Pekalongan (ANTARA) - Momentum Syawalan menjadi bagian tak terlewatkan dari tradisi masyarakat Indonesia yang merayakan Idul Fitri. Tradisi itu menjadi wadah menyambung tali silaturahmi, tak terkecuali bagi masyarakat Kelurahan Krapyak, Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Masyarakat Kelurahan Krapyak memiliki tradisi Syawalan yang unik, yaitu memotong lopis raksasa yang diselenggarakan sepekan setelah Lebaran atau tepatnya tanggal 8 Syawal.

Pada Festival Lopis 2023 ini, ada dua lopis raksasa dengan berat 1.830 kilogram gram, berdiameter 250 sentimeter, dan tinggi 223 sentimeter yang dibuat oleh warga Krapyak Kidul Gang 8.

Demikian pula, warga Krapyak Lor Gang 1 juga tidak mau kalah untuk menyambut perayaan Syawalan 1444 Hijriah dengan membuat lopis berukuran 2.125 kilogram.

Antusias masyarakat, baik dari warga Kota Pekalongan maupun daerah lain, untuk berkunjung ke lokasi festival lopis raksasa di Kelurahan Krapyak sangat tinggi. Mereka datang untuk sekadar mencicipi makanan yang terbuat dari campuran beras ketan dan kelapa itu.

Lopis ini diyakini masyarakat sebagai simbol persatuan karena teksturnya yang lengket dan saling menyatu. Tidak sekadar menawarkan lopis saja, Warga Krapyak juga menyuguhkan sejumlah makanan ringan dan minuman secara gratis pada warga yang datang bertamu.

Syawalan yang jatuh pada 8 Syawal merupakan hari yang istimewa dan selalu ditunggu-tunggu oleh warga. Pasalnya, hari itu merupakan hari berkumpulnya ribuan warga untuk bisa silaturahim dan saling berkunjung untuk menikmati segala hidangan yang disediakan secara gratis.

Hal paling menarik dalam pelaksanaan tradisi ini adalah dibuatnya lopis raksasa. Setelah acara doa bersama, lopis raksasa itu dipotong oleh kepala daerah untuk dibagikan kepada para pengunjung yang hadir di lokasi itu.

Para pengunjung biasanya berebut untuk mendapatkan lopis tersebut yang maksudnya untuk mendapat berkah. Namun demikian, para tokoh agama berpesan pada masyarakat agar tidak terjebak pada perilaku syirik.

Setelah pembagian lopis selesai, biasanya para pengunjung menghabiskan waktu hingga sore untuk berkunjung ke objek wisata terdekat, yaitu Pantai Slamaran Indah dan Pantai Pasir Kencana, untuk berlibur bersama keluarga sekadar menikmati kesegaran udara pantai atau menikmati meriahnya hiburan gratis yang telah dipersiapkan masyarakat Krapyak.

Tradisi Syawalan dengan penyelenggaraan pemotongan lopis raksasa ini menyedot ribuan orang, sehingga berdampak positif dengan sektor pariwisata.


Sejarah tradisi

Tradisi Syawalan dengan pembuatan lopis itu, sebagaimana dikatakan oleh tokoh masyarakar setempat KH Zaenuddin, orang yang pertama kali memelopori Syawalan adalah KH Abdullah Sirodj, ulama Krapyak yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram).

Pada awalnya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal. Puasa itu, kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar Krapyak dan Pekalongan pada umumnya, sehingga meski hari raya Lebaran, mereka tidak bersilaturahmi untuk menghormati yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal.

Baru pada hari ke-8 Syawal, suasana Lebaran benar-benar terasa.

KH Abdullah Sirodj memilih lopis sebagai simbol Syawalan di Pekalongan karena terbuat dari beras ketan yang memiliki daya rekat yang kuat, yang menyimbolkan persatuan.

Suatu ketika, Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang Monumen) pada tahun 1950 berpesan rakyat Pekalongan agar bersatu, seperti lopis, sehingga warga Krapyak setiap Syawalan selalu memotong lopis.

Hal itu sebagai rasa syukur kepada Allah dan melaksanakan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Adapun rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk jajanan berbentuk lopis yang memiliki filosofi lopis sangat religius, baik dari segi pemakaian bahan maupun dalam proses pembuatannya.

Proses memasak lopis raksasa membutuhkan waktu 4-5 hari dengan menggunakan dandang berukuran besar. Bahkan, untuk memindahkannya, harus memakai alat katrol.

Lopis ini terbuat dari bahan dasar ketan yang memiliki makna persatuan (kraket/erat) apabila sudah direbus, berwarna putih yang memiliki makna bersih atau suci (kembali fitri) dalam nuansa Lebaran.

Kemudian, bungkus lopis yang diambilkan dari daun pisang memiliki makna perlambang Islam dan kemakmuran. Bahwa Islam selalu menumbuhkan kebaikan dan menjaga karunia Tuhan.

Daun pisang yang digunakan tidak boleh terlalu tua ataupun terlalu muda karena akan berpengaruh pada cita rasa lopis tersebut.

Selain itu ikatan atau tali pembungkus lopis menggunakan serat pelepah pisang yang melambangkan kekuatan. Sesuatu yang sudah dicapai (kembali fitri) harus dijaga agar tidak luntur ataupun berkurang. Akan lebih baik jika semakin bertambah atau ditingkatkan.

Pengikat ini, juga sebagai simbol pengikat manusia untuk menjalin silaturahim antarmuslim.

Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid mengaku bersyukur pelaksanaan kegiatan tradisi potong lopis raksasa dapat berlangsung lebih ramai dan disambut antusias masyarakat seiring telah melandainya pandemi COVID-19.

Pemkot mengimbau warga jangan menjadikan tradisi pemotongan lopis ini untuk syirik. Tradisi lopisan ini sangat luar biasa membawa keberkahan dan kebahagiaan semua, terutama warga Krapyak sebagai tuan rumah, dengan dibagikan secara gratis kepada masyarakat yang datang ke lokasi.

Tradisi pemotongan lopis yang sudah berlangsung lebih satu abad ini diharapkan dapat dikemas lebih meriah karena selain menjadi ajang bersilaturahmi juga menjadi aset kunjungan wisatawan.

Tentunya, tradisi Syawalan yang dipadukan dengan sektor pariwisata akan mendatangkan pendapatan asli daerah semakin meningkat.