit sehingga membantu pemulihan ekonomi.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023
Tags: