Jakarta (ANTARA) - Mampu bertahan dalam jagat hiburan industri musik selama 20 tahun, grup musik MALIQ & D’Essentials mencermati segala perkembangan teknologi dan bagaimana kelompok sixtet tersebut beradaptasi melewati masa transisi zaman, termasuk perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

"Belakangan ini gue sempat baca di sebuah artikel bahwa penyebab bubarnya Daft Punk adalah AI. Begitu robotnya mereka tapi ternyata sangat manusiawi. Perkembangan teknologi adalah sebuah hal yang nggak boleh dihindari," kata drummer MALIQ, Widi Puradiredja di Jakarta, Kamis (4/5).

Berkarier selama 20 tahun, MALIQ yang beranggotakan Angga Puradiredja (vokal), Rivani Indriya Suwendi (vokal), Dendy Sukarno "Jawa" (bass), Widi Puradiredja (drums), Arya Aditya Ramadhya "Lale" (gitar), dan Ilman Ibrahim (keyboard) itu sudah melewati berbagai macam transisi teknologi hingga detik ini.

Baca juga: Putra BURGERKILL anggap AI bantu pekerja seni dan industri kreatif

Widi menjelaskan bahwa MALIQ muncul pada era analog sekaligus saat media sosial belum berkembang secara masif. Ia akui bahwa MALIQ sempat memiliki sedikit keterlambatan beradaptasi pada era digital, namun tetap dapat menyusul dan menyesuaikan secara perlahan.

"Gue rasa MALiQ akan bisa adaptif selama tidak melunturkan kekuatan kami. Itu yang sebenarnya bahaya karena terbawa suasana lantas identitas band jadi berubah. Makanya, kekuatan MALIQ selama ini adalah live performance, salah satunya lewat konser 20 tahun nanti," terangnya.

MALIQ memang tengah bersiap untuk merayakan hari jadi ke-20 lewat sebuah konser tunggal perdana yang akan berlangsung pada Minggu, 14 Mei 2023 di Hall B3 dan C3 JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat.

Lebih lanjut Widi menjelaskan bahwa kelompok musiknya memilih sikap untuk siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi dalam industri hiburan dengan tetap memiliki pendekatan yang sesuai dengan karakter MALIQ.

"Jadi mau AI, AX, AZ, kami siap adaptif dengan itu. Kami sudah pernah coba produksi rekaman ikuti teknologi, ternyata sedikit mengubah identitas MALIQ. Makanya sekarang kami justru balik full analog, semua manusia, ketidaksempurnaan justru yang kami cari. Kami berusaha se-organik mungkin," jelasnya.

Baca juga: Perangi musik AI, YouTube hapus album lancung Travis Scott

Menyikapi kecenderungan saat ini ketika banyak suara penyanyi atau materi lagu yang dikreasikan dengan mesin generatif AI, MALIQ mengaku bahwa mereka memiliki tim legal yang mengurusi segala macam hak cipta dan lainnya.

Keriuhan, kata Widi, merupakan sesuatu hal yang lumrah muncul akibat perkembangan generatif AI dalam dunia musik. Meski demikian ia meyakini bahwa setiap permasalahan pasti memiliki solusi dan hal terpenting yang dibutuhkan saat ini adalah etika.

"Karena digital ini kan rimba yang setiap tahun ada saja isu baru. Sempat ramai masalah hak royalti, padahal itu isu konvensional puluhan tahun. AI bawa isu bahwa ada bentuk karya baru, mungkin di kontrak sekarang belum ada. Etika yang dibutuhkan bahwa kalau mau menggunakan karya untuk keuntungan pribadi tidak bisa sembarangan, mesti izin juga," tutur Widi menutup cerita.

Baca juga: Jelita rilis single dan MV buatan AI bertajuk "Gentle Blues"