Jakarta (ANTARA) - Sudah banyak kabar yang disiarkan beragam gerai pemberitaan di berbagai belahan dunia mengenai rencana Ukraina melakukan serangan balik terhadap pihak Rusia yang menduduki wilayahnya.

Di Amerika Serikat, CNN dalam situs resminya dalam artikel bertajuk "As Ukraine prepares counteroffensive, Russia appears in disarray" pada 2 Mei menyebutkan bahwa lini depan pasukan Ukraina sudah dipenuhi dengan pergerakan kendaraan dan serangan artileri.

Ukraina disebutkan sedang mengincar target vital milik pasukan Rusia di berbagai wilayah Ukraina yang sedang diduduki Rusia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, masih dalam artikel tersebut, meyakinkan bahwa serangan balik pasti akan terjadi, tetapi tidak menyebutkan kapan tanggal dimulainya serangan balik tersebut.

Sedangkan di pihak Rusia, CNN menuliskan bahwa terdapat indikasi ketidaksiapan Rusia dalam menghadapi serangan balik tersebut, seperti pemecatan wakil menteri pertahanan bidang logistik.

Menurut CNN, dengan memindahkan jabatan kunci pejabatnya saat tentara mereka akan menghadapi serangan balik Ukraina, ini menandakan sedang terjadi kekacauan di internal pemerintah Rusia.

Kesimpulan dalam artikel tersebut bahwa saat-saat Ukraina akan melakukan serangan balik sudah semakin dekat, sedangkan perpecahan di internal pemerintah Rusia terus berkembang.

Adapun media dari Jerman, Deutsches Welle (DW), dalam artikel "Ukraine's counteroffensive: Goals, opportunities, risks" (yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke Inggris) pada 1 Mei, mengungkapkan mengapa pihak Ukraina masih dalam kondisi menunggu untuk melakukan serangan balik.

Sejumlah faktor yang terungkap, antara lain, adalah persenjataan dari pihak negara-negara Barat belum semuanya telah dikirimkan ke Ukraina.

Selain itu, pihak Ukraina juga disebut masih mengoordinasikan dan mencoba beragam formasi dalam melakukan serangan besar, bahkan melalui simulasi komputer.

Tidak bisa dilupakan juga adalah faktor kondisi cuaca yang saat ini masih belum optimal, seperti hujan yang kerap menghambat pergerakan peralatan militer berat.

Sementara itu, mengenai arah dari serangan balik Ukraina juga masih menjadi rahasia yang tersimpan erat. Beberapa pihak, menurut DW, menyatakan serangan balik kemungkinan akan dilakukan melalui daerah Zaporizhzhia di Ukraina selatan dengan tujuan menuju Semenanjung Krimea, yang dicaplok Rusia sejak 2014.

DW juga mengingatkan bahwa serangan balik dari Ukraina kemungkinan tidak akan segera menghentikan konflik antara Rusia dan Ukraina. Bahkan, sejumlah pejabat di Ukraina memperkirakan akan terjadi perang yang sangat panjang yang tidak akan berakhir hanya dengan serangan balik semata.


Serangan darat besar

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ukraina Oleskii Reznikov pada Jumat (28/4) juga menyatakan bahwa pihaknya siap melancarkan serangan darat besar untuk mengambil wilayah yang saat ini diduduki Rusia.

Reznikov juga menyatakan bahwa pihaknya dalam kesiapan tinggi dan berbagai bentuk persenjataan modern akan menjadi "kepalan besi" untuk melakukan serangan balik tersebut.

Salah satu strategi yang telah diungkap Ukraina adalah merusak logistik Rusia sebagai salah satu elemen untuk mempersiapkan serangan balik, setelah kebakaran menghancurkan depot besar bahan bakar minyak Rusia di Krimea.

Meski tidak secara langsung mengakui bahwa pihaknya menyerang fasilitas penyimpanan BBM di kota pelabuhan Sevastopol di Krimea, komando militer Ukraina menyatakan bahwa "kebakaran" telah menghancurkan 10 tangki minyak dengan kapasitas sekitar 40.000 ton.

Juru bicara komando selatan Ukraina, Natalia Humeniuk, sebagaimana dikutip Reuters, menyatakan bahwa kebakaran itu telah menyebabkan banyak "kecemasan" di jajaran militer Rusia.

"Pekerjaan ini adalah persiapan untuk melakukan serangan luas berskala penuh, yang diharapkan setiap orang," kata Humeniuk dalam wawancara televisi nasional pada Minggu (30/4).

Di lain pihak, Rusia juga tidak tinggal diam dalam menghadapi potensi serangan balik itu.

Kantor berita Reuters pada 1 Mei menyebutkan bahwa Rusia telah meluncurkan rudal ke Ukraina di Pavlohrad, sebuah kota di Ukraina timur, menewaskan dua orang warga sipil serta merusak puluhan rumah dan bangunan lainnya.

Presiden Zelenskyy menyatakan bahwa serangan rudal dari "teroris" itu tidak hanya membuat dua nyawa warganya melayang, tetapi juga menyebabkan sekitar 40 orang terluka, termasuk wanita dan anak-anak.

Serangan terhadap Kota Pavlohrad itu dilaporkan Reuters merupakan gelombang kedua dari serangan rudal Rusia dalam tiga hari terakhir, dengan Moskow tampaknya kembali menggunakan taktik melakukan serangan jarak jauh saat Ukraina bersiap melakukan serangan balik.

Terkait serangan tersebut, pernyataan dari Kementerian Pertahanan Rusia menyebutkan bahwa pasukannya menggunakan rudal jarak jauh berpresisi tinggi dengan menargetkan "fasilitas industri-militer Ukraina".

Menurut pernyataan tersebut, target dari serangan berhasil tercapai karena pekerjaan membuat amunisi, senjata dan peralatan militer untuk tentara Ukraina menjadi terhambat.


Bercermin PD II

Sebenarnya, waktu memulai serangan pada bulan Mei atau awal Juni merupakan saat yang dapat dianggap efektif, antara lain bila mengacu kepada sejumlah pertempuran dari Perang Dunia Kedua (PD II).

Contohnya, adalah Pertempuran Prancis yang terjadi pada 10 Mei hingga 25 Juni 1940, yang mana pihak Nazi Jerman melakukan serangan cepat dan menaklukkan Luksemburg, Belanda, Belgia, serta akhirnya dapat menundukkan Prancis.

Dengan mengandalkan taktik Blitzkrieg atau "serangan kilat", Nazi melakukan serangan dengan tank panzer yang bergerak cepat dengan artileri, infanteri, dan pesawat tempur dengan tujuan mengelilingi musuh sehingga pihak lawan dapat dihancurkan atau menyerah.

Menurut situs english-heritage.org.uk, elemen kunci dari Blitzkrieg adalah disorientasi sehingga pihak lawan tidak sempat mereorganisasi dan melakukan serangan balik.

Selain itu, peralatan komunikasi Jerman yang superior--bahkan unit terkecil pada saat itu dilengkapi dengan radio--, sedangkan komunikasi dari pihak Prancis saat itu tidak memadai, dengan banyak tank Prancis yang tidak memiliki radio, dan instruksi antara kelompok infanteri biasanya dilakukan melalui sambungan telepon berkabel atau melalui verbal.

Meski jumlah tank yang dimiliki Prancis lebih banyak dan berbobot lebih besar, tank Jerman yang lebih ringan dengan jumlah kru yang lebih banyak dan terlatih, membuat serangan Jerman jauh lebih efektif dibandingkan dengan Prancis.

Belum lagi dengan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) saat itu yang merupakan AU paling berpengalaman, terlatih, dengan jumlah pesawat yang jauh lebih banyak daripada pesawat negara-negara Sekutu di Eropa. Pada tahun itu, Amerika Serikat masih belum terlibat dalam PD II.

Contoh lainnya dari serangan efektif pada Mei/Juni dalam PD II, tentu saja adalah Pertempuran Normandia yang terkemuka, pada 6 Juni-30 Agustus 1944. Saat itu, pasukan gabungan Sekutu yang dipimpin AS-Inggris melakukan pendaratan di Pantai Normandia di Prancis Utara hingga akhirnya dapat membebaskan Paris.

Berbeda dengan Pertempuran Prancis, pihak Sekutu, yang saat ini telah diperkuat AS, beberapa bulan sebelumnya melakukan pengeboman strategis terhadap berbagai jembatan, pusat perkeretaapian, serta halaman langsir, kompleks banyak jalur kereta untuk memindahkan atau menyusun rangkaian kereta api.

Pengeboman berbagai lokasi sektor transportasi strategis di Prancis itu terbukti efektif karena membatasi respons militer Jerman dalam invasi yang dilakukan pihak Sekutu yang dimulai dari Pertempuran Normandia pada Juni 1944.

Selain itu, pihak Sekutu melakukan berbagai operasi untuk melakukan tipu muslihat dengan menyebarluaskan rencana palsu penyerangan sehingga Jerman tidak bisa menentukan di lokasi mana tepatnya Sekutu akan menyerang.

Faktor kecanggihan teknologi--seperti Pelabuhan Murbei atau pelabuhan portabel sementara--, serta berbagai latihan dengan penuh kerahasiaan juga membuat pihak Sekutu akhirnya berhasil membebaskan Prancis.


Kegagalan akibat penundaan

Bulan Mei atau awal Juni memang waktu yang tepat memulai serangan karena merupakan masa transisi antara musim semi dan panas. Salah satu kegagalan akibat penundaan melakukan serangan pada Mei atau awal Juni dapat dilihat dari Operasi Barbarossa, yaitu serangan Jerman ke Uni Soviet pada 22 Juni-7 Januari 1942.

Awalnya, Operasi Barbarossa akan dijalankan pada 15 Mei, tetapi berbagai alasan membuatnya tertunda seperti ketidakpastian situasi setelah serangan Jerman ke Yugoslavia dan Yunani di saat yang sama, perlu kesiapan dari pihak negara Poros seperti Rumania dan Finlandia untuk berpartisipasi dalam serangan itu, serta masih adanya kondisi banjir dampak dari musim dingin yang basah beberapa bulan sebelumnya.

Wartawan perang AS pada saat itu, William Shirer, menyatakan bahwa penundaan Operasi Barbarossa selama beberapa pekan itu mengacaukan rencana serangan tersebut, sedangkan banyak sejarawan menilai bahwa penyerangan yang baru dimulai pada 22 Juni membuat serangan Jerman tidak akan bisa sampai Moskow pada September atau sebelum musim gugur/dingin.

Belajar dari berbagai pertempuran di ajang PD II, memang akan lebih efektif bila Ukraina juga melakukan serangan balik yang dimulai pada Mei atau awal Juni.

Namun, perlu diingat pula bahwa perpanjangan konflik juga akan mengakibatkan makin banyak korban jiwa berjatuhan, padahal berbagai pihak juga sedang mengutamakan perdamaian.

Masih segar dalam ingatan tentang pemberitaan beberapa waktu lalu mengenai komunikasi yang dilakukan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan Presiden China Xi Jinping, yang kala itu China menyatakan akan mengirimkan utusan khusus ke Ukraina untuk proses perdamaian.

Selain itu, Paus Fransiskus kepada wartawan dalam penerbangan dari Hongaria pada Minggu (30/4) menyatakan bahwa Vatikan saat ini sedang terlibat dalam sebuah misi perdamaian yang berupaya untuk menghentikan konflik antara Rusia dan Ukraina.

Paus mengemukakan bahwa dia telah membahas situasi di Ukraina dengan Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban dan Uskup Metropolit Hilarion, seorang perwakilan Gereja Ortodoks Rusia di Budapest.

Sangat disayangkan bila proses perdamaian yang sedang diusahakan dan diupayakan oleh berbagai pihak berpotensi akan dikesampingkan dengan makin banyak pertempuran yang bakal kian banyak pula menelan korban jiwa.

Perlu diingat bahwa pada saat ini, kondisi ketegangan juga muncul di berbagai tempat lainnya, seperti Sudan dan kawasan perairan di Laut China Selatan hingga Taiwan dan Semenanjung Korea.

Dunia sesungguhnya tidak perlu menciptakan ketegangan yang dapat memicu Perang Dunia Ketiga.


Editor: Achmad Zaenal M