IDAI sebut pasien thalasemia saat ini didominasi usia remaja
5 Mei 2023 18:46 WIB
Tangkapan layar Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (5/5/2023). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membeberkan bahwa saat ini pasien yang menderita penyakit thalasemia didominasi oleh usia remaja yang sedang memasuki fase pubertas.
“Kalau dari data RSCM terbanyak saat ini adalah di usia pubertas atau sekitar 14-15 tahun. Jadi sekarang sedikit (pasiennya) tapi lama-lama karena kita bagus menatalaksanakanya, trennya jadi bergeser,” kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Teni menuturkan kondisi tersebut berbeda dari beberapa tahun lalu, dimana pasien thalasemia banyak ditemukan pada anak dengan usia sekitar 10 tahun. Tentunya selain bergeser ke usia remaja, tren orang dewasa yang terkena penyakit itu juga berkurang.
Kemudian terkait dengan sebaran pasien thalasemia pada 2020, menurut dia, jumlah pasien thalasemia di Indonesia mencapai 10.550 orang, tertinggi di Jawa Barat.
Walaupun penanganan thalasemia di lapangan dinilai sudah lebih maju, Teni menilai hal yang patut dikhawatirkan adalah lahirnya anak-anak thalasemia mayor lainnya.
Ia mengatakan dengan sekitar 200 juta penduduk Indonesia dan terjadinya 20 kelahiran per mil serta anggapan lima persen dari masyarakat sebagai pembawa sifat thalasemia, maka potensi bayi yang lahir dengan thalasemia mayor bisa mencapai 2.500 jiwa per tahun.
Baca juga: Kemenkes perkirakan 2.500 bayi lahir dengan talasemia per tahun
“Kenapa hitungannya Kemenkes cuma 11 ribu? Bisa saja anak-anak ini tidak terdeteksi, sehingga ditata laksana sebagai penyakit lain atau memang mungkin sudah meninggal duluan, misalnya karena tidak ditata laksana. Itu yang memang jumlahnya ini tidak sejalan dengan apa yang diperhitungkan,” katanya.
Thalasemia, lanjutnya, dapat merugikan tumbuh kembang anak karena anemia dan gangguan jantung akibat zat besi yang terus menumpuk hingga kematian.
Oleh karena itu melalui Peringatan Hari Thalasemia Sedunia Tahun 2023 yang mengambil tema “Be Aware, Share, Care: Strengthening Education to Bridge the Thalassemia Care Gap” yang diperingati pada 8 Mei 2023 itu, Teni mengajak agar masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kesehatan dengan melakukan skrining thalasemia sebelum melangsungkan pernikahan.
Hari Thalasemia Sedunia itu, kata dia, perlu dijadikan momentum untuk memperkuat sosialisasi dan edukasi agar kesenjangan dalam penanganan penyakit tersebut bisa berkurang.
Ia berharap masyarakat semakin mengenali gejala ataupun komplikasi thalasemia, sehingga kepatuhan pasien meningkat dalam melakukan transfusi dan minum obat rutin.
“Perlu diingat bahwa thalasemia bukan penyakit menular walaupun dia merupakan penyakit genetik. Ingat pembawa sifat thalasemia minor itu tidak bergejala dan hanya bisa terdeteksi dari skrining di laboratorium. Mari kita putuskan rantai penurunan thalasemia ini,” ujarnya.
Baca juga: Upaya bersama memutus mata rantai Thalasemia
Baca juga: Kasus thalasemia meningkat karena minim pemahaman
“Kalau dari data RSCM terbanyak saat ini adalah di usia pubertas atau sekitar 14-15 tahun. Jadi sekarang sedikit (pasiennya) tapi lama-lama karena kita bagus menatalaksanakanya, trennya jadi bergeser,” kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Teni menuturkan kondisi tersebut berbeda dari beberapa tahun lalu, dimana pasien thalasemia banyak ditemukan pada anak dengan usia sekitar 10 tahun. Tentunya selain bergeser ke usia remaja, tren orang dewasa yang terkena penyakit itu juga berkurang.
Kemudian terkait dengan sebaran pasien thalasemia pada 2020, menurut dia, jumlah pasien thalasemia di Indonesia mencapai 10.550 orang, tertinggi di Jawa Barat.
Walaupun penanganan thalasemia di lapangan dinilai sudah lebih maju, Teni menilai hal yang patut dikhawatirkan adalah lahirnya anak-anak thalasemia mayor lainnya.
Ia mengatakan dengan sekitar 200 juta penduduk Indonesia dan terjadinya 20 kelahiran per mil serta anggapan lima persen dari masyarakat sebagai pembawa sifat thalasemia, maka potensi bayi yang lahir dengan thalasemia mayor bisa mencapai 2.500 jiwa per tahun.
Baca juga: Kemenkes perkirakan 2.500 bayi lahir dengan talasemia per tahun
“Kenapa hitungannya Kemenkes cuma 11 ribu? Bisa saja anak-anak ini tidak terdeteksi, sehingga ditata laksana sebagai penyakit lain atau memang mungkin sudah meninggal duluan, misalnya karena tidak ditata laksana. Itu yang memang jumlahnya ini tidak sejalan dengan apa yang diperhitungkan,” katanya.
Thalasemia, lanjutnya, dapat merugikan tumbuh kembang anak karena anemia dan gangguan jantung akibat zat besi yang terus menumpuk hingga kematian.
Oleh karena itu melalui Peringatan Hari Thalasemia Sedunia Tahun 2023 yang mengambil tema “Be Aware, Share, Care: Strengthening Education to Bridge the Thalassemia Care Gap” yang diperingati pada 8 Mei 2023 itu, Teni mengajak agar masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kesehatan dengan melakukan skrining thalasemia sebelum melangsungkan pernikahan.
Hari Thalasemia Sedunia itu, kata dia, perlu dijadikan momentum untuk memperkuat sosialisasi dan edukasi agar kesenjangan dalam penanganan penyakit tersebut bisa berkurang.
Ia berharap masyarakat semakin mengenali gejala ataupun komplikasi thalasemia, sehingga kepatuhan pasien meningkat dalam melakukan transfusi dan minum obat rutin.
“Perlu diingat bahwa thalasemia bukan penyakit menular walaupun dia merupakan penyakit genetik. Ingat pembawa sifat thalasemia minor itu tidak bergejala dan hanya bisa terdeteksi dari skrining di laboratorium. Mari kita putuskan rantai penurunan thalasemia ini,” ujarnya.
Baca juga: Upaya bersama memutus mata rantai Thalasemia
Baca juga: Kasus thalasemia meningkat karena minim pemahaman
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023
Tags: