Bamako (ANTARA News) - Pasukan Mali yang dibantu tentara Prancis hari Jumat merebut kembali Diabaly dan mengusir militan garis keras dari kota kedua itu, yang terletak sekitar 400 kilometer dari Bamako, kata beberapa sumber keamanan dan lokal.

"Diabaly bebas, militan telah pergi dan pasukan Mali serta Prancis memasuki kota itu," kata seorang anggota dewan kota setempat, lapor AFP.


Pernyataan wanita itu dikonfirmasi oleh satu sumber keamanan daerah.

Gerilyawan menguasai kota itu Senin bahkan ketika pangkalan-pangkalan mereka dibom oleh jet tempur Prancis.

Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan, kota di Mali ini merupakan "rumah bagi pasukan militan yang paling keras, paling fanatik, paling terorganisasi, paling ulet dan paling baik perlengkapannya".

Prancis juga memastikan Jumat bahwa pasukan Mali telah merebut kembali kota utama di wilayah tengah, Konna, dari militan bersenjata.

Kelompok-kelompok militan yang sejak April menguasai Mali utara bergerak pekan lalu ke arah selatan ke wilayah yang dikuasai pemerintah dan merebut Konna, sekitar 700 kilometer melalui jalan darat dari Bamako, ibu kota Mali, yang membuat Prancis segera melakukan intervensi.

Daerah Konna tidak bisa dijangkau oleh pengamat independen.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, Jumat pekan lalu meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara Mali, namun PBB masih berkeberatan dan memperingatkan bahwa penempatan itu mungkin baru bisa dilakukan September mendatang.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia.

Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)