Kota Bogor (ANTARA) - Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO Biotrop) memandang isu penanggulangan faktor kehilangan biodiversitas atau keanekaragaman hayati (biodiversity lost) di dunia termasuk Asia Tenggara sangat penting dibahas dalam KTT ASEAN 2023 untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi kawasan.

Direktur SEAMEO Biotrop Dr Zulhamsyah Imran kepada ANTARA, Minggu, mengatakan sesuai dengan isu lingkungan yang telah Indonesia gaungkan pada G20 di Bali beberapa waktu lalu, juga perlu penguatan kepada negara-negara tetangga di Asia Tenggara pada KTT ASEAN 2023 untuk mencapai epicentrum of growth.

KTT ke-42 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akan diselenggarakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 9-11 Mei 2023.

"Kalau kita perhatikan, Indonesia pada saat presidensi G20 pada puncaknya di Bali, memang berbagai macam kegiatan dilakukan pemerintah Indonesia saat itu, termasuk soal lingkungan. Salah satu isu lingkungan yang dibahas saat di Bali adalah ekosistem mangrove di Bali dengan berbagai macam biodiversity-nya," kata Dr Zulhamsyah.

Baca juga: Akademisi: KTT ASEAN momen untuk realisasikan capaian G20

Artinya, kata dia, kalau dalam G20 itu adalah negara-negara yang sudah sangat berkembang dan maju, saat ini Indonesia bergerak di KTT ASEAN yang paling tidak ada 11 negara dan 10 di antaranya anggota ASEAN kurang Timur Leste.

Meskipun demikian, Timor Leste sudah menjadi anggota SEAMEO yang juga merupakan organisasi menteri-menteri pendidikan di setiap negara ASEAN.

"Kalau kita perhatikan konteks Biotrop sebagai senter yang ada di Asia Tenggara yang fokusnya pada tropikal biologi, Biotrop menjadi sentral dan strategis dalam memainkan peran penting, kalau kita bicara Epicentrum of growth atau integrasi atau sentralisasi pertumbuhan di Asia Tenggara sebagai negara yang memang sedang tidak semua masuk ke dalam kelompok negara maju, tapi masih ada negara berkembang," kata dia.

Menurutnya, dalam hal isu yang penting pada KTT ASEAN 2023, jika ditarik soal tropikal biologi, bahwa salah salah satu isu menarik yang perlu diekspos di samping penelusuran isu lain adalah "biodiversity lost" atau hilangnya biodiversitas tropis di Asia Tenggara.

Faktor kehilangan biodiversitas akan sangat berdampak pada ketahanan pangan dan energi di negara-negara ASEAN yang kaya akan keberagaman tumbuhan, hewan darat dan laut.

Hal ini, kata dia, hanya bisa ditanggulangi oleh konektifitas antara perawatan biodiversitas di darat dan laut yang akan mempengaruhi udara dan kembali ke darat dan laut.

"Kita tahu bahwa semua negara ASEAN itu termasuk Timur Leste meskipun belum masuk anggota, itu ada di daerah yang tropis. Nah itulah yang perlu kita angkat mengenai biodiversity lost," jelasnya.

Baca juga: Dekan UP: Pariwisata ASEAN bisa saling terkoneksi

Di samping itu, kata Dr Zulhamsyah, isu lain yang menarik di KTT ASEAN di samping energi, ialah "climate change" atau perubahan iklim.

"Climate change ini kan sekarang bukan cuma soal global warming tetapi menjadi climate crisis itu yang menjadi topik aktual," kata dia.

Dr Zulhamsyah memaparkan, kalau bicara soal kehilangan biodiversitas, faktor alam yang paling berpengaruh, paling tidak saat ini ada dua. Yang pertama krisis iklim atau climate crisis, yang kedua karena ASEAN adalah negara bertetangga, ini adalah invasif krisis atau asing invasif akan menentukan apakah biodiversitas akan berkelanjutan atau tidak.

Menurut CBD-UNEP, definisi Jenis asing invasif/alien invasive species adalah spesies yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat aslinya, yang mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya, yang kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia, pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik.

Artinya bahwa dalam hal krisis iklim, lanjutnya, sebenarnya secara tidak sadar, naiknya suhu udara berdampak pada suhu yang ada di permukaan bumi, termasuk nanti pada hutan hujan tropis dan bahkan kalau diperhatikan wilayah Asia Tengara dan dunia sebanyak 75 persen air dikuasi oleh laut.

Baca juga: DPR ingin pembangunan ekonomi selaras dengan pelestarian biodiversitas

Ketika emisi karbon tidak bisa tertangkap, tidak bisa tersimpan, tidak tinggal dalam wilayah hutan hujan tropis, kemudian dengan beberapa ekosistem, termasuk ekosistem pesisir, laut dan mangrove dan maka suhu permukaan laut akan meningkat.

"Peningkatan 1 derajat pun akan berdampak pada ekosistem maupun biodiversitas yang ada, apakah itu mangrove, laut, maupun terumbu karang," katanya.