Bamsoet: Penguatan MPR RI penting untuk antisipasi kedaruratan politik
15 Mei 2023 21:13 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (kiri) mengikuti proses wisuda program doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Senin (15/5/2023). ANTARA/HO-Dokumentasi Ketua MPR RI
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai fungsi dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat perlu kembali diperkuat untuk mengantisipasi kedaruratan politik atau konstitusi yang mungkin terjadi di Indonesia.
Bambang Soesatyo, yang populer dengan nama Bamsoet, menjelaskan penguatan itu di antaranya kembali menjadikan ketetapan MPR sebagai peraturan yang mengikat, karena setelah amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR tidak lagi dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengikat.
“Penguatan fungsi dan kewenangan MPR RI perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kedaruratan politik atau konstitusi di Indonesia. Selain untuk menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif, dan komprehensif agar Bangsa Indonesia selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik,” kata Bamsoet selepas dia diwisuda sebagai doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Senin.
Ketua MPR RI, sebagaimana dikutip dari siaran tertulisnya di Jakarta, menyampaikan, siapa pun tentu tidak menghendaki adanya krisis politik. Namun, antisipasi terhadap kemungkinan itu perlu ada.
Dia mencontohkan krisis politik itu misalnya ada kejadian darurat yang memaksa pemilihan umum (pemilu) tidak dapat digelar sesuai jadwal yaitu tiap 5 tahun sekali. Bamsoet menyampaikan Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebut pemilihan umum dapat ditunda apabila ada kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik," kata Bamsoet.
Dalam situasi itu, jika pemerintah hasil pemilu sebelumnya habis masa tugasnya (demisioner), maka kemungkinan akan ada kekosongan pemerintahan, sebut Ketua MPR RI.
“Kalau kepala daerah ada pelaksana tugas (plt), tetapi bagaimana dengan presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota MPR dan anggota DPD. Apakah disebut plt presiden, plt wakil presiden, plt anggota DPR, dan seterusnya. Krisis politik menjadi kenyataan tidak terhindarkan karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan pemilu,” kata Bambang Soesatyo.
Ketua MPR RI lanjut menyampaikan kedaruratan konstitusi juga dapat terjadi apabila ada kebuntuan politik antara lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Kedaruratan lainnya, dia menambahkan, apabila ada sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Hakim, menurut Bamsoet, tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
“Langkah antisipasi mengatasi krisis politik atau krisis konstitusi ini dengan cara mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik atau konstitusi antarlembaga negara atau antarcabang kekuasaan,” kata Bamsoet.
Bambang Soesatyo, yang populer dengan nama Bamsoet, menjelaskan penguatan itu di antaranya kembali menjadikan ketetapan MPR sebagai peraturan yang mengikat, karena setelah amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR tidak lagi dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengikat.
“Penguatan fungsi dan kewenangan MPR RI perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kedaruratan politik atau konstitusi di Indonesia. Selain untuk menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif, dan komprehensif agar Bangsa Indonesia selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik,” kata Bamsoet selepas dia diwisuda sebagai doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Senin.
Ketua MPR RI, sebagaimana dikutip dari siaran tertulisnya di Jakarta, menyampaikan, siapa pun tentu tidak menghendaki adanya krisis politik. Namun, antisipasi terhadap kemungkinan itu perlu ada.
Dia mencontohkan krisis politik itu misalnya ada kejadian darurat yang memaksa pemilihan umum (pemilu) tidak dapat digelar sesuai jadwal yaitu tiap 5 tahun sekali. Bamsoet menyampaikan Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebut pemilihan umum dapat ditunda apabila ada kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik," kata Bamsoet.
Dalam situasi itu, jika pemerintah hasil pemilu sebelumnya habis masa tugasnya (demisioner), maka kemungkinan akan ada kekosongan pemerintahan, sebut Ketua MPR RI.
“Kalau kepala daerah ada pelaksana tugas (plt), tetapi bagaimana dengan presiden, wakil presiden, anggota DPR, anggota MPR dan anggota DPD. Apakah disebut plt presiden, plt wakil presiden, plt anggota DPR, dan seterusnya. Krisis politik menjadi kenyataan tidak terhindarkan karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan pemilu,” kata Bambang Soesatyo.
Ketua MPR RI lanjut menyampaikan kedaruratan konstitusi juga dapat terjadi apabila ada kebuntuan politik antara lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Kedaruratan lainnya, dia menambahkan, apabila ada sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Hakim, menurut Bamsoet, tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
“Langkah antisipasi mengatasi krisis politik atau krisis konstitusi ini dengan cara mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik atau konstitusi antarlembaga negara atau antarcabang kekuasaan,” kata Bamsoet.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023
Tags: