Telaah
Menanti kiprah dan langkah G7
Oleh Nanang Sunarto*)
25 Mei 2023 09:34 WIB
Presiden Joko Widodo (kiri) duduk di samping Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida saat menghadiri Sesi Kerja Mitra G7 yang membahas soal iklim, energi, dan lingkungan di Hotel Grand Prince, Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/5/2023). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/am.
Jakarta (ANTARA) - Helat akbar para pemimpin negara elite dunia KTT ke-49 G7 Hiroshima ditutup, Minggu (21/5), dengan isu utama sanksi terhadap Rusia, relasi dengan China ke depan dan dukungan bagi Ukraina.
Motto lawas “Tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada cuma kepentingan abadi” terbukti pada kilas balik sejarah, saat AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima yang meluluhlantakkan kota itu dan menewaskan 146 ribu penduduknya pada 6 Agustus 1945.
Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia II lalu membentuk Blok Poros (Axis) melawan AS dan sekutu-sekutunya (Prancis, Inggris, Kanada) yang kini seluruh pihak bernaung di bawah G7.
Dunia berputar dan bandul konstelasi geopolitik terus berayun. Kini kubu G7 berseberangan dengan Rusia dan China terkait rivalitas di bidang ekonomi atau dukung-mendukung terkait sengketa wilayah.
Dari 66 butir pernyataan akhir KTT ke-49 KTT G7 Hiroshima, antara lain dimuat dukungan tanpa batas waktu bagi Ukraina selama yang dibutuhkan untuk menghadapi agresi Rusia.
Presiden Ukraina Voldymyr Zelenskyy juga mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan langsung di hadapan para pemimpin G7 dalam sesi kerja di hari terakhir KTT, Minggu (21/5).
Zelenskyy, sebelum mengikuti KTT G7 juga melakukan roadshow mencari dukungan ke sejumlah negara Uni Eropa, seperti Jerman, Inggris dan Prancis, bahkan sebelumnya menghadiri KTT Liga Arab.
Upaya memperkokoh kerja sama dan mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka juga menjadi salah satu agenda bahasan KTT G7.
Mengenai program perlucutan senjata, G7 mendorong agenda untuk mewujudkan stabilitas dunia tanpa senjata nuklir, sedangkan di bidang ekonomi, dibahas ketangguhan G7 dari distorsi rantai pasok dan praktik nonpasar, serta tekanan ekonomi (dari China-red).
Terkait relasi dengan China, dalam komunike terakhir disebutkan, G7 akan mengoordinasikan pendekatan baru untuk menjaga ketahanan dan keamanan ekonomi global berdasarkan diversifikasi dan pengurangan risiko, bukan dengan pemutusan hubungan.
Di bidang Iklim dan Energi, dalam KTT ke-49 G7 2023 dibahas upaya untuk mendorong target nolemisi (net-zero emission) pada 2050, mengacu pada kesepakatan Pertemuan Paris (Conference of Parties – COP) 2015.
Ketujuh pemimpin G7, yakni PM Jepang Fumio Kishida (tuan rumah), Presiden AS Joe Biden, Kanselir Jerman Olaf Scholz, PM Inggris Rishi Sunak, PM Italia Georgia Meloni, PM Kanada Justin Trudaeu, Presiden Prancis Emannuel Macron, plus dua wakil Uni Eropa (Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Ketua Komisi UE Ursula von Leyen) hadir.
Selain Presiden Jokowi, kepala pemerintah non-G7 yang diundang di KTT ke-49 G7, PM Australia Anthoni Albenese, PM Kepulauan Cook Mark Brown, Presiden Brazil Inacio Lula da Silva, PM India Narendra Modi, Presiden Korea Selatan Yoon Seuk Yeol, Presiden Komoro Azali Assoumani, dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Suara dari Selatan
Yang menggembirakan, G7 yang dianggap “klub elite negara maju” memberikan kesempatan pada pemimpin Global South (Selatan) yang hadir untuk meyampaikan pandangannya.
Presiden Jokowi dalam sesi Outreach, Sabtu {21/5) secara blak-blakkan mendesak pemimpin G7 untuk menghentikan praktik monopoli dan diskriminasi terhadap ekspor komoditas dari negara-negara berkembang, termasuk yang mengatasnamakan lingkungan.
Jokowi juga menuntut kemitraan global yang setara dan inklusif, serta menolak sistem perdagangan global yang membatasi ekspor negara berkembang hanya sebatas bahan mentah.
“Setiap negara memiliki hak pembangunan dan hak mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan nilai tambah yang juga harus dihormati. Model era kolonialisme harus diakhiri,” seru Jokowi, seperti disampaikan oleh Menlu Retno L Marsudi (21/5).
Dalam draf komunike yang diterima Reuters sebelumnya, G7 menyampaikan komitmen untuk membantu negara-negara Selatan melunasi utang yang membuat mereka berada di level berbahaya di tengah pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina.
G7 menegaskan lagi komitmennya untuk menghimpun dana sampai 600 miliar Dollar AS (sekitar Rp7,96 quadriliun) untuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang, seperti jaringan kereta api, energi bersih, dan telekomunikasi.
Jokowi, menjelang keberangkatan ke KTT G7 di Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma (19/5) juga sudah “pasang ancang-ancang” untuk menyuarakan kelompok Global South di forum pertemuan puncak negara-negara industri terkemuka itu.
“Bukan negara-negara maju dan yang besar-besar saja, suara negara-negara berkembang juga harus didengarkan di Forum G7. Itu yang kita inginkan, “ ujarnya.
Sejumlah hasil KTT ke-42 ASEAN yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 10 – 11 Mei 2023, seperti upaya solusi krisis politik Myanmar, juga disampaikan di forum itu.
Jokowi, di sela-sela pertemuan-pertemuan di KTT G7 Hiroshima juga menemui Presiden Volodymyr Zelenskyy dan menawarkan upaya mediasi RI untuk mencari solusi konflik Rusia dan Ukraina.
Rusia sendiri sejauh ini bergeming terhadap tekanan dari Barat dan pertempuran di sejumlah lokasi di Ukaina terus berlanjut, walau Negara Beruang Merah itu juga mulai mengalami kesulitan ekonomi.
Sanksi ekonomi Barat mengakibatkan ekonomi Rusia terkontraksi 1,9 persen pada kuartal terakhir 2022 dan menurut Badan Energi Dunia, pematokan harga minyak oleh pihak Barat membuat pemasukan devisa Rusia dari hasil ekspor minyak anjlok sampai 43 persen.
Namun G7 menilai, sanksi untuk menyasar agar Rusia tidak mampu membiayai perang di Ukraina kurang efektif, karena sejumlah negara, misalnya India justru memanfaatkan impor minyak murah dari Rusia.
“Kesatuan langkah itu lah (terkait sanksi terhadap Rusia) yang agaknya ingin diupayakan para pemimpin G7, “ tutur pengamat Rusia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Washington Maria Snegovaya kepada the Economist.
Relasi dengan China
Terkait relasi dengan China, dalam komunike disebutkan G7 akan mengoordinasikan pendekatan baru untuk menjaga ketahanan dan keamanan ekonomi global berdasarkan diversifikasi dan pengurangan risiko, bukan dengan pemutusan hubungan.
Upaya untuk menciptakan hubungan konstruktif dan seimbang dengan mengurangi ketergantungan berlebihan serta menangkal praktik-praktik yang merusak terkait alih teknologi dan pengungkapan data juga dimuat dalam komunike KTT G7.
G7 tidak menafikan pentingnya kerja sama dengan China yang saat ini menempati kekuatan ekonomi global terbesar kedua dan juga memiliki kepentingan sama terkait isu perubahan iklim, pelestarian lingkungan, dan kesehatan global.
Kecemasan terhadap kebangkitan ekonomi China pada beberapa dekade terakhir ini tercermin dari butir komunike yang memosisikan Negara Tirai Bambu itu sebagai ancaman, sehingga untuk menangkalnya dituntut kekompakan G7.
Faktanya, berbeda dengan sikap keras AS, misalnya memblokir akses ekspor semi konduktor ke China, anggota G7 lain mencari keseimbangan antara memastikan upaya untuk menghambat dominasi China dan tetap menjaga pasar negara itu yang sangat menjanjikan.
Ungkapan bernada introspeksi juga dilontarkan oleh diplomat Jepang yang menilai negara-negara Barat (anggota G7) harus sadar, mereka sudah tertinggal dari China sejak dekade 1980-an dan gagal meyakinkan negara-negara miskin atau berkembang terkait manfaat hubungan ekonomi mereka.
Kabid Ekonomi dan Perdagangan China untuk ASEAN Li An di tempat terpisah menampik tudingan G7 dengan menyebutkan, tidak ada kebijakan atau aturan yang dibuat negaranya untuk mendominasi rantai pasok perdagangan global.
Li malah menyindir G7, di tengah perdagangan bebas ada pihak yang kalah atau menang, sehingga seharusnya direspons dengan memperkuat industri masing-masing agar lebih berdaya saing, bukan menyalahkan pihak lain.
Kepentingan nasional dan regional, secara alamiah memosisikan pihak lain sebagai kawan atau lawan, namun dengan membangun saling pengertian, diharapkan kerja sama saling menguntungkan demi kesejahteraan umat manusia bisa diwujudkan.
*) Penulis adalah mantan Wapemred Perum LKBN ANTARA.
Motto lawas “Tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada cuma kepentingan abadi” terbukti pada kilas balik sejarah, saat AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima yang meluluhlantakkan kota itu dan menewaskan 146 ribu penduduknya pada 6 Agustus 1945.
Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia II lalu membentuk Blok Poros (Axis) melawan AS dan sekutu-sekutunya (Prancis, Inggris, Kanada) yang kini seluruh pihak bernaung di bawah G7.
Dunia berputar dan bandul konstelasi geopolitik terus berayun. Kini kubu G7 berseberangan dengan Rusia dan China terkait rivalitas di bidang ekonomi atau dukung-mendukung terkait sengketa wilayah.
Dari 66 butir pernyataan akhir KTT ke-49 KTT G7 Hiroshima, antara lain dimuat dukungan tanpa batas waktu bagi Ukraina selama yang dibutuhkan untuk menghadapi agresi Rusia.
Presiden Ukraina Voldymyr Zelenskyy juga mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan langsung di hadapan para pemimpin G7 dalam sesi kerja di hari terakhir KTT, Minggu (21/5).
Zelenskyy, sebelum mengikuti KTT G7 juga melakukan roadshow mencari dukungan ke sejumlah negara Uni Eropa, seperti Jerman, Inggris dan Prancis, bahkan sebelumnya menghadiri KTT Liga Arab.
Upaya memperkokoh kerja sama dan mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka juga menjadi salah satu agenda bahasan KTT G7.
Mengenai program perlucutan senjata, G7 mendorong agenda untuk mewujudkan stabilitas dunia tanpa senjata nuklir, sedangkan di bidang ekonomi, dibahas ketangguhan G7 dari distorsi rantai pasok dan praktik nonpasar, serta tekanan ekonomi (dari China-red).
Terkait relasi dengan China, dalam komunike terakhir disebutkan, G7 akan mengoordinasikan pendekatan baru untuk menjaga ketahanan dan keamanan ekonomi global berdasarkan diversifikasi dan pengurangan risiko, bukan dengan pemutusan hubungan.
Di bidang Iklim dan Energi, dalam KTT ke-49 G7 2023 dibahas upaya untuk mendorong target nolemisi (net-zero emission) pada 2050, mengacu pada kesepakatan Pertemuan Paris (Conference of Parties – COP) 2015.
Ketujuh pemimpin G7, yakni PM Jepang Fumio Kishida (tuan rumah), Presiden AS Joe Biden, Kanselir Jerman Olaf Scholz, PM Inggris Rishi Sunak, PM Italia Georgia Meloni, PM Kanada Justin Trudaeu, Presiden Prancis Emannuel Macron, plus dua wakil Uni Eropa (Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Ketua Komisi UE Ursula von Leyen) hadir.
Selain Presiden Jokowi, kepala pemerintah non-G7 yang diundang di KTT ke-49 G7, PM Australia Anthoni Albenese, PM Kepulauan Cook Mark Brown, Presiden Brazil Inacio Lula da Silva, PM India Narendra Modi, Presiden Korea Selatan Yoon Seuk Yeol, Presiden Komoro Azali Assoumani, dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Suara dari Selatan
Yang menggembirakan, G7 yang dianggap “klub elite negara maju” memberikan kesempatan pada pemimpin Global South (Selatan) yang hadir untuk meyampaikan pandangannya.
Presiden Jokowi dalam sesi Outreach, Sabtu {21/5) secara blak-blakkan mendesak pemimpin G7 untuk menghentikan praktik monopoli dan diskriminasi terhadap ekspor komoditas dari negara-negara berkembang, termasuk yang mengatasnamakan lingkungan.
Jokowi juga menuntut kemitraan global yang setara dan inklusif, serta menolak sistem perdagangan global yang membatasi ekspor negara berkembang hanya sebatas bahan mentah.
“Setiap negara memiliki hak pembangunan dan hak mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan nilai tambah yang juga harus dihormati. Model era kolonialisme harus diakhiri,” seru Jokowi, seperti disampaikan oleh Menlu Retno L Marsudi (21/5).
Dalam draf komunike yang diterima Reuters sebelumnya, G7 menyampaikan komitmen untuk membantu negara-negara Selatan melunasi utang yang membuat mereka berada di level berbahaya di tengah pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina.
G7 menegaskan lagi komitmennya untuk menghimpun dana sampai 600 miliar Dollar AS (sekitar Rp7,96 quadriliun) untuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara berkembang, seperti jaringan kereta api, energi bersih, dan telekomunikasi.
Jokowi, menjelang keberangkatan ke KTT G7 di Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma (19/5) juga sudah “pasang ancang-ancang” untuk menyuarakan kelompok Global South di forum pertemuan puncak negara-negara industri terkemuka itu.
“Bukan negara-negara maju dan yang besar-besar saja, suara negara-negara berkembang juga harus didengarkan di Forum G7. Itu yang kita inginkan, “ ujarnya.
Sejumlah hasil KTT ke-42 ASEAN yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 10 – 11 Mei 2023, seperti upaya solusi krisis politik Myanmar, juga disampaikan di forum itu.
Jokowi, di sela-sela pertemuan-pertemuan di KTT G7 Hiroshima juga menemui Presiden Volodymyr Zelenskyy dan menawarkan upaya mediasi RI untuk mencari solusi konflik Rusia dan Ukraina.
Rusia sendiri sejauh ini bergeming terhadap tekanan dari Barat dan pertempuran di sejumlah lokasi di Ukaina terus berlanjut, walau Negara Beruang Merah itu juga mulai mengalami kesulitan ekonomi.
Sanksi ekonomi Barat mengakibatkan ekonomi Rusia terkontraksi 1,9 persen pada kuartal terakhir 2022 dan menurut Badan Energi Dunia, pematokan harga minyak oleh pihak Barat membuat pemasukan devisa Rusia dari hasil ekspor minyak anjlok sampai 43 persen.
Namun G7 menilai, sanksi untuk menyasar agar Rusia tidak mampu membiayai perang di Ukraina kurang efektif, karena sejumlah negara, misalnya India justru memanfaatkan impor minyak murah dari Rusia.
“Kesatuan langkah itu lah (terkait sanksi terhadap Rusia) yang agaknya ingin diupayakan para pemimpin G7, “ tutur pengamat Rusia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Washington Maria Snegovaya kepada the Economist.
Relasi dengan China
Terkait relasi dengan China, dalam komunike disebutkan G7 akan mengoordinasikan pendekatan baru untuk menjaga ketahanan dan keamanan ekonomi global berdasarkan diversifikasi dan pengurangan risiko, bukan dengan pemutusan hubungan.
Upaya untuk menciptakan hubungan konstruktif dan seimbang dengan mengurangi ketergantungan berlebihan serta menangkal praktik-praktik yang merusak terkait alih teknologi dan pengungkapan data juga dimuat dalam komunike KTT G7.
G7 tidak menafikan pentingnya kerja sama dengan China yang saat ini menempati kekuatan ekonomi global terbesar kedua dan juga memiliki kepentingan sama terkait isu perubahan iklim, pelestarian lingkungan, dan kesehatan global.
Kecemasan terhadap kebangkitan ekonomi China pada beberapa dekade terakhir ini tercermin dari butir komunike yang memosisikan Negara Tirai Bambu itu sebagai ancaman, sehingga untuk menangkalnya dituntut kekompakan G7.
Faktanya, berbeda dengan sikap keras AS, misalnya memblokir akses ekspor semi konduktor ke China, anggota G7 lain mencari keseimbangan antara memastikan upaya untuk menghambat dominasi China dan tetap menjaga pasar negara itu yang sangat menjanjikan.
Ungkapan bernada introspeksi juga dilontarkan oleh diplomat Jepang yang menilai negara-negara Barat (anggota G7) harus sadar, mereka sudah tertinggal dari China sejak dekade 1980-an dan gagal meyakinkan negara-negara miskin atau berkembang terkait manfaat hubungan ekonomi mereka.
Kabid Ekonomi dan Perdagangan China untuk ASEAN Li An di tempat terpisah menampik tudingan G7 dengan menyebutkan, tidak ada kebijakan atau aturan yang dibuat negaranya untuk mendominasi rantai pasok perdagangan global.
Li malah menyindir G7, di tengah perdagangan bebas ada pihak yang kalah atau menang, sehingga seharusnya direspons dengan memperkuat industri masing-masing agar lebih berdaya saing, bukan menyalahkan pihak lain.
Kepentingan nasional dan regional, secara alamiah memosisikan pihak lain sebagai kawan atau lawan, namun dengan membangun saling pengertian, diharapkan kerja sama saling menguntungkan demi kesejahteraan umat manusia bisa diwujudkan.
*) Penulis adalah mantan Wapemred Perum LKBN ANTARA.
Copyright © ANTARA 2023
Tags: