"Perpres Nomor 7 tahun 2021 salah satu aksinya adalah untuk meningkatkan critical thinking di dalam lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai perkuliahan juga untuk mempromosikan agar mereka tidak gampang terpengaruh oleh paham-paham radikal terorisme," kata Andhika.
Oleh sebab itu, Andhika mengingatkan generasi muda agar berpikir terbuka terhadap segala macam perbedaan dan tidak cenderung eksklusif atau tertutup terhadap kemajemukan karena salah satu target dari terorisme adalah orang-orang yang berpikiran eksklusif.
Andhika menjelaskan saat ini terorisme secara global tidak melulu hanya ditopang oleh pemahaman yang keliru tentang agama, tetapi saat ini lebih kompleks.
"Isunya makin lama makin kompleks. Dulu kita lihat ekstremisme berbasis kekerasan itu dari sisi agama. Tetapi, sekarang berkembangnya bukan hanya dari sisi agama saja, tetapi rasial. Tidak lagi religiously motivated terorism, tetapi juga ada juga etnicly motivated terorism juga. Jadi memang terorisme secara global kalau saya lihat justru makin meluas," kata Andhika.
Andhika menyatakan di kawasan ASEAN memang masih fokus pada organisasi terorisme Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan Al-Qaeda. Namun, jika dilihat perkembangan sekarang di beberapa negara di ASEAN mulai muncul terorisme berbasis etnisitas. Namun demikian, terorisme berbasis etnik hingga kini belum berpengaruh terhadap Indonesia.
"Yang berbasis etnik mungkin tak berpengaruh terhadap Indonesia. Tetapi kejadian-kejadian yang ada di Timur Tengah, Asia Selatan itu mungkin yang berpengaruh terhadap jaringan secara di nasional," kata Andhika.
Baca juga: Indonesia-Australia bangun ketahanan masyarakat hadapi ekstremisme
Baca juga: Indonesia perkuat strategi atasi terorisme bersama di ASEAN