LSM di Aceh tak setuju larangan perempuan "mengangkang"
9 Januari 2013 20:23 WIB
Seorang wanita duduk di sepeda motor seperti halnya pria, saat melintas di depan Mesjid Agung Islamic Centre Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Senin (7/1). (FOTO ANTARA/Rahmad)
Banda Aceh (ANTARA News) - Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh meminta Pemerintah Kota Lhokseumawe meninjau ulang larangan duduk "mengangkang" saat berboncengan di atas sepeda motor.
"Hasil survei yang kami lakukan mayoritas warga menolak seruan yang dikeluarkan Wali kota Lhokseumawe itu, duduk `ngangkang` bagi kaum perempuan itu semata-mata hanya untuk kenyamanan apalagi kalau perjalanan jauh," kata Kepala Divisi Analisis dan Kajian The Aceh Institute TM Jafar Sulaiman di Banda Aceh, Rabu.
Menurut dia, jika Pemerintah Kota Lhokseumawe ingin mencegah kemaksiatan, sebaiknya diterapkan qanun tentang bermesraan bukan muhrim di tempat umum (ikhtilad) dan meningkatkan pendidikan keagamaan di kalangan masyarakat.
"Tidak semua duduk `ngangkang` untuk melakukan maksiat di atas kenderaan bermotor. Sebaliknya, banyak kaum perempuan duduk `ngangkang` hanya untuk kenyamanan saat melakukan perjalanan," katanya.
TM Jafar Sulaiman mengatakan, peraturan larangan duduk "mengangkang" bagi pembonceng kendaraan motor dikhawatirkan akan membuat masyarakat tertekan apalagi tidak dikaji secara sosiologis.
Alasan Pemkot Lhokseumawe mengeluarkan seruan larangan ngangkang tersebut untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-hari.
Seruan yang ditandangani Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua DPR Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua MPU Kota Lhokseumawe Drs Tgk H Asnawi Abdullah, Ketua MAA Kota Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman pada 2 Januari 2013 juga sebagai upaya Pemerintah Kota mencegah maksiat.
Dalam seruan itu meminta agar perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
Selanjutnya di atas kendaraan baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
(KR-IRW/S023)
"Hasil survei yang kami lakukan mayoritas warga menolak seruan yang dikeluarkan Wali kota Lhokseumawe itu, duduk `ngangkang` bagi kaum perempuan itu semata-mata hanya untuk kenyamanan apalagi kalau perjalanan jauh," kata Kepala Divisi Analisis dan Kajian The Aceh Institute TM Jafar Sulaiman di Banda Aceh, Rabu.
Menurut dia, jika Pemerintah Kota Lhokseumawe ingin mencegah kemaksiatan, sebaiknya diterapkan qanun tentang bermesraan bukan muhrim di tempat umum (ikhtilad) dan meningkatkan pendidikan keagamaan di kalangan masyarakat.
"Tidak semua duduk `ngangkang` untuk melakukan maksiat di atas kenderaan bermotor. Sebaliknya, banyak kaum perempuan duduk `ngangkang` hanya untuk kenyamanan saat melakukan perjalanan," katanya.
TM Jafar Sulaiman mengatakan, peraturan larangan duduk "mengangkang" bagi pembonceng kendaraan motor dikhawatirkan akan membuat masyarakat tertekan apalagi tidak dikaji secara sosiologis.
Alasan Pemkot Lhokseumawe mengeluarkan seruan larangan ngangkang tersebut untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-hari.
Seruan yang ditandangani Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua DPR Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua MPU Kota Lhokseumawe Drs Tgk H Asnawi Abdullah, Ketua MAA Kota Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman pada 2 Januari 2013 juga sebagai upaya Pemerintah Kota mencegah maksiat.
Dalam seruan itu meminta agar perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
Selanjutnya di atas kendaraan baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
(KR-IRW/S023)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013
Tags: