Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Agus Martowardojo menginginkan adanya studi kelayakan proyek Mass Rapid Transit yang memadai sebagai syarat kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta apabila ingin mendapatkan keringanan beban biaya pinjaman.

"Kita minta supaya DKI bisa menyusun ulang suatu kelayakan usaha yang tetap tentang MRT itu," ujarnya di Jakarta, Jumat.

Agus mengatakan studi kelayakan tersebut sangat penting karena dapat memberikan informasi bermanfaat terkait proyek MRT senilai Rp15,7 triliun itu, kepada pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta calon pengguna transportasi ini.

"Jadi bagaimana melakukan kelayakan usaha dengan kondisi terkini, kemampuan membayar calon pelanggan dan kemauan untuk membayar, semua harus masuk dalam studi itu," katanya.

Ia menjelaskan sebelumnya pernah dilakukan studi kelayakan sebagai salah satu syarat mendapatkan pembiayaan dari pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2005.

Namun, studi kelayakan tersebut dirasakan kurang relevan dengan kondisi terkini, apalagi menurut rencana proyek MRT akan dilanjutkan hingga halte Kampung Brandan-Kota serta adanya penambahan koridor barat-timur.

"Kalau seandainya MRT tidak sampai Hotel Indonesia tapi terus sampai kota, termasuk barat ke timur, kita mengharapkan ada studi kelayakan yang baik untuk dijadikan pegangan," ujar Agus.

Dengan adanya studi kelayakan tersebut, Agus mengatakan pemerintah tidak akan keberatan untuk menetapkan 49 persen hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 51 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman.

"Ini masih bentuk menaikkan komposisi yang ditanggung pemerintah pusat, tapi harus ditindaklanjuti dengan studi kelayakan yang baik," katanya.

Sebelumnya, skema beban biaya pinjaman dari JICA yang telah disepakati pada 2005, menetapkan 42 persen hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 58 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengajukan usulan skema pengurangan beban biaya baru, yaitu 40 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman dan 60 persen merupakan hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Hal tersebut dilakukan Jokowi, karena skema pembiayaan yang lama akan memberatkan anggaran subsidi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan membebani masyarakat pengguna transportasi massal dengan harga tiket yang tinggi.
(S034/Y006)