Telaah
Ambisi Asia Tenggara mewujudkan masyarakat ASEAN
Presiden Joko Widodo (kelima kiri), Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kelima kanan), Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah (keempat kiri), Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr (keempat kanan), Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn (ketiga kanan), Presiden Asian Development Bank Masatsugu Asakawa (ketiga kiri), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri), Menteri Perekonomian Malaysia Moh Rafizi bin Ramli (kedua kanan), Menteri Keuangan Brunei Darussalam Awang Haji Mohd Amin Liew Abdullah (kiri) dan Ketua Mindanao Development Authority (MinDA) Maria Belen Sunga-Acosta (kanan) berfoto bersama sebelum memulai pertemuan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-AEGA) Ke-15 dalam KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Kamis (11/5/2023). POOL/ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Tekad membentuk masyarakat kawasan yang manunggal ini mirip dengan proses yang mendahului terbentuknya Uni Eropa pada 1993 ketika dua belas negara Eropa menandatangani Perjanjian Maastricht setelah bertahun-tahun berunding dalam rumah besar Masyarakat Ekonomi Eropa.
Perjanjian Maastricht yang ditandatangani pada 7 Februari 1992 oleh anggota-anggota Komunitas Eropa di Maastricht, Belanda, merupakan dasar bagi proses intregrasi politik dan ekonomi-moneter Uni Eropa menuju suatu masyarakat Eropa yang sejahtera dan damai.
Fakta kedua, organisasi kawasan ini menggunakan kata "community" atau "masyarakat" menunjukkan bahwa prakarsa itu dirintis dari dan untuk masyarakat kawasan, bukan untuk melanggengkan dominan satu anggota terhadap anggota lain seperti terjadi pada beberapa organisasi kawasan di luar Uni Eropa dan ASEAN.
Salah satu yang menarik di balik itu adalah cara ASEAN mewujudkan tekad tersebut, yakni senantiasa bergerak dalam spirit kolaborasi dan dialog, sekalipun kadang dihadapkan konflik yang pelik.
Berbeda dari Uni Eropa yang homogen dalam hampir semua hal, ASEAN lebih heterogen kendati ditautkan oleh akar sejarah dan sosial-budaya yang sama.
Jika Uni Eropa terdiri dari negara-negara demokrasi liberal bersistem multipartai, maka sistem politik yang dianut anggota-anggota ASEAN adalah berwarna-warni.
Ada yang bersistem multipartai seperti Indonesia dan Filipina yang boleh dibilang paling liberal di Asia Tenggara. Ada Laos dan Vietnam yang menerapkan sistem satu partai. Ada pula demokrasi multipartai yang kerap diusik militer, yakni Thailand dan Myanmar.
Militer Myanmar bahkan acap berlaku lebih sewenang-wenang dengan tak hanya membatalkan hasil sebuah pemilu demokratis, tapi juga mengkriminalisasi tokoh-tokoh sipil.
Karena sistem politik yang berbeda-beda ini, aspek-aspek bernegara lainnya pun memiliki pola dan karakter berbeda-beda, termasuk dalam bagaimana ekonomi nasional dikelola.
Ada anggota ASEAN yang sepenuhnya merangkul ekonomi pasar, tapi ada juga yang meniscayakan intervensi total negara.
ASEAN juga heterogen dari sudut agama yang dipeluk kebanyakan penduduknya dan ini berbeda dari Uni Eropa yang relatif homogen.
Indonesia, Malaysia dan Brunei menjadi tiga negara ASEAN berpenduduk mayoritas Muslim, sedangkan Myanmar, Thailand, Singapura dan negara-negara Indo-China kebanyakan beragama Budha. Filipina menjadi satu-satunya anggota ASEAN yang berpenduduk mayoritas Kristen.
Perbedaan-perbedaan ini membuat corak sistem dan tata cara kehidupan pun berbeda satu sama lain, yang dalam tahap tertentu membuat berbeda dalam memberi perlakuan terhadap masalah ekonomi, sosial budaya, dan politik-pertahanan .
Keadaan ini membuat ASEAN membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa seintegratif Uni Eropa, kendati tak henti menegaskan tekad menyatu dalam satu masyarakat politik, ekonomi dan sosial budaya.
Yang juga unik dari ASEAN adalah kebiasaannya dalam memajukan dialog dan kolaborasi sampai-sampai komunitas internasional meragukan efektivitas organisasi kawasan ini.
Tapi dengan cara itu ASEAN menjadi tidak mengenal badan atau otoritas supranasional yang kadang membatasi kewenangan nasional negara anggota seperti ditemui pada Uni Eropa.
Ini membuat anggota-anggota ASEAN nyaman karena tak ada wilayah kewenangan nasional mereka yang diintervensi terlalu dalam oleh badan kawasan.
Kian mendekat
Meskipun tak memiliki aspek pemaksa seperti ditemui di Uni Eropa, mekanisme kerja sama yang bisa disebut "cara ASEAN" ini membuat negara-negara Asia Tenggara tetap berusaha untuk kian mendekat satu sama lain.
Keinginan itu makin membesar karena tiadanya anggota yang berusaha mendominasi lainnya, termasuk Indonesia yang dalam hampir semua aspek adalah kekuatan yang seharusnya paling dominan dalam ASEAN.
Dari sudut ekonomi misalnya, Indonesia menghimpun sepertiga total Produk Domestik Bruto (PDB) ASEAN. Data yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) belum lama ini menunjukkan Indonesia memiliki PDB 1,391 triliun dolar AS atau sepertiga PDB ASEAN yang mencapai 3,942 triliun dolar AS.
ASEAN juga tak membuat anggota-anggotanya merasa menjadi vasal untuk yang lainnya.
Laos dan Myanmar yang berbatasan dengan China sehingga memiliki opsi untuk lebih terikat dengan raksasa Asia itu pun tetap memilih berada dalam rumah besar ASEAN.
Vietnam dan Thailand yang juga berbatasan dengan China, bahkan sejak lama menolak terkooptasi kepada raksasa ekonomi dunia itu, dengan alasan masing-masing.
Selain itu, negara-negara Asia Tenggara merasa nyaman dalam ASEAN karena rumah kawasan ini membebaskan anggotanya membina hubungan dengan siapa pun. ASEAN sendiri memiliki banyak platform kerja sama dengan kawasan lain, termasuk ASEAN Plus 3 bersama China, Jepang dan Korea Selatan dan banyak lagi.
Sikap lentur ASEAN ini membuatnya bisa bermain dalam segala medan walaupun lingkungan kawasan menjadi semakin pelik karena gesekan kepentingan yang kian sengit antara kekuatan-kekuatan besar seperti China dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara menyadari betul potensi besar pasar ekonominya.
Dengan total penduduk 678 juta orang dan luas wilayah 4,5 juta km persegi, ASEAN adalah pasar ekonomi yang besar nan menjanjikan.
ASEAN juga lebih padat dibandingkan dengan Uni Eropa yang berluas 4,2 juta km persegi dan berpenduduk 447 juta orang. Pun dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang berluas wilayah 2,56 km persegi dan berpenduduk 56 juta orang.
Ini membuat ASEAN kawasan yang lebih kompetitif kendati output ekonominya belum sebesar dua kawasan itu.
Jika ASEAN memiliki total PDB sebesar 3,942 triliun dolar AS, maka Uni Eropa memiliki PDB 15,9 triliun dolar AS dan GCC mencapai 6 triliun dolar AS.
Berbeda jauh memang, tetapi sisi baiknya fakta ini menunjukkan banyak hal yang bisa digali lebih dalam lagi oleh ASEAN dari kawasannya sendiri, terutama mengeksploitasi bonus demografis dan geografis yang dimilikinya.
Cuma, untuk bisa mengoptimalkan dua bonus itu, ASEAN membutuhkan perspektif tunggal agar bisa melangkah bersama demi menciptakan kebaikan bersama dan menyeluruh.
Dibandingkan dengan Uni Eropa atau GCC, ASEAN memang lebih heterogen, termasuk dalam bagaimana anggota-anggotanya mengelola ekonomi dan tatanan politiknya masing-masing.
Padahal, homogenitas menjadi faktor plus yang bisa mempercepat proses integrasi kawasan. Sebaliknya, heterogenitas kadang menjadi ganjalan untuk lahirnya prakarsa-prakarsa kolektif nan progresif, seperti 'mata uang bersama' di Uni Eropa.
Meskipun begitu, dalam beberapa hal, heterogenitas kadang menjadi faktor unik yang bisa menjadi kekuatan, paling tidak sejak didirikan pada 8 Agustus 1967, ASEAN tetap kokoh dan relevan sehingga menjadi mitra-mitra dialog dan kerjasama multi-spektrum bagi banyak negara atau organisasi regional dan internasional.
Semoga keberbedaan ini bukan kendala, melainkan kelebihan yang justru bisa mendorong ASEAN mewujud menjadi masyarakat kawasan yang manunggal dan integratif.
Copyright © ANTARA 2023