Ada penelitian linguistik di Amerika yang secara khusus menelaah karakteristik bahasa lisan. Sang linguis menganalisis ratusan jam pembicaraan dalam telepon.

Setelah ditulis, kata-kata yang diucapkan itu ternyata sebagian besar berupa beragam kata tugas alias partikel.

Kata tugas--berbeda dengan kelas kata yang lain seperti verba, nomina, ajektiva, adverbia--tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri. Kata tugas hanya punya arti gramatikal. Maksudnya: arti itu terbangun karena keterkaitannya dengan kata yang lain. Kata-kata seperti "dan", "ke", "karena" dan "dari" termasuk dalam kelas kata tugas.

Jumlah kata tugas dalam setiap bahasa bisa dibilang terbatas. Itu sebabnya kata tugas termasuk golongan kata tertutup, yang artinya tidak terbuka akan terbentuknya kata-kata baru sebagaimana nomina atau verba, yang setiap saat bisa tercipta.

Meskipun jumlahnya terbatas, penggunaan kata tugas dalam kalimat, terutama yang dilisankan, bisa sering bahkan sangat sering. Semakin sering kata tugas muncul dalam kalimat, bisa dipastikan bahwa kalimat itu tak bernas, tak efektif sebagai penyampai keterangan.

Selain ditandai oleh banyaknya pemakaian kata tugas, ragam lisan juga dicirikan oleh lemahnya struktur gramatika. Gramatika lisan sering menabrak rambu-rambu dalam gramatika tulis.

Bahasa pers dalam batas-batas tertentu tak bebas dari masuknya ragam lisan. Dalam ajang pembahasan preskriptif, masuknya ragam lisan dalam bahasa pers tentulah dianggap haram, kecuali kalau pengelola media massa bersangkutan memang sengaja menjadikan ragam lisan sebagai pilihan sadar gaya ungkapnya.

Meskipun media massa menggunakan ragam semi standar dalam pemakaian bahasanya, pemakaian bahasa lisan diusahakan dihindari.

Beberapa kalimat dalam ragam lisan boleh jadi tak mengganggu terjalinnya komunikasi. Namun, pers sebagai medium yang dituntut menggunakan bahasa kaum terpelajar, pemakaian ragam lisan bisa mencerminkan ketarterpelajaran media itu.

Contoh berikut ini merupakan kalimat ragam lisan yang muncul dalam berita yang diproduksi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyebaran informasi.

"Penerima kartu program beras miskin di Bali tidak semuanya berhak mendapat bantuan karena menyesuaikan dengan hasil musyawarah desa."

Kalimat yang berisi 18 kata itu mestinya oleh penyunting diubah menjadi bahasa tulis pers yang jelas maksudnya sehingga pembaca tidak bertanya-tanya mengenai arti yang terkandung di dalamnya.

Dalam kalimat di atas ada dua persoalan linguistik yang muncul. Pertama: pemisahan "penerima" dan "tidak semuanya" yang mestinya akan lebih mudah dipahami jika disatukan sebagai subjek kalimat.

Persoalan kedua: Siapa yang menyesuaikan dengan hasil musyawarah desa? Karena bahasa Indonesia menenggang pelesapan subjek pada kalimat majemuk setara, kalimat di atas mengandung makna bahwa yang menyesuaikan adalah "penerima kartu program beras miskin".

Jika demikian halnya, alangkah tidak logisnya makna yang dikandung kalimat itu. "Penerima kartu program beras miskin" bukanlah pihak yang memutuskan pembagian beras.

Tampak sekali bahwa kalimat pers di atas adalah sebentuk ragam lisan yang bisa diperbaiki menjadi ragam tulis untuk media massa tulis. Perbaikan itu bisa berupa kalimat berikut ini: "Tidak semua penerima kartu program beras miskin di Bali berhak mendapat bantuan karena terjadi penyesuaian hasil musyawarah desa."

Contoh lain kalimat yang disiarkan dalam sebuah pemberitaan mengenai penyakit hewan di Banten: "Penyakit yang disebabkan oleh parasit banyak menyerang ternak, baik di lokasi peternakan maupun yang dipelihara oleh masyarakat di Kabupaten Pandeglang, Banten."

Numeralia "banyak" dalam ragam standar diletakkan di depan nomina bukan verba seperti "banyak menyerang". Memang ragam lisan memberi makna "banyak" sebagai "amat", "sangat"lebih-lebih" sebagaimana diuraikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat di halaman 138.

Dengan demikian, kalimat di atas bisa disunting menjadi: "Penyakit yang disebabkan parasit menyerang banyak ternak di lokasi peternakan dan yang dipelihara warga di Pandeglang, Banten."

Kekhilafan awak pers memasukkan ragam lisan ke dalam kalimat berita hampir setiap hari bisa ditemukan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah pers yang berbahasa Indonesia juga mengalami kemerdekaan berekspresi sebagaimana yang dinikmati kaum pesajak? Mereka bebas berekspresi dengan membaurkan yang baku dan yang lisan?

Agaknya persoalannya lebih terletak pada kurangnya pemahaman tentang pembedaan struktur ragam lisan dan ragam tulis standar. Sebab, kenyataannya, pendalaman bahasa untuk media massa di kalangan awak pers di banyak perusahaan bidang informasi belum menjadi prioritas.

Di era ketika praktisi bahasa pers Slamet Djabarudi masih memberikan pencerahan pada calon pewarta, pengajaran bahasa jurnalistik dalam lembaga pers yang diampunya berlangsung secara intensif, selama sembilan bulan.

Dalam salah satu program pendidikan kewartawan yang didanai The Asia Foundation di Jakarta, Slamet dalam penagajarannya berulang kali menghadapkan calon wartawan dengan beragam kasus bahasa jurnalistik sepekan sekali selama sembilan bulan.

Hanya dengan metode semacam inilah setidaknya dilahirkan jurnalis yang memahami beragam persoalan bahasa jurnalistik.

Sejak The Asia Foundation menghentikan dukungannya, dan sepeninggal Slamet, bahasa Indonesia jurnalistik kembali dipahami hanya pada tataran esensinya saja.

Jurnalis hanya perlu paham bahwa esensi bahasa pers adalah hemat, lugas, jelas dan logis. Untuk sisi-sisi teknis dan pernak-perik linguistiknya dianggap sebagai substansi sampingan yang dipandang sebelah mata.(*)