Waingapu, NTT (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatakan bahwa kain tenun telah menjadi suatu bagian yang melekat pada jiwa setiap masyarakat di Sumba, NTT.

“Di Sumba, tenun bukan dijadikan pelengkap kebutuhan masyarakat. Itu sudah jadi bagian dasar dari kehidupan masyarakatnya,” kata Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti kepada ANTARA di Sumba Timur, NTT, Jumat.

Irini menuturkan bahwa masyarakat di sana tidak sekadar menggunakan tenun khas itu untuk pelengkap dirinya. Misalnya, hanya digunakan ketika akan menghadiri sebuah pesta sebagai aksesoris berupa selendang atau ikat kepala.

"Tenun memiliki arti yang lebih dalam bagi masyarakat di sana. Mereka menggunakan tenun sebagai pakaian dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan wajib digunakan ketika menggelar sebuah upacara adat atau ritual. Dimana tentunya, motif pada kain yang digunakan pun tidak bisa digunakan sembarangan karena harus disesuaikan," katanya.

Baca juga: Kemendikbudristek sebut 16 motif tenun Sumba terancam punah

Baca juga: Penenun Sumba Timur butuh lahan budi daya tanaman pewarna alami


Karena sifatnya yang sudah melekat pada jiwa masyarakat Sumba, Irini mengatakan Sumba memiliki hingga 85 motif tenun.

Motif yang amat beragam itu disebabkan karena setiap suku memiliki ciri khasnya masing-masing dan tidak ada yang sama satu sama lainnya. Baik itu pewarnaannya maupun tiap gambar yang ada, ujarnya.

Oleh karenanya, guna menjaga kesakralan dari kain tenun yang amat berarti terutama bagi masyarakat Sumba Timur, Irini meminta setiap masyarakat yang membeli tenun untuk ikut mempelajari setiap makna dibalik gambar yang ada.

Hal ini juga dijadikan upaya pencegahan punahnya motif-motif tenun asli Indonesia.

“Ketika seorang penenun melakukan pekerjaan untuk bertenun, imajinasi dia, (soal motif yang akan dibuat) ada dalam pikirannya, dan itu semua dari motif-motif itu punya arti. Dan kalau ini dilatih ke generasi berikutnya semua harus bisa memahami (apa arti dibalik gambar yang dibuat),” ujarnya.

Sebelumnya, seorang penenun Kampung Raja Praliu, Ari Praliu mengatakan bahwa tenun bukan sekadar kain atau objek yang dijual belikan karena rupanya yang cantik.

Meski kain tenun menjadi mata pencaharian utama mayoritas penduduk Sumba untuk membeli makan hingga membiayai anak-anak sekolah, kain tenun memiliki makna kehidupan pada setiap gambarnya.

Contohnya, udang menjadi simbol dari kehidupan dan kelahiran kembali, buaya sebagai simbol kebangsawanan laki-laki Sumba, ayam yang jadi lambang kedekatan dengan alam atau mampu mempelajari tanda-tanda alam.

Teknik pewarnaan juga menjadi nilai tambah tenun, karena setiap desa mempunyai teknik yang berbeda-beda. Hal ini membuat warna pada kain tenun yang dijual antar desa pasti berbeda.

“Kami berharap tamu datang ke lokasi ini karena bukan hanya nilai kain yang kita jual, tapi sejarah dan destinasinya yang harus kita perkenalkan agar mereka paham. Tenun bukan hanya sekadar kain, ini mengandung filosofi hidup yang tiap ukirannya berasal dari hati penenun,” katanya.

Baca juga: Kemendikbud adakan pendataan ekosistem tenun di Sumba Timur

Baca juga: Kemendikbud: Pameran tenun Sumba upaya lestarikan budaya