Jakarta (ANTARA) - Pengacara Forum Kota atau Forum Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek (Forkot) 98 Saor Siagian mengharapkan Peristiwa 1998 yang terjadi 25 tahun lalu untuk menggulingkan rezim Orde Baru (Orba) Indonesia tidak akan terulang.

"Harapan kami, Indonesia tidak akan pernah ada kembali peristiwa 25 tahun lalu," ujar Saor dalam Diskusi Interaktif 25 Tahun Reformasi di Gedung Grha William Soeryadjaya UKI, Jakarta Timur, Jumat.

Adapun Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang muncul dari dampak krisis moneter itu ialah kerusuhan pada 13 Mei-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Hal ini kemudian berkembang menjadi Tragedi Trisakti di mana ada penembakan pada 12 Mei 1998 terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Presiden kedua RI Soeharto turun dari jabatannya.

Menurut Saor, refleksi 25 tahun pasca reformasi bukan untuk balik ke dalam sejarah Indonesia di masa lalu melainkan melihat sebuah tragedi yang dibayar oleh ribuan anak bangsa dengan nyawanya. Untuk itu, ia meminta melalui refleksi ini agar sejumlah kasus yang belum selesai dapat dituntaskan.

"Kita harap dengan mengenang supaya jangan sampai terulang kembali, tapi kita betul-betul apa yang menjadi agenda itu kita tuntaskan," tambahnya.

Ia tidak menampik bahwa peristiwa ini memang digerakkan oleh mahasiswa dan secara simbolik di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang, Jakarta Timur. Kendati demikian, tak hanya mahasiswa saja, ada pula rekan media dan lain sebagainya yang turut melakukan fungsi dan perannya masing-masing dalam meraih reformasi.

"Apa yang diharapkan Founding Fathers betul-betul Indonesia yang adil dan makmur. Itu semua tergantung kita semua, tidak ada bahwa pers lebih kecil atau lebih besar, tanpa ada pers kemudian berita ini tidak ada, penegak hukum tidak ada, para parlemen, petani dan semuanya melakukan fungsi dan peranannya. Itulah yang kita harapkan ada hasil dari reformasi 25 tahun lalu," tutur Saor.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam sedikitnya 12 peristiwa di masa lalu.

Hal itu disampaikan Presiden Jokowi setelah menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Presiden mengaku bahwa ia telah membaca secara seksama laporan dari Tim PPHAM tersebut, yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. " kata Jokowi.

Presiden juga menyatakan bahwa dirinya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM beratdalam 12 peristiwa masa lalu.

Ke-12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban," kata Jokowi.

Oleh karena itu, Kepala Negara menegaskan bahwa ia dan pemerintah berusaha untuk memulihkanhak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

"Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," kata Presiden.

Presiden juga mengaku telah menginstruksikan kepada Menko Polhukam agar mengawal upaya-upaya konkret pemerintah dalam memastikan dua hal tersebut bisa dilaksanakan dengan baik.

"Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa, guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," tutup Presiden.