PBB: FAO laporkan "dakwaan menyakitkan" gagal akhiri kelaparan dunia
4 Mei 2023 07:08 WIB
Arsip foto - Seorang pekerja FAO membawa sekarung biji-bijan sementara puluhan orang menunggu dengan sabar untuk membawa pulang satu karung di Bangui, Republik Afrika Tengah, 14 Juli 2021. ANTARA/Xinhua/Louis Denga.
Roma (ANTARA) - Sebuah laporan baru tentang kerawanan pangan global adalah "dakwaan yang menyakitkan" atas kegagalan umat manusia untuk mengakhiri kelaparan, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Sekitar 258 juta orang di 58 negara menghadapi "kerawanan pangan akut pada krisis atau tingkat yang lebih buruk" pada tahun 2022, menurut "Laporan Global tentang Krisis Pangan" terbaru, yang dirilis Rabu (3/5/2023) oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Angka ini naik dari 193 juta orang di 53 negara setahun sebelumnya.
Jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan parah juga meningkat selama empat tahun berturut-turut, kata laporan itu.
Baca juga: FAO menyerukan perlindungan hutan global
“Lebih dari seperempat miliar orang sekarang menghadapi tingkat kelaparan akut, dan beberapa berada di ambang kelaparan. Itu tidak masuk akal,” tulis Guterres dalam kata pengantar laporan tersebut.
"Edisi ketujuh dari Laporan Global tentang Krisis Pangan ini merupakan dakwaan yang menyakitkan atas kegagalan umat manusia untuk membuat kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi untuk semua."
FAO mengatakan guncangan ekonomi telah melampaui konflik sebagai pendorong global utama di balik kerawanan pangan dan malnutrisi yang parah. "Guncangan ekonomi global kumulatif" yang berkontribusi pada ketahanan pangan termasuk kenaikan harga pangan dan gangguan pasar, kata laporan itu.
Namun demikian, FAO menemukan bahwa konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina telah berdampak buruk pada ketahanan pangan global, sebagian karena kontribusi signifikan yang secara tradisional diberikan kedua negara pada produksi komoditas pangan utama termasuk gandum, jagung, dan minyak bunga matahari.
Cuaca ekstrem juga merupakan pendorong utama kerawanan pangan global, menurut laporan tersebut.
Negara-negara yang paling terpukul di dunia dikelompokkan di Asia Tengah, Afrika, dan Timur Tengah. Lebih dari 40 persen populasi global yang menderita kerawanan pangan yang signifikan hanya ada di lima negara Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Nigeria, dan Yaman.
Di tujuh negara, populasi menderita dari apa yang disebut FAO sebagai "kelaparan dan kemelaratan, atau tingkat bencana kelaparan akut" - tingkat kerawanan pangan yang paling parah - dengan lebih dari separuh di Somalia saja. Negara lain yang memiliki populasi dalam kategori tersebut adalah Afghanistan, Burkina Faso, Haiti, Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman. Haiti muncul di daftar ini untuk pertama kalinya, kata FAO.
Menurut proyeksi tahun 2023 yang tersedia untuk 38 dari 58 negara, sebanyak 153 juta orang akan menderita "kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau lebih buruk" tahun ini.
Baca juga: Harga pangan dunia capai rekor tertinggi di 2022 meski Desember turun
Sekitar 258 juta orang di 58 negara menghadapi "kerawanan pangan akut pada krisis atau tingkat yang lebih buruk" pada tahun 2022, menurut "Laporan Global tentang Krisis Pangan" terbaru, yang dirilis Rabu (3/5/2023) oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Angka ini naik dari 193 juta orang di 53 negara setahun sebelumnya.
Jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan parah juga meningkat selama empat tahun berturut-turut, kata laporan itu.
Baca juga: FAO menyerukan perlindungan hutan global
“Lebih dari seperempat miliar orang sekarang menghadapi tingkat kelaparan akut, dan beberapa berada di ambang kelaparan. Itu tidak masuk akal,” tulis Guterres dalam kata pengantar laporan tersebut.
"Edisi ketujuh dari Laporan Global tentang Krisis Pangan ini merupakan dakwaan yang menyakitkan atas kegagalan umat manusia untuk membuat kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi untuk semua."
FAO mengatakan guncangan ekonomi telah melampaui konflik sebagai pendorong global utama di balik kerawanan pangan dan malnutrisi yang parah. "Guncangan ekonomi global kumulatif" yang berkontribusi pada ketahanan pangan termasuk kenaikan harga pangan dan gangguan pasar, kata laporan itu.
Namun demikian, FAO menemukan bahwa konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina telah berdampak buruk pada ketahanan pangan global, sebagian karena kontribusi signifikan yang secara tradisional diberikan kedua negara pada produksi komoditas pangan utama termasuk gandum, jagung, dan minyak bunga matahari.
Cuaca ekstrem juga merupakan pendorong utama kerawanan pangan global, menurut laporan tersebut.
Negara-negara yang paling terpukul di dunia dikelompokkan di Asia Tengah, Afrika, dan Timur Tengah. Lebih dari 40 persen populasi global yang menderita kerawanan pangan yang signifikan hanya ada di lima negara Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Nigeria, dan Yaman.
Di tujuh negara, populasi menderita dari apa yang disebut FAO sebagai "kelaparan dan kemelaratan, atau tingkat bencana kelaparan akut" - tingkat kerawanan pangan yang paling parah - dengan lebih dari separuh di Somalia saja. Negara lain yang memiliki populasi dalam kategori tersebut adalah Afghanistan, Burkina Faso, Haiti, Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman. Haiti muncul di daftar ini untuk pertama kalinya, kata FAO.
Menurut proyeksi tahun 2023 yang tersedia untuk 38 dari 58 negara, sebanyak 153 juta orang akan menderita "kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau lebih buruk" tahun ini.
Baca juga: Harga pangan dunia capai rekor tertinggi di 2022 meski Desember turun
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023
Tags: