Lebih dari 5.500 orang masih hilang akibat banjir Kongo
9 Mei 2023 19:51 WIB
Warga Kongo bereaksi setelah kematian anggota keluarga mereka setelah hujan menghancurkan bangunan dan memaksa pekerja bantuan untuk mengumpulkan mayat yang terbungkus lumpur di Desa Nyamukubi, Kalehe, Kivu Selatan, Republik Demokratik Kongo, 6 Mei 2023. (REUTERS/Stringer/as)
Kalehe (ANTARA) - Lebih dari 5.500 orang masih hilang di daerah timur Republik Demokratik Kongo yang pekan lalu dilanda banjir dan merenggut lebih dari 400 nyawa manusia, kata pejabat setempat pada Selasa.
Banyak mayat ditemukan di Desa Bushushu dan Desa Nyamukubi di wilayah Kalehe di Provinsi Kivu Selatan yang dilanda tanah longsor dan banjir bandang Kamis pekan lalu.
Kuburan-kuburan massal digali akhir pekan lalu untuk mengubur jasad-jasad yang ditemukan yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Tindakan ini memicu protes dari kelompok masyarakat sipil yang menganggap penguburan dengan cara itu tidak menghargai martabat para korban.
Petugas Palang Merah menyoroti kurangnya pasokan dan peralatan untuk membantu lebih dari 8.800 warga yang terdampak yang kebanyakan kehilangan rumah dan mengalami trauma oleh salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah Kongo itu.
Administratur Kalehe Thomas Bakenga Zirimwabagabo mengatakan sudah 411 mayat ditemukan dan sedikitnya 5.525 orang masih hilang.
Baca juga: Korban tewas akibat banjir di Kongo jadi 401 orang
Sebuah delegasi pemerintah tiba di wilayah tersebut Senin sore kemarin dan diharapkan membawa makanan dan tenda untuk korban selamat.
Banyak korban tinggal bersama kerabatnya atau dalam bangunan-bangunan pemerintah yang masih utuh. Ini membuat gedung-gedung itu disesaki manusia.
Pejabat-pejabat pemerintah telah meminta petugas kemanusiaan untuk menghentikan penguburan massal dan menunggu peti jenazah dikirim ke wilayah itu.
Banjir kali ini adalah bencana besar-besaran terbaru di Afrika yang menguakkan kerentanan sejumlah negara akibat perencanaan kota yang buruk dan infrastruktur yang lemah melawan dampak perubahan iklim.
Bencana tersebut memicu seruan bagi sistem reaksi cepat yang lebih baik, apalagi suhu yang memanas menaikkan intensitas dan frekuensi hujan di Afrika, kata dewan pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca juga: Kasus demam berdarah Krimea-Kongo ditemukan di Senegal
Sumber: Reuters
Banyak mayat ditemukan di Desa Bushushu dan Desa Nyamukubi di wilayah Kalehe di Provinsi Kivu Selatan yang dilanda tanah longsor dan banjir bandang Kamis pekan lalu.
Kuburan-kuburan massal digali akhir pekan lalu untuk mengubur jasad-jasad yang ditemukan yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Tindakan ini memicu protes dari kelompok masyarakat sipil yang menganggap penguburan dengan cara itu tidak menghargai martabat para korban.
Petugas Palang Merah menyoroti kurangnya pasokan dan peralatan untuk membantu lebih dari 8.800 warga yang terdampak yang kebanyakan kehilangan rumah dan mengalami trauma oleh salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah Kongo itu.
Administratur Kalehe Thomas Bakenga Zirimwabagabo mengatakan sudah 411 mayat ditemukan dan sedikitnya 5.525 orang masih hilang.
Baca juga: Korban tewas akibat banjir di Kongo jadi 401 orang
Sebuah delegasi pemerintah tiba di wilayah tersebut Senin sore kemarin dan diharapkan membawa makanan dan tenda untuk korban selamat.
Banyak korban tinggal bersama kerabatnya atau dalam bangunan-bangunan pemerintah yang masih utuh. Ini membuat gedung-gedung itu disesaki manusia.
Pejabat-pejabat pemerintah telah meminta petugas kemanusiaan untuk menghentikan penguburan massal dan menunggu peti jenazah dikirim ke wilayah itu.
Banjir kali ini adalah bencana besar-besaran terbaru di Afrika yang menguakkan kerentanan sejumlah negara akibat perencanaan kota yang buruk dan infrastruktur yang lemah melawan dampak perubahan iklim.
Bencana tersebut memicu seruan bagi sistem reaksi cepat yang lebih baik, apalagi suhu yang memanas menaikkan intensitas dan frekuensi hujan di Afrika, kata dewan pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca juga: Kasus demam berdarah Krimea-Kongo ditemukan di Senegal
Sumber: Reuters
Penerjemah: Raka Adji
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023
Tags: