Jakarta (ANTARA) - Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah bergulir. April 2023 menandai genap 10 bulan tahapan Pemilu 2024 dimulai, sejak diluncurkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 14 Juni 2022.

Di balik lika-liku menuju hari raya demokrasi segenap masyarakat Indonesia itu, terdapat satu topik yang tidak bisa dipandang sebelah mata, yakni menyoal urgensi keterwakilan perempuan dalam ranah politik di negeri ini.

Executive Director Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan upaya mendorong keterwakilan perempuan dalam politik sudah dilakukan sejak lama dan masih perlu diupayakan hingga kini.

Menyambut Pemilu 2024, topik keterwakilan perempuan masih menjadi pembicaraan oleh pegiat kesetaraan gender maupun pengamat pemilu Tanah Air. Lantas, mengapa hal ini penting dan bagaimana sebetulnya wajah keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia?

Urgensi perempuan dalam politik

Dorongan peningkatan keterwakilan perempuan dalam ranah politik di Tanah Air telah diatur oleh undang-undang. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.

Pengaturan lebih lanjut, dalam Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Selain itu, negara juga menerapkan zipper system yang diatur dalam Pasal 246 ayat (2) bahwa di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.

Klausul kebijakan afirmasi gender di atas seyogianya bukan retorika semata. Menurut Khoirunnisa, kehadiran perempuan dalam politik dapat memunculkan politik ide dan politik yang transformatif. Melalui perempuan, kebijakan-kebijakan yang pro-gender bisa diwujudkan. Hal itu, kata Khoirunnisa, karena perempuan memiliki pengalaman khas yang tidak dirasakan oleh laki-laki.

Sebelumnya, Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Rizka Antika juga mengatakan hal senada. Dia mengutarakan bahwa diversitas dalam ranah politik berada pada posisi sentral.

Kehadiran perempuan di meja-meja pengambilan keputusan diyakini dapat menekan agenda hegemoni maskulinitas dalam ruang politik. Karena itu, perempuan perlu dilibatkan menjadi pengambil keputusan yang bukan hanya menjadi perwakilan deskriptif, melainkan juga substantif.

Lebih jauh, peneliti Banten Institute for Governance Studies Imron Wasi dalam bukunya Politik, Partai Politik, dan Perempuan: Frontstage dan Backstage (2020), menjelaskan bahwa kehadiran perempuan dalam ranah pengambilan keputusan berguna untuk mengatasi kesenjangan akses, hak, dan peran perempuan. Artinya, perempuan dalam politik menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut menekankan pentingnya partisipasi dan kesetaraan kesempatan bagi perempuan dalam bidang politik melalui Sustainable Development Goals (SDGs). Dari 17 goals dalam tujuan pembangunan berkelanjutan itu, PBB menempatkan kesetaraan gender pada tujuan kelima.

PBB mendorong partisipasi penuh dan efektif, serta kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat. Hal itu dilihat dari dua indikator, yakni proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional dan pemerintahan daerah, serta proporsi perempuan dalam posisi manajerial.


Tren keterwakilan perempuan

Apabila ditarik ke belakang, angka keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di parlemen, menunjukkan tren yang positif. Dinukil dari Badan Pusat Statistik, jumlah perempuan yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersifat fluktuatif, tetapi cenderung mengalami peningkatan.

Pada 1955, saat kali pertama pemilu dilakukan, perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI hanya berjumlah 16 orang (5,88 persen). Berikutnya, pada Pemilu 1971 dan 1977 jumlah perempuan anggota parlemen terus meningkat, yakni masing-masing 31 orang (6,74 persen) dan 37 orang (8,04 persen).

Angka tersebut terus naik. Pemilu 1982 mencatat, sebanyak 42 orang (9,13 persen) perempuan berhasil mendapat kursi parlemen. Lima tahun setelahnya, keterwakilan perempuan di DPR pada Pemilu 1987 naik hingga 59 orang (11,80 persen).

Sampai pada Pemilu 1992, ada 62 orang (12,40 persen) anggota dewan yang perempuan. Meski sempat menurun pada Pemilu 1997 dan 1999, jumlahnya kembali naik pada Pemilu 2004 yang mencapai angka 65 orang (11,82 persen).

Keterwakilan perempuan terus naik pada Pemilu 2009. Ketika itu, perempuan di parlemen mencapai angka yang cukup signifikan, yakni 100 orang (17,86 persen). Akan tetapi, angka itu tidak berhasil dipertahankan pada Pemilu 2014 yang turun menjadi 97 orang (17,32 persen).

Sementara itu, Pemilu 2019 diketahui menjadi capaian perempuan tertinggi sepanjang sejarah dilaksanakannya pemilu di Indonesia. Pada tahun itu, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen adalah sebanyak 120 orang (20,87 persen).

Tren keterwakilan perempuan yang menanjak naik itu tentu merupakan capaian yang membanggakan. Hal ini berarti demokrasi Indonesia senantiasa bergerak menuju ke arah yang kian baik.

Namun, masih ada pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab banyak pihak. Apabila ditilik persentasenya, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Indonesia belum pernah mencapai 30 persen—sebagaimana diatur dalam kebijakan afirmatif.

Selaku Executive Director Perludem, Khoirunnisa menyebutkan ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan keterwakilan perempuan, di antaranya mengenai undang-undang yang saat ini diberlakukan.

Kebijakan afirmatif yang tertuang dalam UU Pemilu, menurut Khoirunnisa, belum sepenuhnya menjamin keterwakilan perempuan. Karena itu, dia mendorong adanya peraturan yang lebih progresif, seperti dengan memberikan ketentuan sanksi kepada partai politik yang tidak memenuhi kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan.

Selain itu, penempatan nomor urut perempuan calon juga memiliki pengaruh. Dari data yang ditemukan di lapangan, ujar Khoirunnisa, 60 persen calon yang terpilih merupakan calon dengan nomor urut 1. Sementara perempuan calon jarang ditempatkan pada nomor urut puncak saat pemilu. Dari sana, menurut dia, perlu adanya peraturan mengenai penempatan nomor urut ini.

Upaya yang tidak kalah penting adalah dorongan dari partai politik. Sebagai gerbang keterlibatan perempuan, partai politik perlu lebih memberikan akses dan pendampingan yang setara terhadap perempuan. Mulai dari peningkatan kapasitas kader perempuan, hingga melibatkan perempuan pada posisi-posisi strategis.

Kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan diharapkan tidak berakhir menjadi seremonial pemenuhan syarat pemilu. Sebab, sejatinya ada alasan mendasar mengapa perempuan perlu hadir dan berdaya dalam ruang politik.

Pada akhirnya, keterwakilan perempuan di ranah politik Indonesia perlu senantiasa dikawal demi menjaga dan menciptakan demokrasi yang inklusif.


EditoR: Achmad Zaenal M