Produsen perlu perbaiki jarak tempuh bila ingin wujudkan EV massal
28 Mei 2023 06:34 WIB
Arsip foto - Mobil Nissan Leaf EV dan baterai portabel dipajang di Nissan Gallery di Yokohama, Jepang 29 November 2021. ANTARA/REUTERS/Androniki Christodoulou.
Jakarta (ANTARA) - Kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kini menjadi lebih umum dari sebelumnya, tetapi konsumen masih ragu tentang adopsi EV, mengingat jarak tempuh yang masih terbatas. Oleh karena itu, perlu ada upaya dari produsen untuk merealisasikan jarak tempuh yang lebih nyata.
Studi baru dari S&P Global Mobility, dilansir dari Carscoops, Sabtu (27/5), mencontohkan Tesla Model 3 Performance AWD, yang memiliki jarak tempuh maksimum 599 km, tetapi dalam kondisi yang sama di dunia nyata, hanya menunjukkan jangkauan 499 km.
Tentu saja, variasi ini tidak akan menjadi masalah jika Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) tersedia sebanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), atau jika EV dapat mengisi ulang secepat kendaraan BBM.
Kecemasan jangkauan itu sebenarnya telah menyebabkan penurunan minat konsumen terhadap EV. Meski beragam kendaraan listrik telah rilis atau diumumkan dalam beberapa tahun terakhir, S&P melaporkan hanya 6 dari setiap 10 orang menyatakan minat untuk membeli EV pada 2022, sebelumnya angka tersebut adalah 8 dari setiap 10 orang di 2021.
Meskipun penelitian tersebut mengklaim bahwa dua pertiga peserta menganggap jarak tempuh 241-483 km dapat diterima, penerimaan tersebut bergantung pada apakah kendaraan tersebut benar-benar dapat membawa jarak tersebut dalam pengaturan dunia nyata atau tidak.
Melalui analisis statistik, terlihat bahwa faktor penyumbang terbesar pada kisaran EV adalah bobot, tenaga motor, dan kapasitas baterai. Sayangnya, konsumen modern cenderung lebih menyukai SUV, yang lebih berat dan kurang aerodinamis daripada sedan (atau bahkan wagon) di segmen yang sama, meski ada beberapa kelemahan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, S&P percaya bahwa kunci terbesar untuk memecahkan perbedaan dalam jangkauan dunia nyata adalah kemajuan dalam teknologi baterai.
Menurut analisis, dari sekitar 900 EV yang terjual antara tahun 2017 dan 2022, besarnya kapasitas baterai terbukti berkorelasi positif dengan jarak tempuh. Saat pabrikan mulai mencari solusi baterai yang padat energi, mereka mulai menawarkan kapasitas listrik lebih besar dengan jejak yang lebih kecil, memungkinkan jangkauan tambahan yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
Selain itu, karena tenaga menjadi lebih efisien secara elektrik, maka efeknya akan meningkat dua kali lipat, meningkatkan kapasitas pada sumber sekaligus mengurangi penarikan.
Baca juga: Stafsus Presiden: Butuh 20 ribu charging station untuk 400 ribu EV
Baca juga: Menteri BUMN: BUMN hadir untuk mempercepat penetrasi EV di Indonesia
Baca juga: MG ingin edukasi kendaraan listrik terus ditingkatkan
Studi baru dari S&P Global Mobility, dilansir dari Carscoops, Sabtu (27/5), mencontohkan Tesla Model 3 Performance AWD, yang memiliki jarak tempuh maksimum 599 km, tetapi dalam kondisi yang sama di dunia nyata, hanya menunjukkan jangkauan 499 km.
Tentu saja, variasi ini tidak akan menjadi masalah jika Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) tersedia sebanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), atau jika EV dapat mengisi ulang secepat kendaraan BBM.
Kecemasan jangkauan itu sebenarnya telah menyebabkan penurunan minat konsumen terhadap EV. Meski beragam kendaraan listrik telah rilis atau diumumkan dalam beberapa tahun terakhir, S&P melaporkan hanya 6 dari setiap 10 orang menyatakan minat untuk membeli EV pada 2022, sebelumnya angka tersebut adalah 8 dari setiap 10 orang di 2021.
Meskipun penelitian tersebut mengklaim bahwa dua pertiga peserta menganggap jarak tempuh 241-483 km dapat diterima, penerimaan tersebut bergantung pada apakah kendaraan tersebut benar-benar dapat membawa jarak tersebut dalam pengaturan dunia nyata atau tidak.
Melalui analisis statistik, terlihat bahwa faktor penyumbang terbesar pada kisaran EV adalah bobot, tenaga motor, dan kapasitas baterai. Sayangnya, konsumen modern cenderung lebih menyukai SUV, yang lebih berat dan kurang aerodinamis daripada sedan (atau bahkan wagon) di segmen yang sama, meski ada beberapa kelemahan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, S&P percaya bahwa kunci terbesar untuk memecahkan perbedaan dalam jangkauan dunia nyata adalah kemajuan dalam teknologi baterai.
Menurut analisis, dari sekitar 900 EV yang terjual antara tahun 2017 dan 2022, besarnya kapasitas baterai terbukti berkorelasi positif dengan jarak tempuh. Saat pabrikan mulai mencari solusi baterai yang padat energi, mereka mulai menawarkan kapasitas listrik lebih besar dengan jejak yang lebih kecil, memungkinkan jangkauan tambahan yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
Selain itu, karena tenaga menjadi lebih efisien secara elektrik, maka efeknya akan meningkat dua kali lipat, meningkatkan kapasitas pada sumber sekaligus mengurangi penarikan.
Baca juga: Stafsus Presiden: Butuh 20 ribu charging station untuk 400 ribu EV
Baca juga: Menteri BUMN: BUMN hadir untuk mempercepat penetrasi EV di Indonesia
Baca juga: MG ingin edukasi kendaraan listrik terus ditingkatkan
Penerjemah: Pamela Sakina
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2023
Tags: