Artikel
Menjaga Pemilu 2024 dari cemaran politik identitas
Oleh Luqman Hakim
19 Mei 2023 23:40 WIB
Ilustrasi - Pedagang mendorong gerobak berisi buah melintas di depan sejumlah bendera partai politik nasional yang dipasang di jembatan Pantee Pirak, Kota Banda Aceh, Sabtu (23/3/2019). ANTARA FOTO/Ampelsa/foc/pri.
Yogyakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo berulang kali menekankan agar penyelenggaraan Pemilu 2024 bisa berlangsung sejuk.
Saat pembukaan Munas Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Solo, Jawa Tengah, pada 21 November 2022, Presiden berpesan kepada para kandidat capres-cawapres agar mampu menciptakan situasi Pemilu 2024 adem. Kalau pun tidak bisa, diupayakan agar situasi politik hangat, asal jangan sampai panas.
Pesan yang tak jauh berbeda kembali disampaikan Kepala Negara saat bertemu para ketua umum parpol pendukung pemerintah di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada awal Mei lalu.
Pada intinya, Pemilu 2024 diharapkan berlangsung dengan suasana sejuk, syukur-syukur bisa menjadi momen kegembiraan seluruh rakyat.
Keinginan Presiden tersebut tentu menjadi keinginan Bangsa Indonesia secara umum. Meski terdengar klise, penting menjadi perhatian bersama agar pengalaman Pemilu 2019, yang diwarnai dengan polarisasi sosial atau pembelahan masyarakat, tak berulang.
Eksploitasi identitas untuk propaganda politik atau disebut politik identitas menjadi "penyakit" utama yang kemunculan dan penularannya harus bisa dicegah bersama-sama.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, eksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memiliki daya rusak cukup kuat bagi persatuan dan kerukunan bangsa, bahkan terbukti memantik aksi kekerasan.
Aryojati Ardipandanto dalam jurnalnya yang berjudul "Dampak Politik Identitas pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme" menyebutkan populisme dengan politik identitas sangat kuat pengaruhnya dalam kampanye Pilpres 2019, yang mana hal itu dinilai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Saling sebut antarkubu dengan istilah "Cebong" dan "Kampret", pembenturan identitas religius dan sekuler, sampai pelabelan "Partai Allah" dan "Partai Setan" seperti pada pemilu yang lalu, perlu dikubur dalam-dalam sebagai sejarah kelam dan tak perlu dibangkitkan pada pesta demokrasi mendatang.
Karena itu, upaya mitigasi perlu disiapkan jauh sebelum masa kampanye Pemilu 2024 yang berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 bakal dimulai pada tanggal 28 November 2023.
Politik identitas masih akan digunakan
Praktik pembelahan masyarakat menggunakan instrumen politik identitas diramalkan sejumlah akademikus masih akan digunakan oleh buzzer politik di dunia maya.
Centre for Innovation Policy and Governance mendefinisikan buzzer atau pendengung sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan mengamplifikasi dengan cara menarik perhatian dan atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Instrumen politik identitas masih dipertahankan lantaran dianggap ampuh menggaet suara pemilih pada Pemilu 2019.
Berdasarkan pemantauan Drone Emprit pada 2022, perbincangan politik para pengguna media sosial belum mengarah pada minat adu gagasan atau program, melainkan masih bersifat menyerang pribadi atau personal tokoh berbekal isu SARA.
Drone Emprit merupakan sebuah sistem yang memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online berbasis mahadata atau bigdata dengan menggunakan keahlian artificial intelligence dan natural learning process (NLP).
Pakar teknologi AI sekaligus pencipta aplikasi Drone Emprit Ismail Fahmi memprediksi politik identitas masih banyak dipakai dalam konteks negatif untuk menyerang lawan.
Pasalnya, politik identitas dinilai tidak efektif mengambil hati pemilih jika sekadar digunakan untuk mempromosikan diri pasangan calon.
"Misalnya (mendeklarasikan) saya akan memperjuangkan kelompok ini atau kelompok itu. Itu justru akan mempersempit dirinya," ujar Ismail.
Mengacu hasil riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada pilkada di Yogyakarta tahun 2017, terpetakan tiga jenis strategi politik yaitu strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi meyakini semua pasangan calon masih akan menyiapkan strategi-strategi yang sama pada Pemilu 2024.
Kendati dipastikan strategi program bakal disiapkan, namun manakala strategi tersebut tak mampu memberikan keyakinan politik maka pasangan calon dimungkinkan menggunakan strategi politik identitas dengan merangkul dan memanfaatkan kelompok tertentu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menyebut politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda aksi aktivisme politik yang di dalamnya berisi anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, serta praktik yang menghegemoni.
Pelacakan literatur menemukan bahwa politik identitas lahir pada 1970-an di Amerika sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan.
Kala itu perempuan kulit hitam di Amerika yang menjadi warga kelas dua di bawah penindasan kulit putih memperjuangkan kesetaraan tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Namun, para ilmuwan di bidang politik menilai orientasi mengusung politik identitas telah mengalami perubahan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan bersama, politik identitas yang dibingkai dengan misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, serta peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain justru menjauhkan dari keadilan dan kesetaraan.
Politik identitas dianggap usang
Shafiq Pontoh, praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, tidak menampik bahwa politik identitas masih menjadi salah satu strategi yang berpeluang disiapkan oleh masing-masing kandidat.
Meski demikian, belum tentu strategi itu bakal digunakan pasangan calon karena masyarakat di tingkat lokal maupun global telah menganggap politik identitas sudah usang dan tidak lagi menarik.
"Dunia sudah beranjak ke arah kita hidup bersama di satu bumi atau istilah kerennya sekarang global citizen, masa kita masih mau mainan politik identitas," sindir Shafiq.
Perubahan pola konsumsi informasi dari sebelum pandemi ke pascapandemi telah memaksa masyarakat melek dan beraktivitas secara digital.
Selama dua tahun lebih, masyarakat mau tidak mau memanfaatkan teknologi sehingga terbentuk "generasi search" yang aktif dan mampu mencari kebenaran informasi di internet. Mereka tidak lagi mudah didoktrin, apalagi dicekoki hoaks.
Selain itu, hasil penelitian Provetic Indonesia pada jumlah percakapan maupun ketertarikan di media sosial menunjukkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia saat ini cenderung lebih berminat pada konten inspiratif termasuk tutorial ketimbang konten berbau ujaran kebencian atau kontroversi negatif.
Meski tidak ada definisi tunggal untuk menerjemahkan istilah politik identitas, instrumen politik itu tak cocok digunakan di negara yang plural seperti Indonesia.
Apa pun dalih pembenarnya, kadar mudarat yang ditimbulkan oleh politik identitas masih lebih besar dibandingkan maslahatnya.
Lagi pula, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah tegas melarang penggunaan instrumen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau politik identitas sebagai sarana atau alat menyosialisasikan atau mengampanyekan diri.
Editor: Achmad Zaenal M
Saat pembukaan Munas Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Solo, Jawa Tengah, pada 21 November 2022, Presiden berpesan kepada para kandidat capres-cawapres agar mampu menciptakan situasi Pemilu 2024 adem. Kalau pun tidak bisa, diupayakan agar situasi politik hangat, asal jangan sampai panas.
Pesan yang tak jauh berbeda kembali disampaikan Kepala Negara saat bertemu para ketua umum parpol pendukung pemerintah di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada awal Mei lalu.
Pada intinya, Pemilu 2024 diharapkan berlangsung dengan suasana sejuk, syukur-syukur bisa menjadi momen kegembiraan seluruh rakyat.
Keinginan Presiden tersebut tentu menjadi keinginan Bangsa Indonesia secara umum. Meski terdengar klise, penting menjadi perhatian bersama agar pengalaman Pemilu 2019, yang diwarnai dengan polarisasi sosial atau pembelahan masyarakat, tak berulang.
Eksploitasi identitas untuk propaganda politik atau disebut politik identitas menjadi "penyakit" utama yang kemunculan dan penularannya harus bisa dicegah bersama-sama.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, eksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memiliki daya rusak cukup kuat bagi persatuan dan kerukunan bangsa, bahkan terbukti memantik aksi kekerasan.
Aryojati Ardipandanto dalam jurnalnya yang berjudul "Dampak Politik Identitas pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme" menyebutkan populisme dengan politik identitas sangat kuat pengaruhnya dalam kampanye Pilpres 2019, yang mana hal itu dinilai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Saling sebut antarkubu dengan istilah "Cebong" dan "Kampret", pembenturan identitas religius dan sekuler, sampai pelabelan "Partai Allah" dan "Partai Setan" seperti pada pemilu yang lalu, perlu dikubur dalam-dalam sebagai sejarah kelam dan tak perlu dibangkitkan pada pesta demokrasi mendatang.
Karena itu, upaya mitigasi perlu disiapkan jauh sebelum masa kampanye Pemilu 2024 yang berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 bakal dimulai pada tanggal 28 November 2023.
Politik identitas masih akan digunakan
Praktik pembelahan masyarakat menggunakan instrumen politik identitas diramalkan sejumlah akademikus masih akan digunakan oleh buzzer politik di dunia maya.
Centre for Innovation Policy and Governance mendefinisikan buzzer atau pendengung sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan mengamplifikasi dengan cara menarik perhatian dan atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Instrumen politik identitas masih dipertahankan lantaran dianggap ampuh menggaet suara pemilih pada Pemilu 2019.
Berdasarkan pemantauan Drone Emprit pada 2022, perbincangan politik para pengguna media sosial belum mengarah pada minat adu gagasan atau program, melainkan masih bersifat menyerang pribadi atau personal tokoh berbekal isu SARA.
Drone Emprit merupakan sebuah sistem yang memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online berbasis mahadata atau bigdata dengan menggunakan keahlian artificial intelligence dan natural learning process (NLP).
Pakar teknologi AI sekaligus pencipta aplikasi Drone Emprit Ismail Fahmi memprediksi politik identitas masih banyak dipakai dalam konteks negatif untuk menyerang lawan.
Pasalnya, politik identitas dinilai tidak efektif mengambil hati pemilih jika sekadar digunakan untuk mempromosikan diri pasangan calon.
"Misalnya (mendeklarasikan) saya akan memperjuangkan kelompok ini atau kelompok itu. Itu justru akan mempersempit dirinya," ujar Ismail.
Mengacu hasil riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada pilkada di Yogyakarta tahun 2017, terpetakan tiga jenis strategi politik yaitu strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi meyakini semua pasangan calon masih akan menyiapkan strategi-strategi yang sama pada Pemilu 2024.
Kendati dipastikan strategi program bakal disiapkan, namun manakala strategi tersebut tak mampu memberikan keyakinan politik maka pasangan calon dimungkinkan menggunakan strategi politik identitas dengan merangkul dan memanfaatkan kelompok tertentu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menyebut politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda aksi aktivisme politik yang di dalamnya berisi anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, serta praktik yang menghegemoni.
Pelacakan literatur menemukan bahwa politik identitas lahir pada 1970-an di Amerika sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan.
Kala itu perempuan kulit hitam di Amerika yang menjadi warga kelas dua di bawah penindasan kulit putih memperjuangkan kesetaraan tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Namun, para ilmuwan di bidang politik menilai orientasi mengusung politik identitas telah mengalami perubahan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan bersama, politik identitas yang dibingkai dengan misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, serta peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain justru menjauhkan dari keadilan dan kesetaraan.
Politik identitas dianggap usang
Shafiq Pontoh, praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, tidak menampik bahwa politik identitas masih menjadi salah satu strategi yang berpeluang disiapkan oleh masing-masing kandidat.
Meski demikian, belum tentu strategi itu bakal digunakan pasangan calon karena masyarakat di tingkat lokal maupun global telah menganggap politik identitas sudah usang dan tidak lagi menarik.
"Dunia sudah beranjak ke arah kita hidup bersama di satu bumi atau istilah kerennya sekarang global citizen, masa kita masih mau mainan politik identitas," sindir Shafiq.
Perubahan pola konsumsi informasi dari sebelum pandemi ke pascapandemi telah memaksa masyarakat melek dan beraktivitas secara digital.
Selama dua tahun lebih, masyarakat mau tidak mau memanfaatkan teknologi sehingga terbentuk "generasi search" yang aktif dan mampu mencari kebenaran informasi di internet. Mereka tidak lagi mudah didoktrin, apalagi dicekoki hoaks.
Selain itu, hasil penelitian Provetic Indonesia pada jumlah percakapan maupun ketertarikan di media sosial menunjukkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia saat ini cenderung lebih berminat pada konten inspiratif termasuk tutorial ketimbang konten berbau ujaran kebencian atau kontroversi negatif.
Meski tidak ada definisi tunggal untuk menerjemahkan istilah politik identitas, instrumen politik itu tak cocok digunakan di negara yang plural seperti Indonesia.
Apa pun dalih pembenarnya, kadar mudarat yang ditimbulkan oleh politik identitas masih lebih besar dibandingkan maslahatnya.
Lagi pula, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah tegas melarang penggunaan instrumen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau politik identitas sebagai sarana atau alat menyosialisasikan atau mengampanyekan diri.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023
Tags: